News  

Yesus Lahir, Hidup dan Wafat di Wilayah Israel-Palestina, Kenapa Pusat Gereja Katolik di Vatikan?

PAUS Fransiskus dijadwalkan mengunjungi Indonesia pada 3-6 September 2024. Paus adalah kepala negara Vatikan.

Vatikan merupakan negara terkecil di dunia. Menurut Britannica, luas Vatikan hanya 44 hektare. Posisinya ada di tengah kota Roma, Italia.

Luas Vatikan kurang lebih sepertiga luas Taman Mini Indonesia Indah yang memiliki lahan sekitar 150 hektare. Kebon Raya Bogor bahkan lebih luas dari Vatikan. Luas Kebon Raya Bogor sekitar 87 hektare.

Vatikan, negara yang amat kecil itu, merupakan pusat spiritual Gereja Katolik dan tempat tinggal resmi Paus, pemimpin tertinggi 1,3 miliar umat Katolik di dunia.

Nah, pertanyaannya adalah, kenapa pusat agama Katolik berada di Vatikan, Roma, Italia, padahal Yesus lahir di Bethlehem, besar di Nazareth, dan wafat di Yerusalem. Tiga wilayah itu saat ini berada dalam teritori negara Israel dan Palestina.

Jika ditarik garis lurus di google map, jarak Yerusalem ke Vatikan sekitar 2.300 km, menyeberangi Laut Tengah.

Paus Fransiskus Pertemukan Wakil Palestina-Israel di Vatikan

Pusat Gereja Katolik berada di Vatikan, Roma, Italia, bukan karena Yesus lahir, besar, atau meninggal di tempat itu, tetapi karena perjalanan sejarah panjang perkembangan “Gereja” selama kurang lebih 2000 tahun sejak Yesus wafat di Bukit Golgota, Yerusalem.

Kata “Gereja” dipahami bukan sebagai gedung tempat beribadah. Namun persekutuan orang-orang yang beriman pada Yesus. Maka, sejarah “Gereja” dalam arti ini dimaknai sebagai sejarah perjalanan para pengikut Yesus.

Yesus menunjuk Simon Petrus

Dalam Injil dikisahkan, Yesus memiliki 12 murid pertama. Ada dua orang yang bernama Simon. Pertama Simon yang berprofesi sebagai nelayan, dan yang kedua Simon orang Zelot.

Zelot adalah kelompok politik dan religius Yahudi yang berjuang membebaskan wilayah Yahudi kala itu dari cengkeraman Kerajaan Romawi.

Selain dua orang bernama Simon itu, murid pertama Yesus adalah Andreas, Yakobus, Yohanes, Filipus, Bartolomeus, Tomas, Matius, Yakobus, Tadeus, dan Yudas Iskariot.

Ke-12 orang itu selalu mengikuti Yesus keliling untuk mengajar dan mewartakan kabar sukacita di sejumlah desa dan kota yang saat ini menjadi wilayah Israel dan Palestina, antara lain: Nazaret, Kapernaum, Kana, Bethsaida, Nain, Magdala (sekarang Migdal), Betania (sekarang Al-Eizaria), Yerikho, dan Yerusalem.

Kabar sukacita yang disebarkan Yesus adalah tentang Tuhan yang mengasihi manusia dan hendaknya manusia juga mengasihi sesamanya.

Manusia diajak untuk bersama-sama membangun kerajaan Tuhan di dunia. Tuhan yang menjadi raja. Artinya, membangun tatanan hidup masyarakat yang didasari oleh cinta kasih kepada Tuhan dan sesama.

Yesus memulai karya pewartaan kabar sukacita ini pada usia 30 tahun. Ia wafat di atas kayu salib pada usia 33 tahun. Selama tiga tahun, ke-12 murid itulah yang selalu mendampingi Yesus ke mana pun ia pergi.

Sebelum wafat, Yesus menunjuk Simon, sang nelayan untuk menjadi pemimpin 12 murid pertama sekaligus pemimpin orang-orang yang menjadi pengikut Yesus.

Kisah awal karya Yesus dan perekrutan murid-murid pertama ini bisa disaksikan dalam film serial “The Chosen” yang tayang di Netflix.

Dalam tiga tahun karya pewartaannya, pengikut Yesus amat banyak. Dalam Injil diceritakan, dalam sebuah kesempatan mengajar, orang yang datang untuk mendengar ajaran Yesus mencapai 5.000 orang. (Matius 14:13-21, Yesus memberi makan lima ribu orang).

