Viktus Murin: Airlangga Terjebak Halusinasi Politik Rezim Orba

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Viktus Murin menilai gaya kepemimpinan Ketua Umum Airlangga Hartarto otoriter. Menurutnya, Airlangga telah memperlihatkan kepemimpinan usang dengan menyeret mundur Partai Golkar masuk zaman otoriter pada rezim orde baru.

“Airlangga seperti terjebak dalam halusinasi politik masa lalu seolah-olah penguasa Golkar identik dengan penguasa tunggal di era Orba,” kata Viktus kepada merdeka.com, Jumat (7/9).

Loyalis Bambang Soesatyo (Bamsoet) yang merupakan calon lawan Airlangga di Munas Golkar itu menceritakan kisahnya saat menjadi aktivis 1998. Dia turut menjadi pelaku sejarah unjuk rasa menuntut pembubaran Golkar saat itu. Kata dia, setelah Soeharto lengser gelombang gerakan mahasiswa dan aktivis datang berdemo ke kantor DPP Golkar untuk menuntut pembubaran.

“Kami berdemo di halaman kantor DPP Golkar, dan meneriakkan yel-yel pembubaran Golkar, jika memang Golkar tidak mampu memutus matarantai politiknya dengan sisa-sisa rezim Orba,” tutur Viktus.

Dia menuturkan, pada masa itu para pendemo justru bebas masuk ke halaman kantor DPP Golkar. Kata Viktus, gerbang kantor tidak ditutupi dan digembok. Dia menyindir situasi kantor Golkar saat ini yang dijaga ketat dan digembok

“Saya ingat persis, waktu itu memang ada beberapa polisi dan satpam di lingkungan Kantor Golkar. Tetapi, mereka hadir di situ hanya untuk bertugas memantau dan mengamankan aksi demo kami elemen mahasiswa. Mereka tidak mengusir kami keluar dari halaman Golkar, sebaliknya mereka menerima kami dengan ramah dan hanya mengingatkan kami untuk tidak bertindak anarkis,” ujar Viktus.

Dia pun menceritakan bagaimana gaya kepemimpinan Ketua Umum Golkar saat itu, Akbar Tandjung mau mendengar dan menyimak tuntutan demo mahasiswa. Menurutnya, paradigma baru Golkar yang dibawa Akbar Tandjung merupakan sintesa pemikiran yang dihadirkan untuk merespon dialektika mahasiswa. Maka itu, dia dan kawannya ikut masuk Golkar saat dideklarasikan menjadi partai politik pasa 1999.

“Saat saya memutuskan masuk ke Partai Golkar tahun 2002 pasca purna sebagai Sekjen Presidium GMNI, keputusan itu saya pandang amat logis. Tidak ada yang aneh. Sebab, Partai Golkar dengan paradigma barunya di bawah kepemimpinan Abang AT, telah menjawab tuntutan perubahan yang disuarakan oleh elemen-elemen gerakan mahasiswa,” ujar Viktus.

Kembali membandingkan gaya kepemimpinan Airlangga, Viktus mengatakan tipologi kepemimpinan otoriter hanya bisa eksis di zaman Orba.

“Model kepemimpinan otoriter hanya cocok untuk era Orba. Pasca era Orba, Partai Golkar memerlukan tipologi kepemimpinan demokratis yang adaptif terhadap perbedaan pendapat sebagai keniscayaan demokrasi. Kalau masih ada pemimpin Golkar bersikap otoriter di era demokrasi, maka dapat disimpulkan bahwa yang bersangkutan sedang terjebak dalam halusinasi kekuasaan rezim Orba,” papar Viktus.

Viktus pun mengaku akan akan cabut dari Golkar bilamana gaya otoriter terus diterapkan Airlangga. Baginya daripada terjerumus kembali ke masa otoriter yang lebih banyak mudaratnya, maka lebih bermaslahat apabila dia memilih mengambil langkah permanen untuk keluar dari pusaran gelap otoritarianisme.

“Hingga hari ini, saya merasa tidak terlalu nyaman jika disebut sebagai politisi. Saya lebih suka mengindentifikasi diri sebagai aktivis yang sedang berkiprah di partai politik. Bagi saya pribadi, loyalitas seorang aktivis terletak pada naturnya dialektika idealisme, bukan diletakkan kepada orang,” tegas Viktus. [merdeka]