News  

RI Tertinggal Jauh, MBG di Korsel Sajikan Sup Hangat, Kepiting, Anggur Hingga Es Krim

Sebuah video viral di media sosial, memperlihatkan betapa bergizinya santapan makan siang para pelajar di Korea Selatan (Korsel). Di atas ompreng atau wadah makan, nampak ada kepiting, udang mentega, nasi kimchi, kentang dan buah anggur. Tak lupa semangkuk sup hangat.

Sontak video ini jadi pergunjingan warganet di Indonesia. Membandingkan dengan kualitas menu makan bergizi gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai solusi stunting di tanah air.

Program yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto sejak masa kampanye ini resmi diluncurkan pada 6 Januari 2025. Program ini bertujuan meningkatkan asupan gizi anak-anak dan ibu hamil, dengan target 20 juta penerima hingga akhir 2025. Namun, implementasinya jauh dari ekspektasi.

Sejak hari pertama peluncuran, program ini menuai kritik. Salah satunya terjadi di SDN Cilangkap 3, Depok, Jawa Barat, di mana susu yang dijanjikan hanya diberikan sekali seminggu. Menu makanan yang disediakan pun banyak dikeluhkan masyarakat karena dinilai kurang layak dan tidak memenuhi standar gizi anak. Infrastruktur dan logistik yang belum siap membuat distribusi program ini belum merata di seluruh daerah.

Di SDN Slipi 15, banyak makanan yang tersisa, terutama pada menu sayur yang dianggap hambar. Sementara di SMP Barunawati Jakarta, sebagian siswa berharap menu lebih bervariasi, seperti ayam goreng, agar lebih menggugah selera.

Standar Gizi Cuma Omon-omon
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah seharusnya menjadi solusi untuk meningkatkan asupan gizi anak. Hasil penelitian terbaru dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) justru mengungkap fakta sebaliknya.

CEO Founder CISDI Diah Satyani Saminarsih mengatakan hanya 17 persen dari menu MBG yang benar-benar memenuhi standar gizi anak. Hal itu berdasarkan hasil analisis CISDI terhadap 29 sampel menu makanan di beberapa lokasi.

“Dari sampel yang terkumpul, tercatat hanya 5 dari 29 menu atau 17 persen yang memenuhi target 30-35 persen AKG energi harian. Data tersebut dihitung berdasarkan perhitungan jumlah energi dengan estimasi menu yang disajikan adalah per dua satuan penukar sumber karbohidrat,” ungkap Diah di Jakarta, dikutip, Minggu (9/2/2025).

Padahal, menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2019, yang menjadi rujukan petunjuk teknis MBG, satu porsi makan siang ditujukan untuk dapat memenuhi kecukupan kalori sebesar 30-35 persen AKG energi harian dan kebutuhan protein sebesar 33-36,4 persen bagi peserta didik di jenjang SD kelas 4-6, SMP, dan SMA sederajat.

Jalan Panjang Kesuksesan MBG Korsel
Bagaikan langit dan bumi, di SMA Baejong, Korea Selatan, siswa menikmati makan siang berupa tomahawk steak, pasta carbonara, kentang, salad mozzarella, serta es krim stroberi sebagai pencuci mulut. Gaezari, seorang konten kreator dengan lebih dari satu juta pengikut, mendokumentasikan berbagai menu makan siang sekolah di Korea yang membuat warganet Indonesia iri. Melihat itu, netizen asal Indonesia ikut berkomentar, “Yang diharapkan anak SD tentang makan siang gratis,”.

Sentimen serupa juga disoroti seorang diaspora Indonesia, Primawan Satrio, yang tinggal di Korea Selatan, yang juga ikut membagikan pengalaman anaknya yang masih TK. Ia mengunggah menu sarapan yang terdiri dari bubur udang, serta makan siang yang berisi brokoli, sup tahu ayam, telur, dan kimchi. Untuk camilan sore, anak-anak disajikan pajeon (pancake daun bawang) dan semangkuk udon dengan wortel.

Kualitas makanannya benar-benar bergizi dan layak. Sangat kontras dengan pelaksanaan MBG di Indonesia yang masih dipertanyakan kualitasnya, bahkan ada kasus keracunan di Sidoarjo.

“Ini makannya sudah termasuk SPP di Rp1,6 juta (140,000 KRW) sebulan, dari jam 10-17, include antar jemput. Mau study tour, pentas seni, dan ultah sudah dikoordinir oleh sekolah juga ga perlu nambah bayar lagi,” demikian seperti dikutip dari akunnya.

Tapi yang perlu diingat, kesuksesan program makan bergizi di Korea bukanlah hasil instan. Butuh lebih dari 60 tahun bagi negara tersebut untuk mencapai sistem ini.

Program makan siang sekolah Korea dimulai pada 1953 dengan bantuan asing dari Kanada, UNICEF, CARE, dan USAID. Bantuan berupa susu, bubur jagung, dan roti bertahan selama 20 tahun. Pada 1981, pemerintah mulai mengalokasikan anggaran sendiri dan membangun fasilitas makan siang melalui School Meals Act.

Saat itu, program makan siang hanya menyentuh sekolah dasar. Baru pada 1996, undang-undang diperbarui agar sekolah dapat bekerja sama dengan pihak ketiga. Sayangnya, kasus keracunan makanan meningkat. Akibatnya, pada 2007, pemerintah mengamanatkan bahwa layanan makanan harus dikelola sendiri oleh sekolah.

Pada 1999, Korea mengadaptasi model HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point) untuk memastikan keamanan makanan. Model ini dikembangkan lebih lanjut dan pada 2004 menjadi standar nasional bagi sekolah-sekolah di seluruh negeri.

Indonesia mungkin masih jauh dari model makan siang Korea Selatan, tetapi perbaikan bisa dimulai dari transparansi anggaran, peningkatan infrastruktur, dan evaluasi kualitas menu.

Program MBG bisa menjadi tonggak penting dalam meningkatkan kualitas hidup anak-anak Indonesia, asalkan benar-benar dikelola dengan baik dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat, bukan sekadar janji kampanye.(Sumber)