Dalam setiap masa transisi pemerintahan, biasanya terdapat ekspektasi akan terobosan kebijakan yang membawa perubahan positif bagi negara. Namun, salah satu hal yang mencuat dari rencana kabinet pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka adalah penambahan jumlah menteri dan wakil menteri yang cukup signifikan.
Dari 34 menteri dan 17 wakil menteri pada era Presiden Joko Widodo, kabinet baru ini dikabarkan akan memiliki 49 menteri dan 59 wakil menteri. Langkah ini layak mendapatkan kritik karena dianggap sebagai bentuk penghamburan uang negara di tengah kondisi ekonomi yang berat pada periode 2024-2029.
Beban Ekonomi 2024-2029, Lebih Berat dari Sebelumnya
Tidak dapat dipungkiri, kondisi ekonomi Indonesia dalam lima tahun ke depan diperkirakan akan lebih berat dibandingkan periode sebelumnya. Krisis pangan global, dampak perubahan iklim, ketidakpastian geopolitik akibat ketegangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok, serta perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia menjadi tantangan yang harus dihadapi pemerintahan baru.
Di dalam negeri, inflasi masih menjadi masalah serius yang menggerus daya beli masyarakat, sementara pengangguran masih tinggi akibat pandemi yang baru pulih. Dalam situasi ini, pemerintah harus mampu mengalokasikan anggaran negara dengan bijak dan efektif.
Setiap rupiah yang dikeluarkan perlu dimaksimalkan untuk program-program yang benar-benar dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat, seperti program ketahanan pangan, infrastruktur yang produktif, serta investasi di bidang pendidikan dan kesehatan. Namun, langkah untuk menambah jumlah menteri dan wakil menteri justru dianggap tidak sejalan dengan kebutuhan pengelolaan anggaran yang efektif.
Penambahan Menteri, Apakah Diperlukan?
Penambahan menteri dalam kabinet Prabowo-Gibran ini memicu pertanyaan serius, yakni apakah penambahan ini benar-benar diperlukan untuk mencapai target-target pembangunan negara?
Tentu, setiap pemerintahan memiliki hak prerogatif untuk menentukan struktur kabinet yang dianggap paling tepat untuk mencapai tujuannya. Namun, pertimbangan efisiensi dan efektivitas juga harus menjadi bagian dari perhitungan.
Dalam hal ini, peningkatan jumlah menteri dan wakil menteri tidak hanya memunculkan beban anggaran yang lebih besar, tetapi juga menimbulkan pertanyaan terkait kebutuhan dan urgensi. Dengan penambahan tersebut, ada kekhawatiran bahwa langkah ini lebih didorong oleh kepentingan politik ketimbang kepentingan rakyat.
Penambahan posisi wakil menteri, misalnya, seringkali dikritik sebagai upaya untuk mengakomodasi kepentingan politik partai-partai pendukung pemerintah, ketimbang kebutuhan nyata untuk mempercepat implementasi kebijakan. Selain itu, penambahan jumlah menteri dan wakil menteri dapat menambah tumpang tindih dalam pengambilan keputusan dan birokrasi.
Alih-alih mempercepat proses pemerintahan, struktur kabinet yang terlalu gemuk justru bisa memperlambat proses pengambilan kebijakan, karena semakin banyak aktor yang harus dilibatkan dalam diskusi dan persetujuan.
Beban Anggaran untuk Gaji dan Tunjangan
Menurut analisis Center of Economic and Law Studies (Celios), penambahan jumlah menteri dan wakil menteri ini diperkirakan akan menguras anggaran negara hingga Rp1,95 triliun per tahun. Jumlah ini terdiri dari gaji dan tunjangan para menteri sebesar Rp. 150 juta per bulan, tunjangan wakil menteri Rp. 100 juta per bulan, serta anggaran operasional yang mencapai Rp. 500 juta per bulan untuk setiap menteri dan wakil menteri.
Jika dibandingkan dengan kabinet era Jokowi yang hanya membutuhkan sekitar Rp. 387,6 miliar per tahun untuk gaji dan tunjangan menteri serta wakil menteri, peningkatan sebesar Rp1,95 triliun ini jelas merupakan beban besar bagi APBN di tengah ekonomi yang sulit.
