Sarasehan ke III adalah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sarasehan yang sebelum nya. Dimana pemikiran, ide dan gagasan serta perencanaan tentang pembentukan Lembaga Adat Betawi digodok dalam diskusi antar generasi dan lintas profesi.
Mercure Ancol adalah saksi bisu dimana anak-anak Betawi dari berbagai kalangan dan latar belakang tumpah dalam menghadiri acara yang menurut penulis adalah sarasehan yang terakhir.
Disamping membahas upaya pemajuan kaum Betawi sesuai undang-undang No. 2 tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta, acara yang diprakarsai oleh Kaukus Muda tersebut juga dihadiri oleh para alim ulama, akademisi, politisi, aktivis, pimpinan organisasi dari yang sepuh hingga yang muda juga menyinggung soal PERDA No. 4 tahun 2015 yang memiliki irisan dengan undang-undang yang baru dimana dalam pasal 31 menyebut tentang lembaga adat.
Sebuah acara dan pristiwa yang menjadi sangat istimewa dan luar biasa, menurut penulis adalah kehadiran 2 lembaga yang paling berkompeten dalam merumuskan dan mengambil kebijakan serta keputusan.
Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung juga datang tidak sendirian selaku pemimpin lembaga eksekutif ditanah Betawi. Akan tetapi dirinya ditemani oleh Khoirudin selaku ketua DPRD DKI Jakarta yang berpredikat sebagai pimpinan legislatif.
Sehingga rangkaian pristiwa ini menurut penulis bahwa Lembaga Adat Betawi bak Duren Jatuh dipagi hari.
Artinya tak ada satu pihak bahkan seorangpun yang tidak akan menerima kenyataan ini. Karena Lembaga Adat Betawi bukan hanya keinginan dari para kaum Betawi, tapi merupakan sebuah kebutuhan dalam menyikapi berbagai persoalan, sekaligus menjadikan tantangan sebagai peluang dalam menghadapi peradaban zaman dan kemajuan tekhnologi yang memaksa kita berada didalam globalisasi dan digitalisasi.
Dimana arus informasi itu datang begitu deras menghampiri keseluruhan sudut dan sendi kehidupan. Digitalisasi juga membawa generasi muda tidak lagi mengenal batas negara.
Diera digitalisasi ini, batas negara sudah berada diujung jari dan hanya dibatasi oleh quota yang mereka miliki. Semua orang dapat melihat dan menyaksikan aktivitas kehidupan manusia diseluruh belahan dunia hanya dengan menggunakan tekhnologi internet sebagai jendela nya.
Oleh karena itu didalam merawat, menjaga, memperkenalkan dan melestarikan serta mengembangkan budaya adalah kunci utama dalam mempertahankan eksistensi jati diri sebuah bangsa.
Terkait berbagai pandangan, masukan bahkan usulan dari para guru besar dan budayawan Betawi dalam Sarasehan tersebut, penulis memandang sangat perlu untuk diperhatikan dan dipertimbangkan sekaligus diakomodir dalam menyusun sebuah kebijakan.
Dimana Profesor Kiki yang mengusulkan bahwa wajib hukumnya muslim atau alim ulama duduk dalam lembaga adat. Menurut penulis bahwa perkembangan peradaban tanah Betawi tidak bisa melepaskan diri dari unsur penting sejarah perjuangan para ulama dan jawara.
Salah satu budayawan ternama di tanah Betawi Yahya Andi Saputra juga menitipkan pesan bahwa Ulama dan Jawara tak bisa dipisahkan dalam sejarah perjuangan Betawi.
Dalam tulisan ini, penulis lebih memilih sebutan bangsa Betawi agar para generasi muda mau belajar kembali sejarah perjuangan bangsa yang kita cintai.
Karena sebelum negara ini ada, bangsa Betawi telah ada. Demikian pula bangsa-bangsa lainnya yang kemudian menyatu dalam sebuah konsensus yang kita kenal “Sumpah Pemuda”
Entah apa namanya, Betawi, Batavia, Jayakarta hingga akhirnya kita kenal dengan sebutan Jakarta, membuktikan bahwa bangsa Betawi itu telah ada. Bahkan data statistik menyebutkan saat ini Betawi merupakan lima besar dari jumlah suku-suku yang ada di Indonesia.
Memasuki peradaban baru paska perang dunia kedua dan Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Jakarta selaku ibukota terus bersolek membangun dirinya.
Sebagai sebuah ibukota negara tentunya Jakarta dihuni oleh masyarakat dari seluruh Nusantara.
Disinilah penulis ingin menyampaikan bahwa bangsa Betawi atau kaum Betawi atau apapun sebutannya, bahwa orang Betawi adalah bangsa yang sangat permisif dan akomodatif.
Menerima semua suku, agama, ras dan golongan untuk seiring berjalan bersama membangun Jakarta.
Sehingga selain memang sudah ditakdirkan oleh Allah SWT Tuhan yang Maha Esa, maka sangat tepat Proklamator Kemerdekaan Indonesia Soekarno-Hatta menjadikan Jakarta sebagai ibukota negara.
Setelah hampir 80 tahun Indonesia merdeka dan Jakarta tak lagi menjadi ibukota, penulis ingin mengajak kita semua melempar sebuah tanya.
Apa yang didapat dari negara atas perpindahan ibukota bagi kaum Betawi?
Yaitu hak Istimewa tentang kekhususan nya. Oleh karena itulah lahir undang-undang yang kita kenal UU DKJ (Undang-undang Daerah Khusus Jakarta). Dimana dalam salah satu pasal atau tepatnya pasal 31 mengamanatkan tentang penguatan budaya Betawi.
