Partai Golkar dan Gerindra, Beda Nasib Kawan Sekondan

Memantau hitung cepat (quick count) Pemilu Legislatif (Pileg) 2024 dari kantornya di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, Rio Prayogo tiba-tiba memanggil timnya dan menggelar rapat dadakan.

Sore itu, 14 Februari, quick count Pileg yang digelar lembaga surveinya, Politika Research & Consulting (PRC), menunjukkan keunggulan PDIP (17%) di atas Golkar (15%) dan Gerindra (13%). Tapi, Rio melihat ada keanehan dari hasil tersebut.

Rio menyatakan, quick count Pileg tak selaras dengan hasil exit poll—metode penghitungan suara dengan bertanya kepada responden yang baru saja mencoblos di TPS. Toleransi kesalahan (margin of error/MoE) exit poll maksimal di angka 2%, sedangkan MoE quick count maksimal 1%.

Ketika itu, hasil exit poll Pileg di lembaganya menunjukkan Gerindra mendapatkan 23%, PDIP 17%, dan Golkar 13,5%. Angka tersebut jelas berbeda dengan hasil quick count.

Padahal exit poll Pilpres selaras dengan quick count-nya, dengan hasil Prabowo-Gibran meraup 59%, Anies-Muhaimin 24%, dan Ganjar-Mahfud 16%.

“Kami kaget sampai rapat dadakan untuk memastikan penyebab anomali ini. Semua yakin prosedur statistik terpenuhi; enumerator di lapangan juga bekerja sangat baik,” ujar Rio pada kumparan di Jakarta, Jumat (1/3).

Enumerator yang dimaksud Rio ialah petugas lapangan yang membantu tim survei mengumpulkan data.

Warga menggunakan hak suaranya pada Pemilu 2024 di TPS 60, Lebak bulus, Jakarta, Rabu (14/2/2024). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Warga menggunakan hak suaranya pada Pemilu 2024 di TPS 60, Lebak bulus, Jakarta, Rabu (14/2/2024). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan

Rio kemudian menanyakan anomali tersebut kepada lembaga-lembaga survei lain dan Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) selaku organisasi yang menaungi. Secara khusus, ia bertanya kepada Direktur Eksekutif Indikator Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan, dan Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya.

“Mereka juga kebingungan menjelaskan hal ini. Kalau ini disebut sistematik error, bisa jadi satu lembaga survei mengalami systematic error, sampling error. Tapi ini merata di semua lembaga survei mengalami hal yang sama,” jelas Rio.

Data exit poll dan quick count PRC pun menemukan bahwa penurunan suara di luar margin of error 2% (sekitar 13%) hanya dialami Gerindra.

Sebaliknya, ada partai-partai yang naik di rentang MoE seperti Golkar (exit poll 13,5% – quick count 15,68%), Demokrat (exit poll 5,5% – quick count 7,58%), PAN (exit poll 4,5% – quick count 6,41%), dan PSI (exit poll 1,7% – quick count 2,78%). Sementara partai-partai lain, hasil exit poll maupun quick count-nya tetap, seperti PDIP, NasDem, PKB, dan PKS.

“Masih jadi misteri, mengapa untuk Pilpres, mereka (responden) bisa berkata jujur, tapi untuk Pileg tidak berkata jujur. Apa iya semua responden saat exit poll tidak berkata jujur ke semua lembaga survei? Kalau ada ‘operasi’, canggih sekali permainan ini. Kami cek ke enumerator di beberapa wilayah itu [berkata] memang ada proses penghentian perhitungan Pileg,” ucap Rio.

Petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) melakukan perhitungan suara dalam simulasi pemungutan dan penghitungan suara Pemilu 2024 di Kantor KPU Jakarta Timur , Jakarta, Senin (18/12/2023). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO
Petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) melakukan perhitungan suara dalam simulasi pemungutan dan penghitungan suara Pemilu 2024 di Kantor KPU Jakarta Timur , Jakarta, Senin (18/12/2023). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO

Manajer Policy Research Populi Center Dimas Ramadhan memiliki pendapat lain. Ia menyebut bahwa secara teknis, perbedaan hasil memang memungkinkan karena exit poll berbasis persepsi, sedangkan quick count berbasis hitungan di TPS. Dalam exit poll, responden yang merahasiakan atau tidak menjawab turut mempengaruhi perbedaan itu.

“Ada juga kondisi pemilih yang memilih partai A untuk Pileg, tapi memilih calon yang diusung partai B untuk Pilpres. Istilahnya split ticket vote (STV). Pada pemilu dengan sistem multipartai, STV tidak terhindarkan karena pemilih dihadapkan pada banyak pilihan partai. Dan hampir tidak ada perbedaan ideologi antara satu partai dengan partai lain,” jelas Dimas.

Potret quick count di sejumlah lembaga survei dan hitung resmi KPU (data masuk 65,8%), menunjukkan suara Gerindra hanya naik 0,5–1% dibanding hasil Pileg 2019. Ketika itu, Gerindra mendapat 12,57%.

Praktis, dengan hasil ini, Gerindra tak mendapat coattail effect atau efek elektoral maksimal dari tingginya suara Prabowo Subianto di Pilpres yang mencapai 58-59%. Padahal, Prabowo merupakan Ketua Umum Gerindra, partai utama pengusung paslon 02. Selain itu, sejumlah survei yang dirilis sebelum pencoblosan memperlihatkan elektabilitas Gerindra yang tinggi di kisaran 18%.

Hasil tersebut pun memutus tradisi sejak Pemilu 2009 bahwa partai pengusung utama capres terpilih selalu memenangi Pileg, seperti SBY-Demokrat pada Pemilu 2009, serta Jokowi-PDIP di Pemilu 2014 dan 2019.

Presiden Joko Widodo saat puncak HUT ke-50 PDIP di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Selasa (10/1/2023). Foto: Dok. PDIP
Presiden Joko Widodo saat puncak HUT ke-50 PDIP di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Selasa (10/1/2023). Foto: Dok. PDIP

Rio berpendapat, secara teori, efek elektoral memang tak absolut selalu ke partai pengusung utama karena bisa tersebar ke partai-partai mitra koalisinya. Jika dibandingkan dengan dua pemilu sebelumnya, ketika itu Prabowo kalah Pilpres namun Gerindra justru mendapat efek elektoral maksimal.

Suara Gerindra melompat dari 4,46% pada Pemilu 2009—yang merupakan keikutsertaan perdana partai itu—menjadi 11,81% di Pemilu 2014 dan 12,57% di Pemilu 2019.

“Prabowo kalah [Pilpres] saja bisa naik suara Gerindra. Sekarang dia (Prabowo) menang, justru suara Gerindra kalah dengan partai lain (Golkar),” kata Rio.

Deputi Politik 5.0 TPN Ganjar-Mahfud, Andi Widjajanto, memandang efek elektoral Prabowo-Gibran yang tak maksimal ke parpol koalisinya, khususnya Gerindra, merupakan anomali. Berbeda dengan parpol koalisi 01 dan 03 yang mendapat efek elektoral dari paslon masing-masing.

“Kelihatannya seolah-olah partai-partai di koalisi 02 melakukan Pileg tanpa Pilpres. Gerindra tidak lompat signifikan saat presidennya [dapat] 55% plus, [bahkan] kemungkinan jadi nomor 3 setelah PDIP dan Golkar,” kata Andi pada kumparan, Jumat (16/2).

Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto memberikan sambutan saat menghadiri konsolidasi Akbar Partai Gerindra wilayah Jakarta Timur di GOR Velodrome, Jakarta Timur, Minggu (16/72023). Foto: Dicky Adam Sidiq/kumparan
Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto memberikan sambutan saat menghadiri konsolidasi Akbar Partai Gerindra wilayah Jakarta Timur di GOR Velodrome, Jakarta Timur, Minggu (16/72023). Foto: Dicky Adam Sidiq/kumparan

Mengapa Efek Elektoral Prabowo Tak Maksimal ke Gerindra?

Dari jauh-jauh hari, yakni dua tahun sebelum Pilpres 2024, Gerindra telah menetapkan semboyan “Prabowo Presiden, Gerindra Menang”. Nyatanya hasil quick count dan hitung resmi KPU terkini tak mencerminkan target itu. Kemenangan Prabowo di Pilpres tak dirasakan Gerindra di Pileg.

Wakil Ketua Umum Gerindra Habiburokhman mengakui partainya tak mendapat efek elektoral maksimal dari kemenangan Prabowo, sebab Prabowo ingin berbagi efek elektoral ke partai-partai lain di Koalisi Indonesia Maju.

