Awas RUU Polri! Parcok Makin Leluasa Diberi Ruang Jadi Timses Gibran di 2029?

Inilah hasil reformasi 1998 yang kebablasan itu. Reformasi yang Anda bangga-banggakan. Selain UUD 1945 Asli tidak berlaku lagi. Pasca reformasi rakyat makin repotnasi. Kontra dengan pejabatnya, makin subur dan makmur.

Ngerinya lagi. Partai Cokelat aka Parcok makin mencengkeram. Katanya supermasi sipil. Nyatanya supermasi polisi. Puluhan jabatan strategis dipegang pensiunan polisi dan polisi aktif. Apa bedanya dengan dwifungsi ABRI yang Anda benci setengah mati itu?

Pasca reformasi makin ke sini terutama sejak era rezim Jokowi polisisasi makin menjadi-jadi. Mungkin publik berspekulasi sebagai politik balas budi karena dua kali memenangkan Jokowi di 2014 dan 2019. Mantan Kapolri, Tito Karnavian tak tergantikan. Menjabat Menteri Dalam Negeri dua presiden sekaligus.

Sehingga publikpun menyebutnya, saking geramnya dengan partai cokelat karena sepak terjangnya di Pemilu terutama Pemilu tahun 2019 dan 2024. Politisasi polisi dan ASN.

Kitapun menyaksikan banyaknya calon kepala daerah yang menang Pilkada 2024 terafiliasi dengan partai cokelat baik pensiunan polisi, anak, keponakan dan teman polisi.

Bukan tidak boleh pensiunan polisi, anak, keponakan dan teman polisi menang Pilkada bahkan menang Pilprespun sekalipun. Sah-sah saja. Asal tidak ada keterlibatan polisi dan ASN atau partai cokelat. Netral itu hanya ada di Undang-undang. Fakta berbicara lain.

Apalagi dengan berlakunya UU Polri yang baru. Kini RUU Polri sedang digarap di DPR. Seperti biasa. Dibahas diam-diam tanpa melibatkan publik. Tiba-tiba disahkan seperti RUU TNI dan RUU lainnya.

Penulis menduga penolakan terhadap RUU Polri tidak akan seheboh penolakan terhadap RUU TNI. Lagi-lagi publik berspekulasi. Patut diduga adanya operasi senyap partai cokelat mendinginkan simpul-simpul aksi demonstran menolak RUU Polisi.

Seharusnya reposisi polisi di RUU Polri yang baru. Itu baru keren!. Sejak reformasi polisi berada langsung dibawah Presiden. Rawan dimanfaatkan oleh Presiden sebagai alat kekuasaan. Menggebuk lawan politik melalui penangkapan dan kriminalisasi. Habib Rizieq contohnya. Termasuk diam-diam menjadi “timses” dalam Pemilu (Pilpres, Pileg dan Pilkada bahkan ditingkat terendah Pilkades).

Rawan dimanfaatkan oleh Presiden seperti yang marak akhir-akhir ini soal penyebutan polisi sebagai partai cokelat. Stigma partai cokelat tidak terlepas dari cawe-cawe polisi dalam politik praktis yang seharusnya netral.

Sementara TNI berada dibawah Kementerian Pertahanan. Kenapa posisi Polisi begitu terhormat? Tidak seperti TNI dibawah Kementerian?

Bila RUU Polri membahas reposisi polisi dibawah Kementerian itu baru Undang-undang Polisi pro rakyat. Mengembalikan polisi pada tugas pokok dan fungsinya; Keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas).

Rakyat sebenarnya sudah muak melihat sepak terjang polisi dan ASN dalam politik praktis pasca era reformasi. Rakyat khawatir. RUU Polri yang baru makin melegitimasi cawe-cawe polisi dan ASN yang disebut-sebut partai cokelat sebagai “tim sukses” Gibran Rakabuming Raka di Pilpres tahun 2029.

Apalagi pimpinan polisi hari ini lebih dekat ke mantan presiden Jokowi ketimbang ke presidennya sendiri, Prabowo Subianto. Sampai-sampai Presiden Prabowo tidak berani mengganti pimpinan polisi nasional karena mungkin telah berjasa memenangkannya di Pilpres 2024 yang penuh misteri dan kontroversi. Mungkin pula Prabowo takut sama Jokowi.

Wallahua’lam bish-shawab
Bandung, 24 Ramadan 1446/24 Maret 2024
Tarmidzi Yusuf, Kolumnis