Pengeluaran ini tentu menimbulkan pertanyaan. Apakah negara memiliki kapasitas fiskal untuk membiayai kabinet yang lebih besar di tengah berbagai tantangan ekonomi yang dihadapi?
Ketika ekonomi nasional masih harus menghadapi beban utang yang terus meningkat, defisit anggaran, serta kebutuhan untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat, anggaran sebesar hampir Rp. 2 triliun untuk membiayai menteri dan wakil menteri dapat dianggap sebagai bentuk pemborosan.
Dengan anggaran sebesar itu, pemerintah dapat mengalokasikan dana untuk sektor-sektor yang lebih produktif, seperti pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal atau program bantuan sosial yang lebih tepat sasaran.
Efisiensi Birokrasi: Kunci Pengelolaan yang Baik
Jika dibandingkan dengan negara-negara maju, banyak di antaranya justru memiliki struktur kabinet yang ramping dan efisien. Misalnya, negara-negara Eropa seperti Jerman dan Belanda cenderung memiliki jumlah menteri yang lebih sedikit, namun tetap mampu menjalankan pemerintahan dengan efektif. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah menteri yang banyak tidak selalu berkorelasi dengan kualitas kebijakan yang dihasilkan.
Dalam hal ini, yang lebih penting adalah memastikan bahwa setiap kementerian berfungsi secara efektif, dengan pemimpin yang kompeten, serta proses pengambilan keputusan yang cepat dan tepat.
Dalam konteks Indonesia, reformasi birokrasi yang selama ini dijalankan sebenarnya bertujuan untuk merampingkan struktur pemerintahan agar lebih efisien. Namun, penambahan menteri dan wakil menteri justru berpotensi bertentangan dengan semangat reformasi birokrasi tersebut.
Efisiensi birokrasi bukan hanya soal jumlah, tetapi juga terkait dengan pengelolaan yang baik dan profesionalisme dalam melaksanakan tugas. Pemerintah seharusnya fokus pada bagaimana memperbaiki kinerja kementerian yang ada, daripada menambah jumlah kementerian tanpa alasan yang jelas.
Penggunaan Anggaran yang Lebih Tepat
Di tengah kondisi ekonomi yang berat, pemerintah harus lebih selektif dalam mengelola anggaran. Penambahan menteri dan wakil menteri bukanlah solusi yang tepat untuk menghadapi tantangan ekonomi 2024-2029. Sebaliknya, pemerintah perlu memprioritaskan anggaran untuk program-program yang benar-benar memberikan dampak langsung kepada masyarakat.
Salah satu alternatif yang bisa dipertimbangkan adalah mengurangi anggaran untuk pos-pos yang tidak produktif, seperti belanja pegawai yang berlebihan, dan mengalokasikannya untuk program pembangunan infrastruktur yang dapat menciptakan lapangan kerja.
Pemerintah juga bisa fokus pada penguatan sektor-sektor yang selama ini menjadi motor penggerak ekonomi, seperti pertanian, industri manufaktur, dan ekonomi digital. Selain itu, penting juga untuk memastikan bahwa setiap kementerian dan lembaga negara bekerja secara sinergis, sehingga dapat memaksimalkan hasil dengan sumber daya yang ada.
Daripada menambah jumlah menteri, pemerintah bisa memaksimalkan peran kementerian yang ada dengan meningkatkan koordinasi antar lembaga. Penambahan jumlah menteri dan wakil menteri di era pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menimbulkan dilema besar di tengah kondisi ekonomi yang berat.
Dengan estimasi biaya yang mencapai Rp1,95 triliun per tahun, langkah ini dianggap sebagai bentuk penghamburan uang negara yang tidak sejalan dengan kebutuhan efisiensi anggaran.
Di tengah tantangan global dan domestik yang semakin berat, pemerintah seharusnya lebih fokus pada penggunaan anggaran yang tepat dan produktif untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat, ketimbang menambah beban APBN dengan struktur kabinet yang lebih besar.
Oleh Achmad Nur Hidayat, MPP
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta