Hampir semua negara sangat khawatir dan peduli terhadap pemenuhan kebutuhan energi yang murah dan terjangkau. Ketersediaan energi yang murah dan terjangkau tentunya akan memberikan rasa aman pada masyarakat dan juga dunia usaha. Apalagi jika negara tersebut ingin mengejar ketertinggalannya lewat pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Sayangnya, tidak semua negara punya sumber energi dari dalam negerinya. Karena itu mereka harus punya strategi yang sangat matang agar mampu bersaing dengan negara yang kaya sumber daya alam. Salah satu strategi yang terbukti ampuh adalah dengan berinovasi menghasilkan produk yang unggul dengan memanfaatkan sumber daya manusia yang dididik dengan baik.
Jepang adalah salah satu contoh negara yang minim sumber daya energi tetapi memiliki tradisi hebat dalam melakukan inovasi dan pengembangan teknologi tinggi. Dengan produksi minyak yang sangat kecil atau boleh dibilang tidak ada, Jepang mengkonsumsi sekitar 4 juta bopd (barrel of oil per day/bopd). Sementara konsumsi gas bumi Jepang mencapai sekitar 12 billion cubic feet per day (bcfd) dengan produksi sangat kecil. Bandingkan dengan Indonesia yang memproduksi gas bumi sekitar 6-7 bcfd dan minyak sekitar 0.55 juta bopd.
Terbatasnya sumber energi di dalam negeri membuat Jepang sangat concern dengan energy security mereka. Negara itu menyadari bahwa Impor yang sangat besar akan membuat Jepang dalam posisi rentan dan berisiko ketika terjadi konflik geopolitik antar negara, bencana alam dan tentu saja volatilitas harga energi dunia.
Lalu bagaimana Jepang memenuhi kebutuhan energinya? Untuk menjamin stabilitas ekonomi dan kemandirian energinya, Jepang membangun energy securitynya melalui lima strategi utama.
Pertama, aktif melakukan kerjasama dengan negara-negara produser minyak dan gas di seluruh dunia. Dengan dukungan penuh dari negara, perusahaan-perusahaan migas Jepang berinvestasi di hulu dan hilir migas di luar negeri. Salah satu yang kita kenal adalah INPEX yang berinvestasi di Lapangan Masela di Maluku dan lapangan Ichthys di Australia. INPEX adalah Perusahaan publik tapi sebagian besarnya sahamnya dimiliki oleh Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang.
INPEX memproduksi minyak sekitar 630 ribu bopd dan 8.9 mtpa LNG. Lebih dari 90% wilayah operasi INPEX berada di luar Jepang, tapi hasil produksi minyak dan gasnya dibawa pulang ke Jepang. Dengan strategi ini, 10% kebutuhan migas Jepang dipenuhi dari produksi INPEX di luar negeri.
Kedua, melakukan divesifikasi sumber-sumber energi yang tersedia, sehingga tidak bergantung hanya pada satu sumber energi saja. Semua energi fosil dan non-fosil tetap menjadi andalan Jepang dalam mencapai energy security mereka. LNG, Batubara dan minyak bumi masih menjadi pilihan sampai hari ini. Bahkan konsumsi Batubara Jepang lebih tinggi daripada Indonesia.
Ketiga, meningkatkan investasi di energi terbarukan. Setelah kecelakaan pembangkit nuklir Fukushima, Jepang mulai banyak membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB). Saat ini energi terbarukan memasok sekitar 20% dari kebutuhan energi Jepang.
Keempat, Jepang tetap membuka opsi untuk tetap menggunakan energi nuklir, walaupun peristiwa Fukushima menciptakan pengalaman yang traumatis. Beberapa reaktor yang dulunya dimatikan, sekarang sudah mulai ditinjau ulang. Sekitar 6%-8% energi mix Jepang berasal dari nuklir. Kedepan kontribusi nuklir akan tetap berlanjut dan ditingkatkan.
Strategi kelima membangun cadangan strategis untuk minyak (Strategic Petroleum Reserves – SPR) dan cadangan strategis untuk gas alam. Untuk minyak, selain minyak mentah Jepang juga mencadangkan hasil olahan kilang. Sampai saat sekarang Jepang punya SPR sebesar 400 juta barrel dan cukup untuk kebutuhan sekitar 90 hari tanpa impor.
Berapa biaya untuk membeli dan meyimpan SPR ini dengan harga sekarang? Kalau asumsi harga rata-rata crude dan hasil olahan kilang sebesar USD 85 per bbl, maka pemerintah Jepang akan mengeluarkan uang sebanyak USD 34 Billion atau setara dengan Rp 527 Triliun. Dengan bunga pinjaman misalnya sekitar 5%, maka cicilan bunga dalam setahun yang harus dibayar pemerintah Jepang untuk mempertahankan SPR adalah sekitar Rp 26 Triliun. Belum lagi harus membayar cicilan utang pokok sebesaar Rp 527 Triliun. Jadi membangun SPR tidaklah murah.
Pertanyaan selanjutnya, adakah strategi membangun SPR tanpa banyak mengeluarkan biaya? Jawabannya tentu ada, tergantung strategi kita mengamankan suplai energi pada saat krisis. Diskusi tentang SPR yang murah bisa kita bicarakan dilain kesempatan. Insyaa Allah
Semoga bermanfaat. Terima kasih.
Oleh Arcandra Tahar