News  

Gus Dur, Bapak Tionghoa Yang Jadikan Imlek Hari Libur dan Boleh Dirayakan Publik

Tahun Baru China atau Imlek adalah perayaan bagi masyarakat Indonesia, terutama yang beretnis Tionghoa.

Apakah detikers tahu, siapa yang membuka kembali perayaan Imlek di Indonesia?
Ternyata, cikal bakal Imlek tak bisa lepas dari Bapak Tionghoa Indonesia yakni Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang juga merupakan Presiden Republik Indonesia (RI) ke-4.

Gus Dur punya peran dalam mendukung hak warga Tionghoa di Tanah Air. Ia khususnya tercatat sebagai sosok yang menjadikan Imlek bisa dirayakan dengan penuh suka cita oleh warga Tionghoa di Indonesia.

Bagaimana sosok Gus Dur mendukung hak etnis Tionghoa hingga muncul Hari Raya Imlek di Indonesia? Simak sejarahnya!

Tionghoa Alami Diskriminasi di Masa Orde Baru
Sebelum pencetusan perayaan nasional Imlek oleh Gus Dur, detikers perlu tahu dahulu kondisi etnis Tionghoa zaman lalu.

Tepatnya pada masa Orde Baru, etnis ini mengalami diskriminasi, demikian dijelaskan dalam artikel “Menganalisis Peran Gus Dur dalam Perjuangan Hak Umat Beragama Konghucu di Indonesia” oleh Ria Anjani di Krinok: Jurnal Pendidikan Sejarah & Sejarah FKIP Universitas Jambi (2022).

Saat itu, Presiden Soeharto kemudian mengeluarkan kebijakan asimilasi dengan tujuan menyatukan etnis yang ada di Nusantara. Alih-alih, kebijakan ini justru membuat etnis Tionghoa semakin mendapat diskriminasi.

Setelah keluarnya Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, kaum Tionghoa tidak bisa merayakan Imlek di depan publik. Begitu juga dalam segi pendidikan, pembelajaran agama Konghucu tidak diizinkan di sekolah.

Kondisi tersebut diperparah dengan adanya Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 285 Tahun 1978 yang melarang peredaran segala jenis barang yang berhurufkan atau bahasa China. Agama Konghucu pun saat itu tak bisa dicantumkan dalam KTP.

Diskriminasi ini memicu berbagai kerusuhan anti-Tionghoa. Sejumlah kerusuhan menelan korban jiwa dan korban luka dari pembakaran, kekerasan, pemerkosaan, hingga pembunuhan. Nahasnya, etnis Tionghoa saat itu tak menerima perlindungan penuh dari pemerintah.

Konghucu Mulai Diterima di Masa Reformasi
Ketertutupan masyarakat dan pemerintah terhadap kaum Tionghoa berhenti sejak masa reformasi atau saat Indonesia di bawah kepemimpinan BJ Habibie. Pada masa itu, masyarakat mulai lebih bertoleransi terhadap kaum minoritas.

Seminar-seminar hingga karya tulis yang mengangkat tema Konghucu pun mulai banyak bermunculan. Masa ini merupakan masa pengenalan kembali agama Konghucu beserta etnis Tionghoa kepada masyarakat.

Imlek Dijadikan Sebagai Hari Libur Nasional
Sejak masa pemerintahan Gus Dur, kaum Tionghoa semakin punya posisi dan peran di Indonesia. Bapak Tionghoa ini berani menjadikan hari Imlek sebagai hari libur yang boleh dirayakan di publik, seperti dikutip dari buku Gus Gerr: Bapak Pluralisme & Guru Bangsa oleh M Hamid (2010).

Berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Inpres No 14 Tahun 1967, warga Indonesia bebas menganut agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa, termasuk Imlek.

Penggunaan bahasa Mandarin dan aksaranya pun diperbolehkan. Dari sana, Konghucu pun secara resmi diakui sebagai agama di Indonesia.

Kemudian, Keputusan Menteri Agama No 13 Tahun 2001 mengatur Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif. Adapun Keppres No 19 Tahun 2022 tentang Hari Tahun Baru Imlek diterbitkan presiden saat itu, Megawati Soekarnoputri sebagai Hari Nasional. Terakhir, Keppres No 8 Tahun 2024 dikeluarkan Joko Widodo, yang memasukkan Tahun Baru Imlek sebagai salah satu Hari Libur.

Dengan demikian, Gus Dur dijuluki sebagai Bapak Tionghoa Indonesia, berkat keberaniannya menghapus diskriminasi warga Tionghoa. Dari langkah yang ia ambil, Hari Raya Imlek bisa dirayakan dengan meriah hingga seperti sekarang.(Sumber)