News  

Kesaksian Paulus Tannos Jadi Jalan Ungkap Keterlibatan Puan, Ganjar dan Pramono di Kasus e-KTP

Buronan kasus e-KTP, Paulus Tannos alias Thian Po Tjhin baru saja ditangkap KPK di Singapura. Atas tertangkapnya Tannos, Mantan Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Yudi Purnomo Harahap optimis dapat membuka kotak pandora kasus e-KTP.

“Bahwa ini juga sebagai suatu hal yang baik ya dalam upaya penuntasan kasus e-KTP yang kita tahu sudah banyak tersangka yang ditangani oleh KPK. Baik itu dari sisi birokrasi, dari sisi politisi, dan juga pengusaha,” ujar Yudi, Sabtu (25/1/2025).

Menurut Yudi, Paulus Tannos adalah saksi kunci yang dapat mengungkap fakta-fakta baru dalam kasus ini, termasuk keterlibatan sejumlah nama besar yang belum tersentuh proses hukum.

Ia menyoroti fakta persidangan sebelumnya yang menyebutkan nama-nama seperti Puan Maharani, Pramono Anung, dan Ganjar Pranowo, yang kala itu menjabat sebagai anggota DPR RI. Ketiga kader PDIP itu disebut menerima aliran dana dari proyek e-KTP.

“Dengan tertangkapnya Tannos tentu kita berharap ini akan membuka kotak Pandora bagi penyelesaian kasus e-KTP, karena kita yakini ya bahwa banyak pihak yang diduga terlibat dan Tannos merupakan salah satu kuncinya,” jelas Yudi.

Senada dengan Yudi, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Ficar Hadjar menilai kesaksian buronan Paulus Tannos bisa menjadi jalan bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjerat pihak lain yang ikut menerima duit panas korupsi e-KTP.

“Jika cukup dukungan bukti lain maka KPK bisa memanggil nama nama yang disebutkan oleh pelaku/saksi. Termasuk terhadap nama nama tersohor memang disebut (seperti Puan, Pramono hingga Ganjar),” ujar Ficar ketika dihubungi, Sabtu (25/1/2025).

Sementara soal apakah ketiga politisi PDIP tersebut bisa dijadikan tersangka baru dalam kasus e-KTP, menurut Fickar, tergantung dari hasil pemeriksaan yang dilakukan tim penyidik KPK nanti.

“Soal apakah akan ditempatkan sebagai saksi atau tersangka tergantung keterangan yang diberikan,” ucapnya.

Fakta Persidangan

Sementara itu, berdasar fakta persidangan pada 2018 lalu, eks Ketua DPR Setya Novanto selaku terdakwa bersaksi bahwa dirinya pernah mendengar ada uang yang diserahkan kepada Puan Maharani dan Pramono Anung, masing-masing sebesar 500.000 dolar Amerika Serikat (AS).

Setya Novanto menyatakan bahwa informasi tersebut ia dapatkan dari pengusaha Made Oka Masagung dan Andi Narogong yang menyampaikan kepadanya di rumah.

Saat itu, Puan Maharani menjabat sebagai Ketua Fraksi PDIP di DPR, sedangkan Pramono Anung adalah anggota DPR. “Bu Puan Maharani, Ketua Fraksi PDIP, dan Pramono adalah 500.000 dollar AS. Itu keterangan Made Oka,” ujar Setya Novanto kepada majelis hakim saat diperiksa sebagai terdakwa.

Pramono Anung membantah mentah-mentah tudingan itu, dan mengatakan ia bahkan tak pernah ada kaitan apa pun dengan kasus KTP elektronik. “Ini semuanya yang menyangkut orang lain dia bilang. Tapi untuk yang menyangkut dirinya sendiri, dia selalu bilang tidak ingat,” kata Pramono Anung kepada para wartawan kala itu.

Sementara Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, menyebut Setya Novanto sekadar ingin mendapat status justice collaborator agar mendapat keringanan hukuman.

Di persidangan lainnya, mantan anggota DPR, M. Nazaruddin menyebutkan, pernah melihat Ganjar Pranowo, Jafar Hafsah, dan Chairuman Harahap menerima uang terkait proyek e-KTP. Namun, Ganjar disebut sempat menolak.

Setelah itu, Nazaruddin menyebut Ganjar akhirnya menerima USD 500 ribu. Ia bahkan mengaku melihat langsung saat uang itu diterima Ganjar.