“Jarang sekali [Prabowo] menghadiri kampanye Gerindra. Coba cek yang [dihadiri Prabowo] di Bandung itu kampanye PAN, di Surabaya (Malang–red.) kampanye Demokrat, di Medan kampanye Golkar,” ujar Habiburokhman di Media Center TKN Prabowo-Gibran, Kebayoran Baru, Jaksel, Rabu (21/2).

Sumber kumparan di elite Gerindra menyatakan, tak tercapainya target kemenangan partainya di Pileg ialah karena para kader fokus all out memenangkan Prabowo. Alhasil, mesin partai tak maksimal menggarap Pileg.

Kondisi ini membuat Gerindra kehilangan basis terbesarnya di Jawa Barat. Pada Pileg 2019, Gerindra menang di Jabar dengan raihan 17,65% (4,3 juta suara). Sementara pada Pileg 2024 saat ini, berdasarkan data terkini, Golkar merebut kemenangan di Jawa Barat dengan raihan 16,58%. Perolehan Golkar itu melompat dari hasilnya pada Pileg 2019 yang hanya meraup 13,26% (posisi ketiga) di Jawa Barat.

Kerja mesin partai yang tak maksimal di Pileg, khususnya di Jawa Barat, mengakibatkan Gerindra rawan kehilangan beberapa kursi DPR yang sebelumnya diduduki petahana.

Sumber itu menyebut salah satu contoh adalah berkurangnya kursi Gerindra di Dapil XI Jabar (Tasikmalaya dan Garut) dari 3 menjadi 2 kursi. Bahkan, suara Gerindra di Dapil V Jabar (Kabupaten Bogor) yang merupakan domisili Prabowo, ditaksir di bawah raihan Pileg 2019 (617 ribu suara).

Peneliti Indikator Politik, Bawono Kumoro, berpendapat caleg-caleg Gerindra merasa di atas angin dan terlena karena elektabilitas Prabowo yang tinggi.

“Konsentrasi kader Gerindra dan infrastruktur partai untuk pemenangan Pilpres lebih tinggi. Sehingga resource tidak bisa maksimal untuk mendapatkan suara atau kursi saat Pileg,” ujar pengamat komunikasi politik UGM Nyarwi Ahmad pada kumparan, Jumat (1/3).

Di samping itu, Nyarwi berpandangan suara Gerindra yang relatif stagnan dibanding Pileg 2019 disebabkan konstituen lama kecewa dengan sikap Prabowo yang gabung ke pemerintahan Jokowi. Contohnya, Sumatera Barat yang notabene didominasi suara oposisi, dahulu dimenangi Gerindra pada Pileg 2019, kini direbut NasDem yang mengusung Anies Baswedan.

“Sedangkan mereka yang menjadi pemilih Jokowi tidak bisa [seluruhnya] direbut Gerindra karena berebut dengan partai lain, semisal Golkar,” kata Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies itu.

 

Ketum Golkar Airlangga Hartarto memberikan jaket Golkar kepada Prabowo di Rapimnas Partai Golkar, Sabtu (21/10). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Ketum Golkar Airlangga Hartarto memberikan jaket Golkar kepada Prabowo di Rapimnas Partai Golkar, Sabtu (21/10). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan

Tergerusnya basis wilayah pemenangan Gerindra, khususnya di Jawa Barat oleh Golkar, membuat kecewa kader partai besutan Prabowo itu. M. Romahurmuziy pun mendengar keluhan serupa dari koleganya kader Gerindra.

“Teman-teman Gerindra kesal karena mereka yang punya capres, malah mereka yang nggak naik [suaranya],” kata Gus Romy, panggilan akrab Ketua Majelis Pertimbangan PPP itu.

Sumber kumparan di elite Gerindra menyebut bahwa para kader hasad dengan perolehan Golkar, sebab sebagai sesama partai koalisi, Partai Beringin disebut lebih fokus menghadapi Pileg dibanding Pilpres.

Caleg-caleg Golkar dianggap jarang menampilkan gambar capres Prabowo di baliho maupun billboard, dan lebih memilih menampilkan foto ketua umumnya, Airlangga Hartarto. Situasi ini juga terjadi di parpol koalisi 02 lainnya.

“Karena mereka (partai-partai koalisi 02) sadar betul kalau pasang [gambar] Prabowo, yang diuntungkan Gerindra,” ucap Nyarwi.

Ketua Bidang Hukum Golkar John Kenedy Aziz menepis adanya ketegangan dengan Gerindra imbas hasil Pileg. Menurutnya, hubungan Prabowo dan Airlangga baik-baik saja.

