Kuasa Hukum Mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Budi Sylvana (BS), Ali Yusuf, mengungkapkan awal keterlibatan kliennya dalam pengadaan Alat Pelindung Diri (APD) Covid-19.
Ia menjelaskan, Budi ditunjuk sebagai Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan RI saat pandemi Covid-19, menggantikan Eri Gunawan.
Ali menegaskan, peranan Budi dalam pengadaan APD tersebut hanya sebagai juru bayar.
“Bahwa pengadaan APD dalam keadaan darurat tidak memakai Perpres No. 16 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, melainkan mengacu pada SE.LKPP No. 3 tahun 2020, di mana tanggung jawab ada di pihak penyedia. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam hal ini Budi Sylvana hanya bertindak sebagai juru bayar,” kata Ali Yusuf dalam keterangan tertulis, Jumat (4/10/2024).
Ali menyebutkan, kebutuhan APD telah disepakati sebesar 5 juta set, dan Budi menerima APD pertama kali pada 9 Mei 2020 sebanyak 2.140.200 set.
Berdasarkan kuitansi dan invoice, jumlah APD yang telah dibayarkan Budi sebanyak 1.010.000 set dengan total pembayaran belum termasuk PPN sebesar Rp 719 miliar.
Ketika itu, harga satu set APD sebesar 48,4 Dollar Amerika Serikat (AS), Budi melakukan negosiasi ulang dengan PT PPM dan PT EKI serta meminta pengiriman APD dihentikan sampai ada kesepakatan harga baru.
“Negoisasi ulang dan meminta penyedia mengajukan penawaran baru serta meminta menghentikan pengiriman APD ini sudah sangat jelas Budi Sylvana berusaha menyelamatkan keuangan negara,” ujarnya.
Ali juga menegaskan bahwa harga APD sebesar 48,4 Dollar AS sudah disepakati dalam rapat yang dihadiri BNPB, pejabat Kemenkes, TNI, Polri, BPKP, LKPP, Kejaksaan Agung, dan KPK.
Ia menambahkan, pengadaan APD ini telah diaudit dua kali oleh BPKP, yang menemukan adanya kewajiban pengembalian atas kelebihan pembayaran sebesar Rp 8,1 miliar.
“Setiap rekomendasi dari hasil audit BPKP tidak ada yang menyebutkan Budi Sylvana telah melakukan perbuatan melawan hukum yang menyebabkan kerugian negara,” tuturnya.
Ali juga mengungkapkan, Budi seharusnya ditahan pada Senin (30/9/2024). Namun, ia menyesalkan KPK yang membuka informasi penahanan tersebut kepada publik.
“Tentunya informasi tentang penahanan yang diumumkan pada 30 September 2024 kemarin mengganggu kesehatan mental klien kami, sehingga pemeriksaan hari ini berlangsung dalam suasana hati tertekan,” ucapnya.
Sebelumnya, KPK menahan Budi Sylvana terkait kasus korupsi pengadaan APD Covid-19 di Kementerian Kesehatan menggunakan dana siap pakai dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Tahun 2020.
Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan, Budi ditahan di Rutan Cabang KPK Gedung ACLC selama 20 hari pertama, terhitung sejak 3-22 Oktober 2024.
“KPK selanjutnya melakukan penahanan kepada Tersangka BS di Rutan Cabang KPK Gedung ACLC,” kata Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (3/10/2024).
Asep menambahkan, KPK juga menahan satu orang tersangka lainnya, Satrio Wibowo (SW), selaku Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia, yang ditahan di Rutan Cabang KPK Gedung Merah Putih selama 20 hari pertama.
Sementara itu, tersangka Ahmad Taufik (AF), selaku Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri, belum ditahan karena masih menjalani pengobatan di rumah sakit.
Konstruksi Perkara
Asep menjelaskan, perkara ini bermula saat Kemenkes melalui Pusat Krisis Kesehatan membeli APD sebanyak 10.000 pcs dari PT PPM (Permana Putra Mandiri) dengan harga Rp 379.500/set pada 20 Maret 2020.
Transaksi APD dilakukan dengan PT PPM yang sudah menjadi distributor resmi APD selama dua tahun.
Satu hari kemudian, TNI atas perintah Kepala BNPB mengambil APD dari produsen milik PT PPM di Kawasan Berikat dan langsung mendistribusikannya ke 10 provinsi tanpa dilengkapi dokumentasi.
Asep juga menjelaskan, pada 22 Maret 2020 terjadi kontrak kesepakatan untuk pengadaan APD sebanyak 500.000 set dengan nilai tergantung nilai tukar dollar saat pemesanan dengan PT EKI.
Kemudian PT PPM & PT EKI menandatangani kontrak kerja sama distribusi APD, dengan margin 18,5 persen diberikan kepada PT PPM dan hasil negosiasi ini diserahkan kepada Kepala BNPB Hermansyah.
Kepala BNPB Hermansyah melakukan negosiasi harga APD dengan SW (Satrio Wibowo), agar diturunkan dari harga 60 Dollar Amerika Serikat (AS) menjadi 50 Dollar AS.
Asep mengatakan, penawaran tersebut tidak mengacu pada harga APD (merk yang sama) yang dibeli oleh Kemenkes sebelumnya, yaitu sebesar Rp 370.000.
“Dalam rapat juga disimpulkan PT PPM akan menagih pembayaran atas 170.000 set APD yang didistribusikan TNI dengan harga USD 50/set (sekitar Rp700.000),” tuturnya.
Asep mengatakan, pembayaran pengadaan APD ini dilakukan dengan skema cicilan. Pembayaran pertama sebesar Rp10 miliar dilakukan pada 27 Maret 2020 dari Bendahara BNPB kepada Rekening BNI PT PPM, di mana pada saat itu belum ada kontrak ataupun surat pesanan.
Pembayaran kedua, Pembayaran kedua sebesar Rp109 miliar dilakukan pada 28 Maret 2020 dari PPK Puskris Kemenkes kepada Rekening BNI PT PPM.
Asep mengatakan, Budi baru ditunjuk sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk pengadaan APD di Kementerian Kesehatan RI pada 28 Maret 2020. Surat Keputusan Penunjukan tersebut dibuat kembali tertanggal 27 Maret 2020.
Peran Budi dalam kasus ini ialah menyetujui pengadaan 5 juta set APD dengan harga 48,4 Dollar AS dengan dua tersangka lainnya.
“Di mana dalam surat tersebut tidak terdapat spesifikasi pekerjaan, waktu pelaksanaan pekerjaan, pembayaran, serta hak dan kewajiban para pihak secara terperinci. Selain itu, Surat Pemesanan tersebut ditujukan kepada PT PPM, tetapi PT EKI (Energi Kita Indonesia) turut menandatangani Surat tersebut,” kata dia.
Budi mengatakan, atas pengadaan tersebut, kerugian negara mencapai Rp 319 miliar.
“Atas pengadaan tersebut, Audit BPKP menyatakan telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp319 miliar (Rp 319.691.374.183,06),” ujarnya.
Terakhir, Asep mengatakan, para Tersangka disangkakan telah melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
(Sumber)