News  

Jelang Lengser, Jokowi Dihantui 3 Mimpi Buruk Ini

Twin deficit kembali menghantui Indonesia. Menjelang berakhirnya masa pemerintahan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan harus bergelut dengan tiga defisit sekaligus yakni defisit transaksi berjalan, defisit di Neraca Pembayaran Indonesia,  hingga defisit transaksi finansial.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak mampu membendung defisit yang terjadi menjadi surplus sepanjang pemerintahannya.

Bank Indonesia (BI) telah merilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada hari ini, Senin (20/5/2024) untuk periode kuartal I-2024. Tercatat nilai NPI mengalami defisit US$6 miliar dari yang sebelumnya pada kuartal IV-2023 surplus US$8,6 miliar atau berbalik arah lebih dari US$14 miliar.

1. NPI Defisit

Bank Indonesia (BI) telah merilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada hari ini, Senin (20/5/2024) untuk periode kuartal I-2024. Tercatat nilai NPI mengalami defisit US$6 miliar dari yang sebelumnya pada kuartal IV-2023 surplus US$8,6 miliar atau berbalik arah lebih dari US$14 miliar.

NPI yang defisit ini tak lepas dari defisit transaksi berjalan tetap rendah di tengah kondisi perlambatan ekonomi global. Sementara itu, transaksi modal dan finansial mencatat defisit yang terkendali seiring dampak peningkatan ketidakpastian pasar keuangan global.

2. Transaksi Berjalan Defisit Empat Kuartal Beruntun

Transaksi berjalan terpantau defisit sebesar US$2,2 miliar (0,6% dari Produk Domestik Bruto/PDB), angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan defisit US$1,1 miliar (0,3% dari PDB) pada kuartal IV-2023.

Defisit transaksi berjalan ini disebabkan oleh penurunan surplus neraca perdagangan barang dan peningkatan defisit neraca pendapatan primer. Defisit pada neraca jasa juga menjadi penyebab lain dari membengkaknya defisit transaksi berjalan.

Transaksi berjalan sudah mencatat defisit dalam empat kuartal beruntun. Defisit sepanjang empat kuartal beruntun ini juga cukup mengkhawatirkan karena sejak Presiden Jokowi memimpin RI, transaksi berjalan selalu berada di zona merah kecuali pada 2022 di tengah terjadi commodity boom yang diikuti harga komoditas andalan RI mengalami kenaikan, seperti batu bara dan crude palm oil (minyak kelapa sawit).

Pada 2022, harga batu bara sempat tembus di atas level US$400 per ton sementara harga minyak kelapa sawit berada di atas level MYR 7.000.

Neraca perdagangan nonmigas masih terus membukukan surplus, meski lebih rendah dari kuartal sebelumnya, akibat penurunan kinerja ekspor nonmigas sejalan dengan perlambatan ekonomi global. Untuk diketahui, ekspor nonmigas pada kuartal I-2024 sebesar US$58,2 miliar atau lebih rendah dari sebelumnya yakni sebesar US$62 miliar.

Lebih lanjut, secara quarter to quarter/qtq, ekspor nonmigas turun 6,2% sedangkan secara year on year/yoy turun sebesar 7,9%.

Di sisi lain, kinerja neraca jasa membaik didukung oleh peningkatan penerimaan devisa jasa pariwisata. Sementara itu, defisit neraca pendapatan primer sedikit meningkat dipengaruhi oleh masih tingginya tingkat suku bunga global.

Neraca jasa mencatat defisit sebesar US$ 4,42 miliar pada kuartal I-2024, turun tipis dibandingkan pada kuartal IV-2023 sebesar US$ 4,98 miliar.

Head of Macroeconomic & Financial Research BSI, Kahfi Riza mengatakan kepada CNBC Indonesia bahwa angka NPI sesuai dengan proyeksi seiring dengan tren normalisasi harga komoditas utama serta outflows dari pasar keuangan.

Sebagai contoh, dilansir dari Refinitiv, harga rata-rata batu bara sepanjang kuartal IV-2023 di angka US$136,97 per ton. Sementara harga rata-rata batu bara sepanjang kuartal I-2024 di angka US$126,85 per ton. Alhasil hal ini berdampak negatif bagi ekspor nonmigas yang menurun.

3. Transaksi Finansial Kembali Defisit, Terdalam dalam 3 Kuartal

Tidak sampai di situ, defisit transaksi finansial juga jauh berbanding terbalik dibandingkan kuartal IV-2023 yang masih surplus sebesar US$11,04 miliar.

Pada Januari-Maret tahun ini, transaksi finansial mengalami defisit US$2,3 miliar disebabkan oleh investasi portofolio sebesar US$1,79 miliar dan investasi lainnya yang mengalami defisit US$4,4 miliar. Sebagai catatan, posisi defisit transaksi finansial ini merupakan yang terendah sejak kuartal II-2023.

Berdasarkan data setelmen BI hingga 27 Maret 2024 atau akhir kuartal I-2024, investor asing tercatat jual neto sebesar Rp33,31 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), beli neto Rp28,90 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp20,05 triliun di Serkuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Keluarnya dana asing dari pasar keuangan domestik terjadi akibat ekspektasi penurunan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) The Fed yang mundur dari Maret sebagai first cut rate menjadi Juni dan saat ini menjadi September 2024.

Menanggapi kondisi ini ditambah ketidakpastian global yang masih terus menghantui investor, pelaku pasar cenderung menarik dananya dari emerging market termasuk Indonesia dan masuk ke pasar yang cenderung lebih aman yakni negara maju, seperti Amerika Serikat (AS).

Head of Research at FAC Sekuritas, Wisnu Prambudi mengungkapkan investasi portofolio yang menurun terjadi dipengaruhi persepsi investor berkaitan arah kebijakan The Fed berkaitan suku bunga, rupiah, dan lainnya.

Namun berbeda halnya dengan investasi langsung yang terpantau masih surplus bahkan tertinggi sejak kuartal I-2023 yakni sebesar US$4,34 miliar.

Riza menegaskan di tengah defisit yang terjadi diberbagai hal, investasi langsung (Penanaman Modal Asing/PMA) justru masih positif.

“PMA masih positif sejalan dengan proyek strategis nasional dan target investasi 2024 yang lebih tinggi dari tahun lalu,” papar Riza.