“[Pileg] ini masalah siap dan tidak siap saja. Bagaimana mempersiapkan situasi ini, dan ternyata kami [Golkar] lebih siap menghadapi pemilu,” kata John.

Warga melihat mural bertema Pemilu 2019 di Stadion Kridosono, DI Yogyakarta. Foto: ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah
Warga melihat mural bertema Pemilu 2019 di Stadion Kridosono, DI Yogyakarta. Foto: ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah

Efek Besar Serangan Fajar

Romahurmuziy menganalisa logistik Gerindra tersedot penuh untuk pemenangan Prabowo-Gibran. Lumrahnya partai pengusung utama mengeluarkan modal paling besar dibanding mitra koalisinya. Anggaran tersebut biasanya berasal dari caleg DPR yang tersebar di 84 daerah pemilihan. Jika per dapil diminta sumbangan Rp 1 miliar, maka total logistik Pileg yang tersedot untuk Pilpres mencapai Rp 84 miliar.

“Logistik untuk pertarungan di Pileg berkurang, sementara pemilu sekarang bukan lagi pemilihan umum, tapi pembagian logistik umum—banyak-banyakan uang,” kata Romy pada kumparan, Jumat (1/3).

Sumber kumparan di internal Gerindra merasa guyuran logistik yang besar jelang pencoblosan juga menjadi sebab ketidakmaksimalan suara mereka di Pileg. Berkaca dari hasil survei internal beberapa hari sebelum pencoblosan pada 14 Februari, Gerindra pede meraih 24% suara. Namun pada detik-detik jelang pencoblosan, Gerindra merasa lapangan diterjang “tsunami”.

Karakter pemilih Pileg di beberapa daerah kali ini, menurut sumber itu, bukan cuma terdiri dari klaster-klaster berisi pemilih rasional, emosional, dan transaksional yang terpisah satu sama lain. Kini, sekalipun sudah memilih atas dasar rasional dan emosional, tetap bisa pula transaksional.

“Seperti di PPP kenapa ada Sandiaga [Uno] tapi suara gak naik [ke kisaran 4%], karena pemilunya bukan lagi pertandingan citra, tapi pertandingan uang. [Suara] Gerindra gak naik, PPP juga gak naik, karena kami coba menjual citra, sementara yang dibutuhkan masyarakat adalah gelontoran uang,” kata Gus Romy, blak-blakan.

 

Ketua Majelis Pertimbangan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy. Foto: instagram @romahurmuziy
Ketua Majelis Pertimbangan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy. Foto: instagram @romahurmuziy

Tak cuma itu, sumber menyebut para kader menduga-duga bahwa anomali raihan suara Gerindra di Pileg lantaran ada bargain tertentu untuk tetap membuat suara PDIP paling tinggi. Sehingga diharapkan Partai Banteng bersedia bergabung di pemerintahan Prabowo-Gibran.

Namun, sehari setelah coblosan, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menegaskan partainya siap berjuang sebagai oposisi untuk melakukan checks and balances di parlemen terhadap pemerintah berkuasa.

Kini, sembari menunggu hasil akhir hitungan resmi KPU pada 20 Maret, Gerindra mengutus sejumlah kadernya untuk berkeliling. Mereka ditugasi menyelidiki penyebab tak maksimalnya perolehan Pileg Gerindra sekaligus mengevaluasi kinerja para caleg.

“Soal pertarungan politik di lapangan, saya kira ini pasar bebas. Tidak bisa menggunakan paradigma ada pertarungan antara Golkar dengan Gerindra. Sekarang semakin sulit membedakan basis suara karena semakin tercampur dan sangat transaksional. Siapa punya uang lebih besar, punya potensi untuk terpilih,” kata Rio Prayogo, Direktur Eksekutif PRC.

kumparan telah meminta konfirmasi soal ini kepada Sekjen Gerindra Ahmad Muzani, Ketua Harian DPP Gerindra Sufmi Dasco Ahmad, dan Wakil Ketua Umum Gerindra Budisatrio Djiwandono maupun Sugiono, namun belum ada respons dari mereka hingga artikel ini tayang.

