News  

Nasib Demokrasi di Era Pemerintahan Prabowo

Ilustrasi nasib demokrasi di era pemerintahan Prabowo (IST)

Demokrasi Indonesia kembali diuji di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto. Sebagai tokoh militer yang kemudian bertransformasi menjadi politisi, banyak pihak mempertanyakan bagaimana gaya kepemimpinannya akan memengaruhi sistem demokrasi di Indonesia. Beberapa optimis bahwa Prabowo akan memperkuat demokrasi dengan membangun pemerintahan yang stabil dan efektif. Namun, tak sedikit pula yang khawatir bahwa demokrasi justru akan mengalami kemunduran akibat gaya kepemimpinan yang cenderung otoriter.

Prabowo dikenal sebagai pemimpin yang mengutamakan stabilitas dan ketertiban nasional. Pendekatan ini bisa menjadi pedang bermata dua bagi demokrasi. Di satu sisi, stabilitas politik sangat penting untuk menjaga kelangsungan pemerintahan dan pembangunan ekonomi. Namun, di sisi lain, jika stabilitas dipaksakan dengan menekan kebebasan sipil dan kebebasan berpendapat, demokrasi bisa berada dalam bahaya.

Sejak awal pemerintahannya, ada tanda-tanda bahwa kontrol terhadap oposisi dan kebebasan media menjadi lebih ketat. Beberapa kritik terhadap pemerintah mendapat reaksi keras dari aparat, sementara media arus utama cenderung lebih berhati-hati dalam melaporkan isu-isu sensitif. Ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi kemunduran demokrasi, di mana kritik terhadap pemerintah semakin sulit disuarakan.

Dalam demokrasi yang sehat, hubungan antara eksekutif dan legislatif harus bersifat check and balance. Namun, di era pemerintahan Prabowo, ada indikasi bahwa hubungan ini lebih cenderung ke arah dominasi eksekutif. Dengan dukungan mayoritas di parlemen, kebijakan-kebijakan pemerintah dapat dengan mudah disetujui tanpa perdebatan berarti.

Situasi ini bisa berakibat pada lemahnya kontrol terhadap kebijakan pemerintah, karena oposisi yang seharusnya berperan sebagai penyeimbang justru semakin terpinggirkan. Dominasi eksekutif ini juga berpotensi memperburuk praktik politik transaksional, di mana kebijakan lebih sering ditentukan berdasarkan kompromi politik ketimbang kepentingan rakyat.

Kebebasan pers merupakan salah satu indikator utama demokrasi. Namun, di era pemerintahan Prabowo, terdapat indikasi bahwa kebebasan pers mulai terancam. Beberapa jurnalis melaporkan adanya tekanan untuk tidak mengangkat isu-isu yang sensitif, terutama yang berpotensi mengkritik pemerintah.

Selain itu, beberapa organisasi masyarakat sipil juga mengalami tekanan yang lebih besar, baik dalam bentuk regulasi yang ketat maupun tindakan represif dari aparat. Jika tren ini terus berlanjut, maka ruang sipil yang seharusnya menjadi wadah bagi partisipasi masyarakat dalam demokrasi akan semakin menyempit.

Nasib demokrasi di era pemerintahan Prabowo masih menjadi perdebatan. Jika pemerintahannya memilih untuk membuka ruang dialog yang lebih luas dan memperkuat mekanisme check and balance, maka demokrasi bisa tetap tumbuh. Namun, jika tren kontrol ketat terhadap oposisi dan media terus berlanjut, maka Indonesia berisiko mengalami kemunduran demokrasi.

Masyarakat sipil dan elemen-elemen pro-demokrasi perlu terus berperan aktif dalam mengawal jalannya pemerintahan. Partisipasi publik dalam berbagai aspek politik, termasuk pemantauan kebijakan, sangat penting untuk memastikan bahwa demokrasi tetap terjaga di tengah berbagai tantangan yang ada.

Era pemerintahan Prabowo membawa harapan sekaligus kekhawatiran bagi masa depan demokrasi di Indonesia. Dengan pendekatan yang cenderung mengutamakan stabilitas, pemerintah harus memastikan bahwa upaya mempertahankan ketertiban tidak mengorbankan kebebasan sipil dan hak-hak demokratis masyarakat. Hanya dengan demikian, demokrasi Indonesia bisa tetap bertahan dan berkembang ke arah yang lebih baik.

Oleh: Muhammad Huda, Pengamat PolitikĀ