Salah satu produsen tekstil terbesar di Indonesia, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) alias PT Sritex resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Semarang. Putusan pailit ini diketahui dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Semarang.
Dalam putusan PN Semarang disebutkan bahwa pemohon PT Indo Bharta Rayon, Abraham Devrian, menyebut PT Sri Rejeki Isman Tbk, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya telah lalai dalam memenuhi kewajiban pembayarannya kepada pemohon.
“Menyatakan PT Sri Rejeki Isman Tbk, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya pailit dengan segala akibat hukumnya,” bunyi petitum perkara tersebut, dikutip Kamis (24/10).
Sebelum dinyatakan pailit, Sritex menyandang status Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sementara sejak 6 Mei 2021. Hingga batas waktu yang ditetapkan, Sritex tak kunjung mampu melakukan kewajiban pembayaran utang hingga PN Semarang menyatakan perusahaan ini pailit.
Akibat kejadian ini, ribuan pekerja harus di-PHK dan beberapa pabrik Sritex terpaksa ditutup. Pada Juni lalu, Sritex tercatat telah melakukan PHK sebanyak hampir 3.000 karyawannya atau 35 persen dari total karyawan. Perusahaan mengakui hingga saat ini masih mempekerjakan 11.000 karyawan.
Direktur Independen Sri Rejeki Isman, Regina Lestari Busono, mengatakan perusahaan mengalami penurunan kinerja karena pesanan yang diterima tidak sebanyak sebelum COVID-19. Sehingga kapasitas produksi harus disesuaikan, termasuk efisiensi biaya untuk menjaga kesinambungan perusahaan beroperasi.
“Perusahaan terpaksa memangkas tenaga kerja sebanyak 35 persen sejak awal meledaknya COVID-19,” ujar Regina dalam paparan publik SRIL virtual, Selasa (25/6).
Sritex memiliki fasilitas produksi sebanyak 37 pabrik yang tersebar di beberapa lokasi di Jawa Tengah, yaitu Sukoharjo, Semarang dan Boyolali. Pabrik terbesar berada di Sukoharjo menempati 79 hektare lahan.
“Untuk efisiensi tenaga kerja, kalau dilihat dari tahun audited 2001 ya kalau enggak salah, itu sekitar 17.000. Kemudian saya mengacu pada hari ini di sekitar 11.000. Jadi total itu mungkin memang lebih besar sekitar 35 persen,” tutur Regina.
“Kalau di tahun ini memang kita melakukan (PHK) sekitar hampir 3.000, karena memang kondisinya di tahun 2023 itu cukup berat karena memang terlihat dari order yang turun cukup drastis. Memang itu juga mempengaruhi dari kapasitas perusahaan,” tambahnya.
Pekerja Terancam di-PHK Tanpa Pesangon
Sementara itu, akibat putusan pailit ini, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi, memproyeksikan bahwa sekitar 20 ribu pekerja di PT Sri Rejeki Isman Tbk (PT Sritex) terancam kehilangan pekerjaan tanpa mendapatkan pesangon.
Ristadi mengatakan, Sritex yang telah menghadapi masalah keuangan selama beberapa tahun terakhir, kini berada di ambang kebangkrutan dan gagal bayar pesangon karyawannya. Hal ini disebabkan utang yang jauh lebih besar dibandingkan nilai aset perusahaan.
“Saat ini, sekitar 20 ribu pekerja terancam di-PHK tanpa pesangon karena utang perusahaan jauh lebih besar daripada nilai aset,” kata Ristadi sebagaimana dikutip redaksi dari pernyataannya pada Kamis (24/10).
Menurut Ristadi, saat ini pihak manajemen Sritex tengah melakukan perlawanan hukum dengan mengajukan kasasi. Untuk membatalkan putusan pailit yang telah diputuskan oleh pengadilan. “Manajemen infonya sedang melakukan perlawanan kasasi untuk membatalkan pailit, dan pekerja mendukung upaya hukum tersebut agar pailit dibatalkan,” ungkapnya.
Sejarah PT Sritex
PT Sritex memiliki sejarah cukup panjang di Indonesia. Karenanya kabar pailit ini mengagetkan berbagai pihak. Sritex didirikan pada tahun 1966 oleh H.M. Lukminto. Awalnya Sritex hanyalah sebuah toko kecil di Pasar Klewer, Solo. Pada 1968, pabrik cetak pertama Sritex dibuka dengan memproduksi kain putih dan berwarna.
Kemudian pada 1978, Sritex terdaftar dalam Kementrian Perdagangan sebagai perseroan terbatas. Selanjutnya pada 1982, Lukminto berhasil mendirikan pabrik tenun pertamanya. Pada 1992, Sritex memperluas pabrik dengan empat lini produksi yakni pemintalan, penenunan, sentuhan akhir dan busana. Semua lini produksi tersebut dilakukan dalam satu atap.
Sritex selamat dari krisis moneter di tahun 1998 dan berhasil melipatgandakan pertumbuhannya sampai delapan kali lipat, dibanding waktu pertama kali terintegrasi pada 1992. Bahkan di masa jayanya, Sritex pernah jadi pemasok seragam militer untuk berbagai negara, termasuk NATO dan militer Jerman.
Sritex terus berkembang hingga sahamnya berhasil melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 2013 dengan kode SRIL. Namun, saham SRIL sempat disuspensi sejak 18 Mei 2021 karena penundaan pembayaran pokok dan bunga medium term note (MTN) tahap III 2018 ke-6 (USD- SRIL01X3MF). Suspensi tersebut berlanjut sampai 18 Mei 2023. BEI berulang kali memberikan surat peringatan potensi delisting pada emiten sektor tekstil tersebut. {redaksi}