Alasan Dibalik Ngototnya Golkar Duduki Posisi Ketua MPR

Alasan Dibalik Ngototnya Golkar Duduki Posisi Ketua MPR Radar Aktual

Basis yuridis Ketua MPR termaktub dalam pasal 427 C Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3), bahwa Pimpinan MPR terdiri atas satu orang ketua dan empat orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota MPR.

Lalu, kenapa Golkar membidik Kursi Ketua MPR? Wasekjen DPP Partai Golkar, Viktus Murin memaparkannya dengan gamblang sebagaimana dilansir dari Golkarpedia dalam wawancara khusus berikut ini.

Apa alasan Partai Golkar ingin menduduki kursi Ketua MPR?
Golkar memiliki kesadaran posisi untuk lebih optimal melakoni peran politiknya dalam mengemban misi politik kenegaraan. Mengingat, secara historis MPR pernah diposisikan sebagai lembaga tertinggi negara, maka peran historis itu tidak otomatis hilang begitu saja, setelah MPR kini berperan sebagai payung bikameral, yang terdiri dari DPR RI dan DPD RI. Dalam perspektif atau dimensi simbolis-historis itulah, Golkar merasa yakin menahkodai kepemimpinan MPR.

Apa urgensi jabatan Ketua MPR untuk Partai Golkar?
Sebagai partai moderen tertua di Indonesia (akan berumur 45 tahun pada tanggal 20 Oktober 2019 mendatang), Partai Golkar sangat yakin dapat bertindak proporsional dan elegan dalam menegakkan politik kenegaraan di ranah parlementer.

Kendati dalam tataran de jure MPR bukan lagi menjadi lembaga tertinggi negara, tetapi secara de facto peran-peran yang dimainkan oleh MPR dapat dikategorikan sebagai peranang tertinggi dari perspektif dan praktek politik kenegaraan.

Bagaimana cara Golkar meyakinkan semua partai koalisi?
Tentulah hal tersebut merupakan domain kebijakan, sekaligus kebajikan dari Ketua Umum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto. Biarlah itu berjalan dalam ranah prerogatif beliau sebagai ketua umum.

Ketua Umum sampai melobi Presiden Jokowi, Kenapa? Apa jawaban beliau?
Melobi dalam praksis politik, itu tak lain adalah membangun komunikasi politik. Kalau Ketua Umum DPP Partai Golkar mengomunikasikan hal itu kepada Presiden Jokowi, sejatinya itu juga bagian dari tata krama politik di Indonesia. Jangan dilupakan bahwa selain menjadi kepala pemerintahan, Presiden adalah juga kepala negara. Dalam dimensi politik kenegaraan itulah terletak urgensi komunikasi politik perihal posisi Ketua MPR, antara Ketua Umum Partai Golkar dengan Presiden RI.

Mengenai jawaban Presiden atas lobi itu, tentu saja merupakan hal yang bersifat terbatas, bahkan mungkin tertutup antara Ketua Umhm dan Presiden. Kan tidak semua jawaban dari Presiden kepada Ketua Umum Golkar, harus serta-merta disampaikan kepada publik.

Siapa kader Partai Golkar yang disiapkan untuk jadi Ketua MPR?
Golkar adalah partai dengan ketersediaan kader bangsa yang cukup banyak secara kuantitatif, serta dengan kapasitas secara kualitatif. Partai Golkar punya banyak kader yang mumpuni untuk memangku jabatan kenegaraan. Konfirmasi ini tidak bermaksud jumawa, namun mengonfirmasikan fakta yang ada.

Namun demikian, penunjukan kader Golkar untuk memangku jabatan Ketua MPR merupakan domain prerogatif Ketua Umum, tentu saja dengan mempertimbangkan berbagai masukan atau usul-saran dari Dewan Pembina, Dewan Kehormatan, Dewan Pakar, dan Pengurus Harian DPP Partai Golkar.

Golkar Otomatis Dapat Jatah Wakil Ketua DPR, Kenapa Masih Berkeinginan Jadi Ketua MPR?
DPR adalah lembaga politik yang terdiri dari representasi partai-partai politik yang mengirimkan utusan-utusannya melalui sarana pemilu legislatif, untuk menjalankan fungsi legislasi, budgeting, dan pengawasan.

Sedangkan di MPR, ada dimensi lain mengingat representasi daerah-daerah provinsial yang duduk dalam lembaga DPD RI. Di sinilah urgensi dan bobot kenegarawanan sungguh diperlukan, dan dalam hal ini Partai Golkar yakin bahwa kader-kader terbaiknya akan mampu dan mumpuni memangku jabatan Ketua MPR.

Apakah Golkar Tidak Mau Memberi Jabatan Ketua MPR Ke Partai Koalisi, PKB Misalnya?
Politik praktis itu sejatinya mengandung dua dimensi perbuatan diantara kekuatan-kekuatan politik. Pertama, persaingan di panggung kontestasi politik, dan komunikasi politik untuk mencapai konsensus diantara partai politik yang mengagregasi kepentingan rakyat. Jadi, pada konteks ini, bukan sekedar urusan beri-memberi namun lebih pada asas saling pengertian untuk merealisasikan konsensus proses bernegara.

Dalam hal representasi politik negara, berbagai kekuatan politik bahkan publik memandang bahwa positioning simbolik PKB telah terepresentasikan melalaui posisi Wakil Presiden terpilih KH Makruf Amin. Masa sih simbolisasi politik itu dirangkap juga pada posisi Ketua MPR? Atau Nasdem misalnya, yang perolehan kursi parlemennya jauh lebih rendah dari Golkar, masa sih mau memaksakan diri untuk posisi Ketua MPR?

Di sinilah diperlukan eleganitas atau bahkan hikmat kebijaksanaan untuk mencerna realitas politik dalam peta koalisi pengusung paket Jokowi-Maruf. Harus diingat bahwa berpaketnya Jokowi-Makruf diawali proses politik sebelumnya, ada proses kausalitas atau sebab-akibat yang terjadi. Pencalonan kembali Presiden petahana untuk maju kembali pada Pemilu 2019, dilakukan pertama kali oleh Partai Golkar, bahkan pada tiga tahun sebelum Pilpres, yakni dalam forum Rapimnas 2016.

Lumrah dan wajar apabila Partai Golkar yang berperan signifikan dalam pencalonan Presiden petahana, membutuhkan posisi simbolik politik dalam peta power sharing. Selain Partai Golkar merasa firm di posisi Ketua MPR, diperlukan juga sikap apresiatif dan elegan dari anggota koalisi pengusung pemerintahan terpilih.

Jika Golkar Memprioritaskan Jabatan Ketua MPR, Relakah Jatah Menterinya Dikurangi?
Ketua MPR dan jabatan menteri adalah dua ranah formil yang berbeda domain politiknya. Ketua MPR lebih merupakan konsensus politik diantara wakil-wakil rakyat atau legislator di DPR RI, yang merupakan representasi partai politik, dan para senator di DPD RI yang merupakan representasi daerah-daerah provinsial.

Sedangkan menteri-menteri sepenuhnya merupakan hak prerogatif Presiden. Apabila diberi kepercayaan pos menteri kepada Golkar dalam jumlah proporsional, atau diberi lebih banyak, maka syukur alhamdulilah, puji Tuhan!

Nasdem dan PKB Juga Ingin Kursi Ketua MPR. Apakah Hal Ini Tidak Menyulut Konflik Internal Dalam Tubuh Koalisi?
Koalisi Indonesia Kerja (KIK) telah berproses cukup lama pasca Pilpres 2014, dan sekarang akan dilanjutkan pasca Pilpres 2019 hingga 2024 mendatang. Hal mana akan makin mematangkan kohesivitas koalisi, termasuk ada PKB dan Nasdem.

Saya sungguh tidak yakin apabila PKB dan Nasdem tega memantik atau memicu konflik politik dalam tubuh koalisi pendukung pemerintahan. Kondisi itu potensial membuat keropos koalisi, sekaligus akan sangat mengganggu soliditas dan kinerja pemerintahan koalisi KIK lima tahun ke depan.