Yesus memberi nama baru kepada Simon sang nelayan: Petrus, yang artinya batu karang. “Dan, Aku pun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus, dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.” (Matius 16:18).

Petrus pergi ke Roma

Setelah Yesus wafat, para murid pertama dan murid-murid lain setelahnya pergi berpisah untuk menyebarkan ajaran Yesus. Ada yang ke Lebanon, Suriah, hingga Eropa Timur. Ada juga yang pergi ke Mesir dan Asia.

Catatan sejarah menyebutkan, Yakobus pergi ke Yudea. Paulus berkarya di Asia Tengah, Asia Barat, dan Eropa Selatan. Tomas melanglang jauh ke India. Sementara, Markus memilih Mesir sebagai tempat karyanya.

Petrus memilih pergi ke Roma, pusat kekaisaran Romawi. Karya kerasulan Petrus (dan Paulus –pemburu orang Kristen yang berbalik arah menjadi pengikut Yesus) lah yang menjadi cikal bakal ajaran Yesus menyebar ke seluruh penjuru Eropa.

Selepas peristiwa penyaliban, para pengikut Yesus ini diburu, ditangkap, dan dibunuh, baik oleh otoritas religius Yahudi maupun otoritas Kerajaan Romawi yang amat berkuasa kala itu.

Di masa Yesus, kekaisaran Romawi berada di masa jayanya. Wilayah kekuasaannya sangat luas di berbagai wilayah di Eropa, Asia, hingga Afrika. Pusat kekaisaran berada di Roma, sekarang ibu kota negara Italia.

Para pemimpin agama Yahudi menganggap Yesus sebagai ancaman terhadap otoritas dan ajaran mereka. Yesus kerap mengkritik dengan sangat keras praktik beragama orang-orang Yahudi di masa itu.

Yesus dalam perspektif historis, bukan teologis, adalah manusia yang amat meresahkan tatanan masyarakat Yahudi kala itu.

Ia menjungkirbalikkan pemahaman tentang Tuhan dan relasi manusia dengan Tuhan yang diimani orang-orang Yahudi.

Ia adalah ancaman bagi stabilitas sosial dan politik. Ini menjadi salah satu alasan politis kenapa Yesus harus disingkirkan (dan akhirnya wafat di kayu salib).

Yesus bukan orang Kristen. Yesus adalah orang Yahudi. Jadi, ia mengkritik keras praktik keagamaan bangsanya sendiri.

Kata Kristen baru muncul setelah Yesus wafat. Oleh para pengikutnya, Yesus diimani sebagai Kristus yang artinya “Yang diurapi”, Raja, Sang Juru Selamat. Kristen artinya pengikut Kristus.

Bagi otoritas kerajaan Romawi, orang-orang Kristen ini dianggap sebagai ancaman karena mereka menolak menyembah kaisar yang dianggap oleh bangsa Romawi sebagai dewa.

Pengikut Yesus menolak menyembah selain Tuhan. Mereka adalah penganut monoteisme di tengah budaya Romawi yang memiliki banyak dewa-dewi.

Cara pandang orang-orang Kristen awal ini juga bertentangan dengan norma-norma sosial dan religius yang ada. Misalnya, mereka mengajarkan kesetaraan di antara semua orang, termasuk budak, wanita, yang mengancam struktur sosial kala itu.

Petrus tinggal di Roma dalam situasi umat Kristen yang teraniaya sedemikian rupa. Kaisar yang berkuasa saat itu adalah Kaisar Nero (54-68M).

Bersama umat Kristen di Roma, Petrus hidup sembunyi-sembunyi mempraktikkan ajaran Yesus. Mereka yang ditangkap akan mendapat siksaan kejam sebelum meninggal, seperti dipanggang, dibakar, atau diadu dengan banteng dan singa di koloseum.

Quo Vadis Domine?

Hidup di Roma begitu berat. Menurut sebuah tulisan kuno yang diwariskan tradisi kekistenan, ada cerita yang menyebut para jemaat meminta Petrus untuk pergi meninggalkan Roma yang sudah pasti akan mengancam nyawanya.

Ia pun bermaksud pergi meninggalkan kota yang amat tidak bersahabat dengan orang Kristen itu.

