Direktur Democratic Justice Reform, Bhatara Ibnu Reza menyoroti respons Kejaksaan Agung, terkait laporan masyarakat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan terlapor Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus), Febrie Adriansyah.
Bhatara menilai, respons Kejagung atas laporan tersebut dinilai tak bijak dan tak patut. Pasalnya, ada kalimat yang dilontarkan yang semestinya tidak perlu.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar merespons laporan dugaan korupsi dengan terlapor Febrie Adriansyah.
Bhatara yang juga eks Komisioner Komisi Kejaksaan (Komjak) kepada awak media pada Jumat (14/3) menegaskan, respons yang disampaikan oleh Kapuspenkum Kejagung terlalu arogan.
Dia menyebut, keterangan Harli menunjukkan sikap defensif dari kejaksaan atas laporan yang disampaikan masyarakat kepada KPK.
Saat diwawancarai oleh awak media Harli sempat menyampaikan bahwa satu orang insan Adhyaksa diperlakukan tidak adil sama saja dengan seluruh institusi kejaksaan.
Menurut Bhatara, Korps Adhyaksa tidak sepatutnya menyampaikan keterangan seperti itu. Sebab, KPK sebagai aparat penegak hukum juga memiliki kewenangan untuk memproses setiap laporan yang masuk.
“Pernyataan itu seakan-akan menolak untuk bekerja sama dengan penegak hukum yang memang seyogyanya juga harus melaksanakan tugas dan fungsinya,” kata Bhatara, Jumat (14/3).
Lebih dari itu, Bhatara menilai pernyataan tersebut tidak sejalan dengan semangat Presiden Prabowo Subianto yang bertekad kuat untuk memerangi korupsi sampai ke akar-akarnya. Meski laporan masyarakat terhadap Jampidsus ke KPK tampak berunsur politis, dia menyampaikan bahwa kejaksaan sebagai institusi harus tetap menunjukkan sikap dan itikad baik dalam mendukung berjalannya proses hukum.
“Pernyataan dari unsur kejaksaan terhadap peristiwa yang terjadi kepada salah anggotanya menggambarkan sikap yang tidak bijak, berupa arogansi kelembagaan yang tidak patut dipertontonkan kepada publik,” jelasnya.
Bhatara menambahkan, dengan sikap tersebut pemerintah dan DPR mestinya meninjau kembali rencana revisi Undang-Undang (UU) Kejaksaan. Selain disorot dan mendapat kritik publik, revisi tersebut juga dilakukan untuk menambah kewenangan Korps Adhyaksa. Menurut dia, yang perlu dilakukan justru memperkuat mekanisme pengawasan internal dan eksternal.
“Sehingga potensi-potensi pelanggaran etika atau dugaan-dugaan tindak pidana tidak terjadi lagi,” imbuhnya.
Sebelumnya, Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar menyampaikan bahwa pihaknya akan mempelajari laporan yang sudah dibuat oleh masyarakat kepada KPK. Secara keseluruhan ada empat laporan yang dibuat dengan terlapor JAM Pidsus Kejagung.
Yakni dugaan penyalahgunaan kewenangan atau dugaan korupsi dalam penyidikan kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya, dugaan suap Ronald Tannur dengan terdakwa Zarof Ricar, dugaan korupsi tata kelola tambang batubara di Kalimantan Timur, serta dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
“Pertama tentu kami akan mempelajari dulu ya, seperti apa laporannya. Karena terkait laporan seperti ini kan bukan yang pertama. Kedua, kami berkomitmen akan terus tegak dalam rangka menegakkan hukum, khususnya tindak pidana korupsi,” kata dia.
Harli menyatakan bahwa komitmen itu merupakan komitmen pimpinan Kejagung dan seluruh jajaran Korps Adhyaksa. Dia pun mengatakan, bila seorang insan Adhyaksa diperlakukan tidak adil, itu sama sajak dengan memperlakukan seluruh institusi Kejagung dengan tidak adil. Dia pun menegaskan kembali bahwa pihaknya tegak sebagai institusi.
“Bagi kami, satu orang insan Adhyaksa yang diperlakukan tidak adil itu sama dengan seluruh institusi. Jadi, kami sampaikan bahwa kami tegak. Jadi, nanti kami pelajari dulu seperti apa,” ujarnya. (Sumber)