All England Bukan Lagi Milik Indonesia, PBSI Harus Bertanggung Jawab

Turnamen BWF World Tour Super 1000 All England 2025 berakhir dengan hasil mengecewakan bagi Indonesia. Dari 11 wakil yang dikirim, tak satu pun mampu membawa pulang gelar juara dari turnamen tertua di dunia ini. Hasil ini bukan sekadar kekalahan biasa, tetapi juga sinyal serius bagi pembinaan bulu tangkis nasional yang selama ini dikenal sebagai salah satu kekuatan utama di dunia.

Sektor ganda putra yang selama ini menjadi tumpuan utama justru gagal mempertahankan dominasinya. Harapan terakhir Indonesia di All England 2025, Leo Rolly Carnando/Bagas Maulana, harus puas finis sebagai runner-up setelah dikalahkan pasangan Korea Selatan, Kim Won-ho/Seo Seung-jae, dengan skor 19-21, 19-21.

Kekalahan ini sekaligus menghentikan dominasi Indonesia di sektor ganda putra, yang sebelumnya meraih tiga gelar beruntun sejak 2022 melalui Bagas/Fikri dan dua kali kemenangan Fajar/Rian pada 2023 serta 2024.

Ironisnya, juara bertahan Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto justru tersingkir lebih awal di babak kedua. Jonatan Christie, juara bertahan sektor tunggal putra, juga mengalami nasib serupa dengan gagal melangkah lebih jauh.

Evaluasi PBSI: Persiapan Matang tapi Hasil Nihil
PBSI sebelumnya mengklaim bahwa persiapan menuju All England 2025 sudah dilakukan secara matang. Namun, hasilnya justru menjadi alarm keras bagi sistem pembinaan nasional. Sejak lama, Indonesia menjadi kekuatan utama di turnamen ini dengan koleksi 52 gelar juara. Namun, tren positif itu kini terhenti, menandakan ada masalah mendasar dalam regenerasi pemain.

Salah satu catatan penting adalah bagaimana pasangan nonpelatnas, Sabar Karyaman Gutama/Muhammad Reza Pahlevi Isfahani, justru mampu melangkah hingga semifinal, lebih jauh dibandingkan beberapa pasangan pelatnas yang lebih difavoritkan. Fakta ini menunjukkan ada yang perlu dievaluasi dalam pola pelatihan dan manajemen tim nasional.

PBSI memang telah menyusun roadmap pembinaan 2025 dengan fokus utama Olimpiade Los Angeles 2028. Namun, hasil di All England 2025 menunjukkan bahwa rencana tersebut belum sepenuhnya berjalan efektif.

Dari tujuh turnamen awal musim ini, hanya satu gelar yang diraih Indonesia melalui ganda putri Siti Fadia Silva Ramadhanti/Lanny Tria Mayasari di Thailand Masters 2025. Selebihnya, para wakil Indonesia pulang dengan tangan hampa.

Indonesia Stagnan

Sementara Indonesia kesulitan meraih gelar, negara-negara pesaing justru mengalami perkembangan pesat. Korea Selatan, misalnya, telah mengoleksi 11 gelar di tur BWF 2025, diikuti Jepang dan Thailand dengan masing-masing lima gelar, serta China dengan empat gelar.

Strategi regenerasi yang diterapkan negara-negara tersebut terbukti lebih efektif, dengan pemanfaatan sport science dan inovasi dalam pola latihan. Indonesia, di sisi lain, masih tertinggal dalam hal daya tahan fisik, adaptasi strategi, serta ketahanan mental di momen-momen krusial.

Para pemain Indonesia terlihat sering kehabisan tenaga saat memasuki gim ketiga. Kurangnya variasi permainan juga menjadi kelemahan, karena strategi mereka lebih mudah terbaca oleh lawan. Ini menjadi catatan serius bagi tim pelatih untuk meningkatkan aspek kebugaran dan fleksibilitas strategi.

Secara mental, tekanan sebagai negara dengan sejarah panjang di All England justru tampaknya menjadi beban tersendiri bagi para pemain. Mereka terlihat kurang percaya diri dalam momen-momen krusial, yang akhirnya berdampak pada hasil pertandingan.

Reformasi PBSI Jadi Keharusan
Kegagalan di All England 2025 seharusnya menjadi momentum bagi PBSI untuk melakukan reformasi besar dalam sistem pembinaan atlet. Beberapa langkah strategis yang harus segera diambil antara lain:

Investasi dalam Teknologi Analisis dan Sport Science

PBSI perlu mengadopsi metode latihan berbasis data dan analisis untuk meningkatkan performa pemain. Tim pelatih juga harus mengembangkan program kebugaran dan daya tahan yang lebih spesifik agar pemain tetap kompetitif di gim ketiga.

Evaluasi Pola Latihan dan Strategi di Pelatnas

Jika pasangan nonpelatnas seperti Sabar/Reza mampu tampil lebih baik dibandingkan pemain pelatnas, maka ada yang perlu dibenahi dalam metode latihan di Cipayung. PBSI harus membuka peluang bagi pemain profesional untuk berkembang di luar sistem pelatnas.

Penerapan Meritokrasi dalam Pemilihan Pemain

Seleksi pemain harus berbasis performa aktual, bukan hanya nama besar atau status pelatnas. Atlet yang menunjukkan perkembangan signifikan di luar pelatnas harus diberi kesempatan yang sama untuk membela Indonesia di turnamen besar.

Peningkatan Mental dan Manajemen Tekanan

PBSI perlu mendatangkan psikolog olahraga untuk membantu pemain mengatasi tekanan di turnamen besar. Pemain harus dibekali mentalitas juara agar tidak mudah goyah di momen-momen krusial.

Fokus Menuju Turnamen Berikutnya
Meski gagal di All England, masih banyak turnamen besar yang bisa menjadi ajang kebangkitan bulu tangkis Indonesia. Agenda penting berikutnya adalah:

Piala Sudirman 2025 (27 April-4 Mei) di Xiamen, China
Indonesia Open 2025 (3-8 Juni) – Turnamen Super 1000
China Open 2025 (22-27 Juli) – Turnamen Super 1000
Kejuaraan Dunia 2025 (25-31 Agustus) di Paris, Prancis
Untuk turnamen level Super 750, Indonesia masih punya lima kesempatan besar di Singapore Open, Japan Open, China Masters, Denmark Open, dan France Open.

Indonesia masih memiliki waktu untuk berbenah sebelum turnamen besar lainnya berlangsung. Namun, jika PBSI tidak segera melakukan perubahan signifikan, bukan tidak mungkin dominasi bulu tangkis Indonesia akan semakin memudar di kancah dunia.

Publik ingin melihat tradisi juara tetap terjaga. Kini, giliran PBSI yang harus bergerak cepat agar bulu tangkis Indonesia kembali berjaya di panggung internasional.(Sumber)