Fenomena kelas menengah yang turun kelas di Indonesia makin banyak mendapat sorotan dari ekonom. Penyebab utamanya pendapatan kelas menengah tergerus adalah inflasi pangan, serta pendapatan rutin bulanannya hilang karena maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK).
Pemerintah tidak bisa abai terhadap kondisi ini, sebab untuk membangkitkan daya beli mereka supaya kembali bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dari sisi konsumsi rumah tangga, memerlukan kebijakan jangka pendek berupa insentif fiskal hingga stimulus dari sisi menjaga pendapatan mereka.
“Karena penyebabnya tingkat inflasi, khususnya inflasi pangan dalam beberapa tahun terakhir yang tinggi, banyaknya PHK karena tekanan di sektor produksi, dan ini factor penting,” kata Ekonom Universitas Diponegoro Wahyu Widodo kepada CNBC Indonesia, Jumat (26/7/2024).
“Untuk menyelamatkan sektor produksi tentu dari sisi fiskal dengan stimulus atau insentif. Dalam jangka menengah-panjang harus ada perbaikan struktural, karena banyak perusahaan tutup saat ini karena problem daya saing,” tegasnya.
Ekonom PT Samuel Sekuritas Indonesia Fithra Faisal menambahkan, tekanan terhadap kelas menengah sebetulnya bukan baru-baru ini saja terjadi, melainkan sudah menjadi penyakit tahunan. Penyebabnya lagi-lagi mereka tertekan oleh berbagai kebijakan pemerintah yang tak menaruh perhatian terhadap mereka.
“Ini memang sudah menahun yah, kalau kita lihat net welfare gain dari middle class selama lima tahun terakhir bukannya naik malah turun dan ada beberapa faktor sih, kalau kita lihat dari sisi faktor kebijakan misalnya, satu pemerintah kan fokusnya ke upper class di top 20% dan ke bottom class,” tegasnya.
Untuk menyelesaikan masalah kelas menengah di Indonesia yang menjadi pemain kunci pendorong konsumsi domestik, ia menekankan, maka pemerintah memang harus fokus menciptakan lapangan pekerjaan formal bagi mereka, sambil memberikan kebijakan yang tak mereduksi pendapatannya, seperti kenaikan pajak, dan pembatasan iklim usaha.
“Jadi kan karena bisa jadi dari gaji yang enggak ngejar inflasi, bisa jadi dari pekerjaan yang enggak layak, karena mereka kelompok yang terlempar dari formal ke informal sectors, kemudian ada kebijakan-kebijakan yang memang jangankan memihak mereka bahkan cenderung distruktif terhadap middle class,” tegas Fithra.
“Jadi buat mereka itu sekarang diperlukan pekerjaan yang layak dan kebijakan-kebijakan yang tidak disruptif,” ucapnya.
Sebelumnya, Ekonom senior yang juga merupakan mantan Menteri Keuangan era 2013-2014 Chatib Basri mengungkapkan jumlah kelas menengah di Indonesia terus merosot sejak 2019.
Menurutnya, data Bank Dunia mengungkapkan pada 2018, kelas menengah sebesar 23% dari jumlah penduduk sedangkan 2019 tersisa 21% seiring membengkaknya kelompok kelas menengah rentan atau aspiring middle class (AMC) dari 47% menjadi 48%.
“Kecenderungan ini terus terjadi. Tahun 2023, kelas menengah turun menjadi 17%, AMC naik menjadi 49%, kelompok rentan meningkat menjadi 23%. Artinya sejak 2019, sebagian dari kelas menengah “turun kelas” menjadi AMC dan AMC turun menjadi kelompok rentan,” tutur Chatib, kepada CNBC Indonesia.
Dengan garis kemiskinan tahun 2024 sekitar Rp 550.000, Chatib menjelaskan mereka dengan pengeluaran Rp 1,9 juta-Rp 9,3 juta per bulan masuk kategori kelas menengah.
AMC adalah kelompok pengeluaran 1,5-3,5 kali di atas garis kemiskinan atau Rp 825.000-Rp 1,9 juta. Adapun rentan miskin, kelompok pe- ngeluaran 1-1,5 kali di atas garis ke- miskinan atau Rp 550.000-Rp 825.000 per bulan.
(Sumber)