News  

Crazy Rich PIK Helena Lim Dapat Korting Hukuman: 8 Jadi 5 Tahun, Denda Rp. 210 Miliar Jadi Rp. 900 Juta

Tak hanya Harvey Moeis yang mendapat vonis ringan atas kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah yang merugikan negara Rp 300 triliun. Sejawat Harvey yang juga terlibat dalam kasus ini, yakni Helena Lim juga turut mendapat vonis ringan oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.

Helena Lim yang disebut-sebut sebagai Crazy rich PIK sekaligus Manager PT Quantum Skyline Exchange (QSE), mendapat vonis lima tahun penjara. Selain pidana penjara, Helena Lim pun dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp 900 juta.

Vonis ini lebih rendah dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung) yang sebelumnya menuntut 8 tahun penjara denda Rp1 miliar dengan subsider 1 tahun, serta uang pengganti sebesar Rp 210 miliar..

Dalam dakwaannya, jaksa menyebut bahwa Helena Lim bersama Harvey Moeis menerima uang sebesar Rp420 miliar yang disebut sebagai dana pengamanan yang seolah-olah dana CSR.

Majelis Hakim mengungkapkan bahwa dalam fakta hukum yang terungkap di persidangan, Harvey Moeis lewat kesaksiannya menyatakan bahwa ia telah menerima seluruh uang pengamanan seolah-olah dana CSR yang ditampung Helena melalui PT QSE sebesar Rp 420 miliar. Sehingga, Hakim menilai Helena tidak turut menikmati keuntungan terkait hal tersebut.

“Seluruh uang dari dana pengamanan seolah-olah dana CSR yang diterima Harvey Moeis dari para perusahaan smelter tersebut yang ditransfer ke rekening PT Quantum semuanya sudah diterima oleh saksi Harvey Moeis,” ujar Ketua Majelis Hakim Rianto Adam Pontoh dalam persidangan, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (30/12).

Namun, dalam pertimbangannya itu, Majelis Hakim menilai bahwa Helena hanya menikmati keuntungan dari kurs atas penukaran valuta asing dari uang pengamanan tersebut senilai Rp 900 juta.

Dana pengamanan itu dihimpun Harvey dari perusahaan smelter yang melakukan penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah. Para perusahaan smelter itu, yakni CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Internusa.

“Dengan perhitungan Rp 30 dikali USD 30 juta, yang seluruhnya berjumlah Rp 900 juta yang telah dipergunakan Terdakwa untuk kepentingan pribadi Terdakwa,” tutur Hakim Rianto.

Ketua Majelis Hakim, Rianto Adam Pontoh, menyatakan bahwa Helena terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan negara serta melakukan pencucian uang dalam kasus korupsi penambangan ilegal di wilayah PT Timah Tbk antara tahun 2015 hingga 2022.

Kasus ini memperlihatkan tantangan yang dihadapi sistem peradilan Indonesia dalam menegakkan hukum, terutama dalam hal penanganan kasus korupsi. Masyarakat pun memprotes keras vonis ringan yang diberikan hakim kepada Helena dan Harvey Moeis.

Reaksi masyarakat menunjukkan bahwa banyak yang menginginkan hukuman yang lebih tegas bagi pelaku korupsi, terutama yang telah merugikan keuangan negara dalam jumlah yang sangat besar. Ini menandakan perlunya reformasi dalam hukum dan proses peradilan guna memberikan keadilan yang lebih setara bagi semua. {redaksi}