Peluang Jokowi mendirikan partai politiknya sendiri pasca dipecat dari PDIP dinilai banyak pihak bakal sulit terealisasi. Sebab, Jokowi kini sudah tidak punya pengaruh dominan dalam kancah perpolitikan nasional sekarang ini.
Pandangan ini dikemukakan oleh Pengamat politik Citra Institute, Efriza. Ia menilai jika Jokowi saat ini berniat mendirikan partai politik, maka bukanlah sebuah keputusan yang tepat. Apalagi kita tahu bersama, momentumnya dilakukan usai dirinya pensiun dari jabatannya sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
“Jokowi tidak akan mau dan berani untuk bersikap membangun partai sendiri, karena masa keemasannya sudah habis dalam karir politik, sudah dua periode jadi presiden,” ujar Efriza.
Menurutnya, popularitas dan elektabilitas Jokowi dalam konstelasi politik selama ini semata karena jabatannya, sehingga banyak orang yang menjadi simpatisannya tapi dengan tujuan kepentingan politik.
“Karena nilai jual personal Jokowi bukan bersifat ketokohan layaknya negarawan, melainkan karena pengalaman dirinya saja sebagai mantan presiden. Jokowi populer sekadar sebuah pamor yang ada waktunya untuk meredup,” tutur Efriza.
Jokowi ditambahkan Efriza juga tak memiliki massa loyal. Massa yang antipati terhadapnya pasca lengser dari kekuasaan pun semakin banyak dibanding yang bersimpati. Apalagi setelah muncul friksi dengan PDIP.
“Dan, Jokowi juga tidak punya massa yang loyal, kecuali masyarakat yang simpatik atas kerja kerasnya semata. Sekeliling Jokowi juga bukan orang-orang non partai, malah orang-orang dari beragam partai dan tidak sepenuhnya loyal sama dirinya, kecuali untuk kepentingan memperoleh kekuasaan saja,” sambungnya.
Belum lagi mempertimbangkan logistik yang tak sedikit untuk membentuk partai baru. Efriza meyakini faktor ini juga akan dipertimbangkan oleh Jokowi. Anggaplah popularitasnya masih tinggi, tapi Jokowi tak memiliki daya dobrak elektabilitas untuk bisa menopang partai yang baru dibentuknya tanpa logistik yang memadai.
“Diyakini partai baru Jokowi membutuhkan biaya logistik yang besar, sulit bagi penyandang dana memilih mendukung partai besutan Jokowi ketika tokohnya Jokowi sudah usang nilainya untuk dijual, dan tak punya massa besar,” sebut Efriza.
Oleh karenanya, pasti Jokowi dan keluarga mempertimbangkan opsi untuk bergabung dengan partai politik yang sudah ada. Semisal mengikuti jejak Bobby Nasution yang sudah lebih dulu menyeberang ke Gerindra atau membesarkan PSI bersama Kaesang Pangarep.
“Sehingga bandul kuatnya adalah ia tak akan memilih mendirikan partai baru. Sebab, Bobby sudah di Gerindra dan Kaesang di PSI (Partai Solidaritas Indonesia). Jadi Jokowi dan anak-anaknya akan lebih memilih sebagai pendukung Prabowo Subianto saja. Andai ia memilih terjun politik praktis, disinyalir lebih memilih bergabung bersama partai yang sudah ada,” tuturnya. {redaksi}