Ahli epidemiologi sekaligus pegiat media sosial, Tifauzia Tyassuma, menyarankan agar Presiden Prabowo Subianto segera melakukan reshuffle kabinet.
Dikatakan Tifa, jika Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak diganti, tekanan dari The Fed terhadap nilai tukar rupiah akan semakin kuat, berpotensi menyebabkan depresiasi Rp18.000 hingga Rp20.000 per dolar AS.
“Jika Sri Mulyani diganti, maka reshuffle besar-besaran akan terjadi. Kalau tidak, dan reshuffle tidak dilakukan, The Fed akan terus menekan sampai rupiah jatuh lebih dalam,” ujar Tifa di X @DokterTifa (14/3/2025).
Ia juga memperingatkan bahwa jika situasi ekonomi semakin memburuk, gelombang demonstrasi mahasiswa bisa mencapai skala besar seperti yang terjadi pada 1998.
“Dengan segala hormat kepada Bapak Presidenku Prabowo, Bapak tidak punya opsi lain. Jangan resisten terhadap reshuffle, dan jangan tebang pilih,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya Prabowo untuk mendengar suara rakyat, yang menurutnya sudah muak dengan sebagian anggota kabinet saat ini.
“Rakyat menunggu reshuffle. Rakyat sudah super muak dengan rezim kodok yang masih tersisa di kabinet. Jangan sampai Bapak malah jadi korban kudeta. Ayo Pak, rakyat bersama Bapak,” kuncinya.
Sebelumnya, penerimaan pajak negara mengalami penurunan tajam di awal tahun 2025.
Data dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan bahwa hingga 28 Februari 2025, total penerimaan pajak hanya mencapai Rp187,8 triliun.
Angka ini merosot 30,19 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya, yang mencatatkan Rp269,02 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN KiTA mengungkapkan bahwa penerimaan perpajakan secara keseluruhan mencapai Rp240,4 triliun, atau sekitar 9,7 persen dari target tahunan.
Dari jumlah tersebut, penerimaan pajak berkontribusi sebesar Rp187,8 triliun, atau 8,6 persen dari target APBN 2025 yang ditetapkan sebesar Rp2.189,3 triliun.
Sementara itu, penerimaan dari kepabeanan dan cukai mencapai Rp52,6 triliun, atau 14,7 persen dari target tahunan.
Penurunan signifikan ini terjadi pada awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Salah satu faktor yang diduga mempengaruhi adalah implementasi sistem Core Tax, yang mengalami berbagai kendala sejak diterapkan pada 1 Januari 2025.
Tanda-tanda dampak negatif dari Core Tax terhadap penerimaan pajak mulai tercium ketika Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto melakukan inspeksi ke Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani dan jajaran DJP pada 3 Februari 2025.
Airlangga menjelaskan bahwa kunjungan tersebut bertujuan untuk memastikan sistem berjalan dengan baik demi menjaga kestabilan penerimaan negara.
“Kami meninjau langsung perkembangan implementasi sistem Core Tax di Kantor Pusat DJP. Tujuan utama kami adalah memastikan sistem ini tidak mengganggu penerimaan negara,” ujar Airlangga.
Ia menegaskan bahwa sistem ini harus segera diperbaiki agar tidak menyulitkan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban mereka.
“Penyempurnaan sistem Core Tax sangat penting agar layanan administrasi pajak tetap optimal dan tidak menghambat pelaporan serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak. Jika dibiarkan, hal ini bisa berdampak pada stabilitas anggaran negara,” jelasnya. (Sumber)