News  

Coretax, Aplikasi Mahal Rp. 1,3 Triliun Tapi Sering Bermasalah Ternyata Amanat Perpres Era Jokowi

Mungkin tak banyak yang tahu, pembangunan aplikasi layanan perpajakan bernama Coretax senilai Rp1,3 triliun yang belakangan bermasalah itu, merupakan amanat dari Perpres No 40 Tahun 2018 tentang Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan.

Beleid yang dikeluarkan di era Presiden Jokowi itu, diduga sarat penyalahgunaan wewenang.

Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) yang juga Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan menilai, banyak kejanggalan terkait implementasi sistem inti administrasi pajak (Coretax) yang diluncurkan pada 1 Januari 2025. Selain itu, muncul keanehan terkait landasan hukum proyek Cioretax senilai Rp1,3 triliun yakni Perpres 40/2018 yang hanya mengacu kepada 4 ayat 1 UUD 1945.

“Bagaimana bisa Perpres dibuat dengan hanya mengacu pada Pasal 4 Ayat 1 UUD tentang kekuasaan Presiden tanpa merujuk pada peraturan lainnya sesuai dengan hierarki perundang-undangan,” jelas Rinto, Jakarta, Kamis (9/1/2025).

Proyek aplikasi layanan pajak ini, kata Rinto, tidak hanya mencakup pengadaan yang meliputi pengadaan agen procurement yang digarap PricewaterhouseCoopers (PwC) senilai Rp37,8 miliar, pengadaan sistem integrator oleh LG CNS–Qualysoft Consortium senilai Rp1,228 triliun, serta pengadaan jasa konsultansi oleh PT Deloitte Consulting dan PT Towers Watson Indonesia senilai Rp129 miliar. “Ini adalah proyek yang melibatkan anggaran besar, dan kami melihat ada kejanggalan pada proses hukum dan tata kelolanya,” lanjut Rinto.

Dia pun menyoroti penunjukan PwC sebagai procurement agent untuk proyek e-Tax Court yang bermasalah. Di mana, reputasi PwC tercoreng karena terlibat skandal pajak di Inggris dan Australia. Berdasarkan laporan Accountancy Age, PwC diduga memfasilitasi manipulasi pajak yang melibatkan klien-klien elitnya. Sehingga, integritas perusahaan diragukan.

“Hal ini tentu akan mengakibatkan keraguan atas transparansi dan kredibilitas pelaksanaan proyek. Padahal, CoreTax sendiri dirancang untuk meminimalkan hingga menghapus potensi kebocoran pendapatan negara akibat kurangnya pengawasan yang efektif,” ungkapnya.

Rinto mempertanyakan keputusan pemerintah khususnya DJP menjalin kerja sama dengan pihak-pihak yang memiliki jejak skandal. jangan heran jika produknya jauh dari harapan. Tidak efisien dan efektif dalam mencegah kebocoran pajak.

“Bagaimana pemerintah bisa menjamin transparansi dan akuntabilitas jika pengembang yang dipilih memiliki rekam jejak buruk? Ini adalah sinyal yang salah kepada masyarakat,” kata Rinto.

Dalam pembangunan coretax ini, lanjut Rinto, sejumlah tokoh termasuk Jokowi, Sri Mulyani, dan Yasonna Laoly, terlibat. Misalnya, Jokowi dan Yasonnal kala itu berafiliasi politik yang sama. Sedangkan Sri Mulyani bertanggung jawab atas pelaksanaan proyek Coretax.

“Tanpa transparansi dan akuntabilitas yang memadai, reformasi perpajakan hanya akan menjadi proyek ambisius tanpa dampak nyata bagi masyarakat,” ujar Rinto.

Di sisi lain, pakar hukum pajak, Dr Alessandro Rey menjelaskan, perpres tidak bisa langsung melaksanakan UUD. Namun harus melalui perantara yakni undang-undang (UU) atau peraturan pemerintah (PP).

Dia bilang, perpres merupakan instrumen pelaksana yang spesifik, bertujuan untuk menjabarkan apa yang telah ditentukan oleh UU atau PP. Artinya, setiap perpres yang dikeluarkan presiden, harus jelas dasar hukum dan lingkup kewenangannya. Agar tetap sejalan dengan prinsip negara hukum serta hierarki peraturan yang berlaku di Indonesia.

“Menurut hierarki tersebut, konstitusi sebagai hukum tertinggi memberikan kewenangan umum kepada berbagai lembaga negara, termasuk presiden. Namun, pelaksanaan kewenangan itu, memerlukan penjabaran lebih lanjut. Bisa dalam bentuk undang-undang (UU), atau peraturan di bawahnya, seperti peraturan pemerintah (PP),” jelas Rey.

Keluhan wajib pajak (wp) terkait jebloknya layanan Coretax, bertebaran di media sosial (medsos) X dan Instagram. Salah satunya diungkap akun @pajaksmart di Instagram yang sempat memposting keluhan dari sejumlah netizen terkait layanan Coretax pada 1-6 Januari 2024. Sebagian besar mengeluhkan server down.

Ika Natassa, penulis dan bankir di salah satu Bank BUMN, sempat mengeluhkan sulit mengakses Coretax. Ia mencurahkan keluhannya lewat medsos X di akun @ikanatassa. Dia menunjukkan website coretaxdjp.pajak.go.id tertulis 403 Forbidden.

Ia menyayangkan, coretax yang baru diluncurkan saat periode laporan pajak, masih belum stabil dan banyak kendala. Di sisi lain, akses ke DJP Online untuk beberapa fitur sudah kadung ditutup.

“Sebagai contoh, hari ini saya menyampaikan NPPN (Norma Penghitungan Penghasilan Neto) di coretax, error. KSWP (Konfirmasi Status Wajib Pajak) di DJP Online tidak bisa diakses. Saya sampai datang ke KPP untuk menyampaikan manual juga tidak diterima karena sudah tidak ada menunya,” tulis Ika.(Sumber)