Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Hasan Saleh menggugat kinerja Badan Pangan Nasional (Bapanas) yang dinilai ugal-ugalan mengimpor beras. Padahal, Indonesia dikenal sebagai penghasil beras yang mumpuni.
Dalam rapat dengan Bapanas di ruang rapat Komisi IV, Gedung DPR, Jakarta, Rabu (6/11/2024), Hasan mulanya menyinggung anggaran Rp139,4 triliun yang digelontorkan pemerintah pada 2025, untuk mewujudkan swasembada pangan, sesuai Asta Cita dari Presiden Prabowo Subianto.
Dia bahkan menyinggung tanggung jawab Bapanas untuk berkoordinasi dengan seluruh kementerian/lembaga (K/L) terkait importasi pangan.
“Untuk komoditas yang bisa diproduksi secara memadai di dalam negeri, seperti gandum, bawang putih, kedelai, impor masih diperlukan. Tapai kalau komoditas yang sudah biasa diproduksi di dalam negeri, seperti beras, ya, impornya harusnya dikurangi,” kata Hasan dikutip Kamis (7/11/2024).
Dalam tiga tahun terakhir, kata Hasan, Indonesia telah mengimpor beras sebanyak 6,5 juta ton. Tahun depan, kemungkinan ada tambahan anggaran sebesar Rp21,47 triliun, Kementerian Pertanian (Kementan) merencanakan pencetakan sawah baru seluas 750 ribu hektare dan optimalisasi lahan seluas 350 ribu hektare.
“Dengan upaya tersebut produksi beras nasional diharapkan mencapai 32,83 juta ton. Kami minta penjelasan dari bapak, apakah pemerintah masih akan melanjutkan kebijakan impor beras?,” tanya dia.
Secara terpisah, Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi mengakui adanya anggaran senilai Rp139,4 triliun untuk swasembada pangan. Saat ini, anggaran sebesar itu akan didetailkan penggunaannya.
Sementara itu, untuk cetak sawah kata dia memang sudah menjadi program Kementan sebagai pihak yang melakukan produksi. “Jadi memang yang didepan itu adalah Kementan untuk melakukan produksi,” kata Arief.
“Kemudian impor harus dikurangi, kalau perlu memang impor untuk produk-produk yang sudah diproduksi di Indonesia dikurangi kecuali kalau beras ada beras-beras khusus, seperti beras Kai Hom Mali (beras melati), Basmati rice yang memang diperlukan oleh mereka, karena kita ada turis juga di sana,” lanjutnya.
Terkait polemik impor beras, Arief membandingkan Indonesia dengan Vietnam yang kondisinya bak langit dan bumi. “Vietnam itu produksinya 26 juta ton setara beras. Kemudian kebutuhannya 21 juta ton setahun, jadi ada sekitar 5 juta ton yang dipakai untuk cadangan dan bisa diekspor,” tuturnya.
“Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia itu kebutuhannya sekitar 30,5 juta ton kemudian produksinya 31 juta ton jadi hanya lebih sekitar 500 ribu ton, sehingga apa yang disampaikan pak Prabowo menggenjot produksi itu akan menjadi sangat penting dan kalau perlu ini dikeroyok sama kita semua,” tambah dia.
Arief membeberkan, Indonesia mengalami masa panen raya yakni pada Maret-April sebesar 5 juta ton sehingga wajar bila produksinya di semester satu lebih tinggi dibanding pada bulan lainnya.
“Kenapa kita akhir-akhir ini siap-siap terus karena kita akan menghadapi November, Desember, Januari dan Februari. Sehingga kalau kemarin Bulog menyatakan ada cadangan pangan 1,7 juta ton itu artinya untuk meng-cover akhir tahun dan awal tahun dan kita sudah siapkan,” tegas Arief.
“Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya cadangan pangan hanya 800 ribu ton, 600 ribu ton itu sangat bahaya,” kata dia.
Tak hanya itu, Arief menjelaskan, dana yang dipakai untuk cadangan pangan ini, berasal dari pinjaman bank. “Uang yang dipakai untuk cadangan pangan ini adalah uang pinjam bank, jadi Bulog akan membayar bunga bank Rp1,9 triliun, tapi ini harus kita lakukan karena pemerintah harus punya cadangan pangan,” tandasnya.
(Sumber)