Di tengah jalan, di lorong Via de Apia, selepas gerbang kota Roma, Petrus bertemu dengan seseorang. Ia amat terpesona oleh sosok itu. Petrus pun menegur orang itu,

“Quo vadis, Domine? Mau ke mana, Tuhan?”
“Eo Romam interum crucifigi. Aku mau ke Roma untuk disalibkan lagi,” jawab orang itu.

Jawaban orang itu bagai petir di siang bolong. Petrus jatuh ke tanah dan berusaha memeluk kaki orang itu. Namun, orang itu menghilang.

Petrus pun mengucap sumpah, “Aku akan kembali ke Roma. Jika Tuhan disalib dengan kepala ke atas, aku akan disalib dengan kepala ke bawah.”

Demikianlah akhirnya Petrus urung pergi. Ia kembali ke kota Roma dan menjalankan perannya sebagai pemimpin jemaat sampai akhir hayatnya di kota itu.

Ia ditangkap dan dibunuh sebagai martir (mati dibunuh karena imannya) sekitar tahun 64 M di masa pemerintahan Kaisar Nero.

Ada banyak yang ditangkap dan dibunuh dengan cara disalib. Tempat penyaliban massal orang-orang Kristen terletak di sebuah bukit di tepi sungai Tiber yang disebut bukit Vatikan.

Menurut cerita yang diwariskan turun temurun dalam tradisi tulisan gerejawi, Petrus meminta agar disalib dengan posisi kepala di bawah seperti sumpahnya. Ia merasa tidak layak meninggal seperti Yesus.

Petrus dimakamkan di bukit itu. Makam Petrus di bukit itu dihormati dan menjadi tempat ziarah umat Kristen selama beratus tahun setelahnya.

Setelah lebih dari 300 tahun hidup dalam penganiayaan, agama Kristen akhirnya mulai diterima oleh Kerajaan Romawi, di mulai sejak Kaisar Konstantinus I bersama dengan Kaisar Licinius mengeluarkan kebijakan kebebasan beragama bagi semua orang di kekaisaran Romawi, termasuk orang Kristen pada 313 M.

Konstantinus dan ibunya, Helena, bahkan memeluk agama Kristen. Konstantinus adalah raja Romawi pertama yang menjadi orang Kristen.

Kebijakan yang dituangkan dalam Dekret Milan (Edictum Mediolanense) itu juga memerintahkan pengembalian hak-hak properti orang-orang Kristen yang disita selama periode sebelumnya.

Konstantinus menetapkan hari Minggu sebagai hari libur bagi semua orang. Dampaknya, makin banyak orang yang menghadiri perayaan Ekaristi pada hari Minggu.

 

Kaisar Konstantinus I atau kerap disebut Konstantinus Agung juga membangun basilika, rumah ibadah megah yang menjadi pusat liturgis orang-orang Kristen, di atas makam Petrus, di atas kota orang-orang mati.

Dalam perkembangan sejarah dan berbagai proses pembangunan yang panjang selama lebih dari seribu tahun, basilika itu kini dikenal sebagai Basilika Santo Petrus yang terletak di Kota Vatikan. Di bawah altar basilika Santo Petrus itulah Petrus si batu karang dimakamkan.

Pengakuan akan eksistensi agama Kristen oleh Konstantinus membuat agama Kristen berkembang pesat dan akhirnya memperoleh status agama resmi Kekaisaran Romawi di masa Kaisar Theodosius I pada 380 M.

Meskipun kemudian Konstantinus Agung memindahkan ibu kota Romawi dari Roma ke Konstantinopel (sekarang Istanbul, Turki), pusat spiritualitas kekristenan di wilayah barat tetap berpusat di Kota Roma karena di sanalah pemimpin jemaat Kristen pengganti Petrus menjalankan roda pemerintahan spiritualnya.

Secara biblis, “Gereja” atau kumpulan orang yang percaya pada Yesus berdiri di bawah komando Petrus sang pemimpin “Gereja”.

Dalam perjalanan sejarah panjang, pusat kekristenan Roma berevolusi menjadi negara Vatikan dan pemimpinnya yang memegang otoritas kepemimpinan atas umat Katolik sedunia disebut Paus.

Namun, tidak semua komunitas kekristenan mengakui otoritas Paus. Cerita ini belum selesai. Penerimaan Kerajaan Romawi atas kekristenan tidak melulu menjadi “berkat”, tapi juga “kutukan” bagi Gereja.

(Sumber)