 

Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto di kampanye pamungkas bertajuk Konser Menjemput Kemenangan di Lembang, Bandung, Jumat (9/2/2024). Foto: Golkar
Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto di kampanye pamungkas bertajuk Konser Menjemput Kemenangan di Lembang, Bandung, Jumat (9/2/2024). Foto: Golkar

Rimbunnya Suara Beringin

Rekan sekoalisi Gerindra, Golkar, tak disangka lebih moncer di Pileg 2024. Suara mereka diprediksi naik hampir 3% (dari 12,31% di Pileg 2019 menjadi 15–15,5% pada Pileg 2024). Poltracking memperkirakan kursi Golkar di DPR meningkat dari 85 menjadi sekitar 96–111.

Secara sebaran wilayah dan dapil, Golkar lebih unggul sekalipun raihan suaranya di bawah PDIP. Golkar menang di 14 provinsi, sedangkan PDIP 10 provinsi. Golkar pun unggul di 26 dari 84 dapil, sementara PDIP menang di 23 dapil.

Wakil Ketua Umum Golkar Bidang Pemenangan Pemilu, Ahmad Doli Kurnia, mengatakan hasil Pileg 2024 merupakan momen rebound pertama kali sejak Pemilu 2004. Ia pun bersyukur walau angka itu masih di bawah target suara mereka sebesar 20%.

Menurut Doli, faktor utama raihan Golkar kali ini ditopang jaringan infrastruktur partai. Para bakal caleg yang ingin maju dari Golkar diminta membantu mengembangkan infrastruktur partai sampai kelurahan/desa, sembari melakukan sosialisasi diri. Proses itu berlangsung sejak awal 2021.

“Sejak saat itu sudah bicara tentang kuning, beringin, dan Golkar,” ucap Doli pada kumparan, Jumat (1/3).

Golkar serius menggarap Pileg karena hasilnya akan jadi dasar bagi mereka untuk mengarungi Pilkada serentak November mendatang. Siapapun calon kepala daerah yang berminat diusung Golkar, wajib membantu pemenangan Pileg dan Pilpres.
“Di setiap daerah ada 3–5 calon kepala daerah. Mereka kami kasih surat tugas setahun yang lalu; tugasnya membantu agenda partai menghadapi Pilpres dan Pileg,” kata Doli.
John Kenedy menyebut, para calon kepala daerah, termasuk petahana yang telah menjabat satu periode, diminta ikut bertarung merebut kursi Dewan. Selanjutnya, jika calon itu hendak maju Pilkada, kursinya akan digantikan kader Golkar yang lain.
“Itu strategi yang diterapkan. Kalau toh menang (lolos DPR/DPRD), lalu nantinya ingin mengambil kursi di pemerintahan (eksekutif), dia bisa serahkan [slot DPR] itu,” kata John.
Selain itu, Rio Prayogo menilai struktur caleg Golkar memang diisi sosok-sosok mumpuni sehingga mereka mampu meraih suara yang lebih tinggi dari pileg sebelumnya.
“Caleg-calegnya tokoh semua—ada mantan bupati, mantan gubernur. Semua didorong ke situ (pemenangan partai di Pileg). Mereka (caleg populer) bisa menjadi vote getter yang luar biasa,” jelas Rio.
Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto berbincang di lingkungan Istana Bogor, Sabtu (6/1) Foto: @golkar.indonesia
Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto berbincang di lingkunganIstana Bogor, Sabtu (6/1) Foto: @golkar.indonesia
Faktor menjual nama Jokowi pun menjadi faktor kenaikan suara Golkar. Doli menyatakan, Golkar merupakan partai yang paling konsisten mendukung pemerintahan Jokowi. Ini diyakini membuat pemilih yang puas terhadap pemerintahan Jokowi banyak yang mencoblos Golkar.

“Kami tidak peduli kalau ada yang bilang Golkar sangat Jokowi. Itu konsistensi kami,” ujar Doli.

Nyarwi Ahmad menilai, di antara partai koalisi paslon 02, Golkar paling berhasil mengasosiasikan diri sebagai partai pendukung pemerintahan Jokowi. Bahkan, Golkar merupakan partai yang pertama kali menginisiasi putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, sebagai cawapres Prabowo.

Baliho hingga iklan Golkar yang tayang di televisi pun memasang gambar Jokowi dengan narasi “Golkar Selalu Bersama Pak Jokowi”.

“Ini kemampuan mesin politik Golkar menarasikan asosiasi dan kedekatannya dengan Presiden Jokowi sebagai partai pemerintah,” jelas Nyarwi.

Mural tolak politik uang Foto: ANTARA FOTO
Mural tolak politik uang Foto: ANTARA FOTO

Di samping faktor strategi partai, sumber kumparan di lingkar elite Golkar menyebut moncernya suara partai beringin karena guyuran logistik jelang hari pemilihan. Guyuran logistik tersebut bertujuan ‘mengebom’ kesepakatan yang telah dijalin sebelumnya untuk kepentingan partai sesama koalisi.

Nyarwi menilai Golkar merupakan partai yang memiliki kader berlatar pengusaha yang kuat dan berjejaring hingga daerah. Mereka ditempa dan dibesarkan tak hanya oleh Golkar, melainkan juga oleh sayap partai dan organisasi yang terasosiasi.

“Golkar ini lapisan pengusahanya jauh lebih tebal, bergenerasi atau berdinasti di daerah yang kemudian menjadi penopang para tokoh-tokoh,” kata Nyarwi.

“Golkar dulu isinya dari ormas-ormas pendiri dan pengusaha, HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia), KADIN (Kamar Dagang Indonesia), memang [diisi] orang-orang berduit, partai pengusaha,” timpal Gus Romy.

Namun menurut Doli, anggapan Golkar punya logistik berlimpah karena diisi para pengusaha tak sepenuhnya tepat. Menurutnya Golkar adalah partai yang terbuka dan tidak didominasi kelompok tertentu.

“Banyak juga yang latar belakang aktivis, akademisi, gak melulu orang yang punya modal. Logistik itu perlu, tapi tidak segala-galanya,” tegasnya.

Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto di kampanye pamungkas bertajuk Konser Menjemput Kemenangan di Lembang, Bandung, Jumat (9/2/2024). Foto: Golkar
Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto di kampanye pamungkas bertajuk Konser Menjemput Kemenangan di Lembang, Bandung, Jumat (9/2/2024). Foto: Golkar

Koalisi Besar

Raihan suara Golkar yang teratas di antara partai koalisi 02 membuat mereka punya daya tawar lebih di kabinet Prabowo-Gibran. Sumber di internal Gerindra menyatakan persoalan jatah kabinet merupakan wewenang Prabowo. Terpenting bagi para kader, utang mereka menjadikan Prabowo presiden sejak Gerindra dibentuk pada 2008, sudah terbayar.

Walau demikian, Gerindra harap-harap cemas di parlemen. Muncul kekhawatiran program Prabowo mandek di DPR. Demi mengantisipasi itu, ada upaya agar Ketua DPR dipimpin Golkar. Berbasis kemenangan mayoritas di provinsi maupun dapil, Golkar tak membantah mengincar kursi Ketua DPR.

“Ukuran menang kalau kami dapat Ketua DPR,” kata Doli.

Lebih dari itu, demi mulusnya pemerintahan Prabowo-Gibran, kestabilan politik, serta kebijakan yang ajek khususnya menyangkut Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Jokowi disebut-sebut ingin membentuk koalisi besar permanen sekaligus menjadi Ketua Dewan Pembina Koalisi.

Kabar itu pun sampai di telinga Gus Romy dan co-Captain Timnas AMIN Sudirman Said. Gus Romy bahkan mendengar koalisi besar permanen tersebut tak cuma hendak dibentuk di tingkat pusat, tapi sampai ke daerah seperti Barisan Nasional di Malaysia. Dan Golkar disebut akan menjadi tulang punggung koalisi itu.

Ide membentuk koalisi permanen layaknya Barisan Nasional ini sebelumnya juga digaungkan Ketua Dewan Pembina PSI Jeffrie Geovanie dalam beberapa siniar.

Jika koalisi permanen itu terbentuk, kata Gus Romy, kelak siapa yang maju di Pilkada dihitung berdasarkan kontribusi suara Pileg di koalisi. Dengan raihan saat ini, Golkar berkontribusi 1/3 dari total suara koalisi. Artinya ketika Pilkada serentak 2024 digelar di 545 daerah, calon Golkar bisa maju di 182 daerah.

“Kita dalam masa yang sangat mencemaskan. Dalam 9 atau 10 tahun ini, kita menyaksikan, mengalami proses pelumpuhan, dan pelemahan instrumen kontrol dalam bentuk apa pun,” kata Sudirman Said di Jakarta, Sabtu (2/3).

Menteri Pertahanan Republik Indonesia Prabowo Subianto menemui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (19/9). Foto: Dok. Tim Media Prabowo Subianto
Menteri Pertahanan Republik Indonesia Prabowo Subianto menemui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (19/9). Foto: Dok. Tim Media Prabowo Subianto