Tinggal bagaimana kita para kaum intelektual muda dengan mengacu sekaligus menaruh hormat kepada para Pini sepuh, alim ulama, guru besar, tokoh masyarakat, ormas-ormas, komunitas serta berbagai kelompok dan unsur lainnya untuk menyatukan visi dan misi besar demi kemajuan bersama yaitu kemajuan Betawi.
Mengutip dari apa yang disampaikan oleh gubernur DKI Jakarta Pramono Anung saat membuka Sarasehan ke III Kaukus Muda Betawi yang membahas tentang percepatan pembentukan Lembaga Adat Betawi, penulis berpendapat bahwa apa yang disampaikan oleh Pramono Anung adalah sebuah sindiran dan tamparan sekaligus cambuk penyemangat bagi kaum Betawi.
“Memasuki Jakarta sebagai kota global, yang paling utama itu adalah budaya. Dan buayanya adalah Budaya Betawi,” kata Pramono Anung.
Bahkan ada yang lebih menohok lagi yaitu sebagai bentuk kecintaan nya dengan budaya Betawi sekaligus merupakan tanggung jawabnya sebagai gubernur untuk memajukan Betawi sesuai dengan amanat undang-undang DKJ, beliau mengutarakan “Sekdanya orang Betawi, Wakil gubernurnya orang Betawi, ketua DPRD nya orang Betawi, jadi ini sudah pas waktunya,” kata Pramono Anung.
Bahkan gubernur DKI Jakarta tersebut sempat berceloteh gaya orang Betawi “Bahkan Insya Allah Menantu Gubernurnya pun orang Betawi”
Tidak sampai disitu, Rano Karno atau Bang Doel sapaan akrab wakil gubernur DKI Jakarta yang juga hadir pada sesi kedua dalam sarasehan tersebut, yang sangat menarik perhatian penulis adalah ketika beliau memasuki hotel Mercure dimana acara tersebut dilangsungkan.
Ketika salah satu petinggi FBR (Forum Betawi Rempug sekaligus bagian dari Tim Kaukus Muda Betawi meminta penulis untuk menyambut kedatangan wakil gubernur, penulis sempat berseloroh kepada wakil gubernur DKI Jakarta Bang Doel.
“Bang masa iye kudu ada sarasehan ke empat,” kata Jalih Pitoeng.
Spontan wakil gubernur Rano Karno atau Bang Doel menyambar celotehan tersebut.
“Ga lah. Jika perlu saya ambil alih,” jawab bang Doel spontan seraya memasuki pintu lift hotel.
Kata Ambil Alih tersebut juga diutarakan didepan para peserta Sarasehan ke III Kaukus Muda Betawi ketika Bang Doel sedang memaparkan keinginannya sekaligus menjawab beberapa pandangan dari para guru besar, ulama, tokoh masyarakat dan kaum Betawi yang hadir.
Penulis menafsirkan bahwa “Ambil Alih” tersebut dalam perspektif positif guna percepatan pembentukan Lembaga Adat Betawi yang menurut nya belum juga terbentuk.
Dimana mana saat ini beliau adalah bagian dari lembaga eksekutif yang akan mendorong terbitnya Perda tentang Lembaga Adat Betawi.
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa lahirnya sebuah undang-undang maupun peraturan daerah harus disetujui oleh lembaga legislatif. Dan atau sebaliknya. Bergantung usulan atas Rancangan Undang-undang (RUU) atau Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) diajukan.
Menurut penulis momentum seperti saat ini merupakan momentum langka bahkan tak akan pernah terulang kembali.
Sehingga penulis sangat mendukung upaya percepatan penerbitan Peraturan Daerah tentang pemajuan budaya Betawi terutama pembentukan Lembaga Adat Betawi yang menurut penulis adalah “Rumah Besar nya Orang Betawi”.
Dimana seluruh persoalan dan problematika nya dibahas disana. Semua aspek kehidupan mulai dari manusia berada didalam kandungan, hidup dimasyarakat hingga menuju liang lahat akan dibahas, didiskusikan, dikaji dan diimplementasikan demi kemajuan dan kesejahteraan kaum Betawi sebagai akhir dari misi besarnya.
Tentang penyesuaian Perda No 4 tahun 2015 dan UU No 2 tahun 2024, penulis memandang bahwa semua peraturan, hukum dan perundang-undangan yang dibuat oleh manusia dipastikan dapat dirubah dan disesuaikan berdasarkan kepentingan serta kebutuhan masyarakat sesuai dengan peradaban dan kemajuan zaman. Kecuali Al-Qur’an atau kitab suci lainnya.
Justru menurut penulis, PERDA No 4 Wajib disesuaikan menurut Undang-undang terbaru tentang Pemajuan Budaya Betawi.
Berdasarkan pengamatan penulis, bahwa PERDA No 4 2015 selama ini mohon maaf hanya menjadi “Macan Kertas” dan tidak efektif serta tidak optimal. Bahkan diera kepemimpinan Anies Baswedan yang konon katanya dekat dengan kaum Betawi sekalipun tak mampu menjadi Bonder untuk menyatukan 2 Bamus Betawi. Justru fakta nya malah lahir Bamus Betawi – Bamus Betawi lainnya.
Menurut pengamatan penulis secara observatif dan investigatif, bahwa sesungguhnya telah terjadi perpecahan secara indirect diantara kelompok besar yang mengayomi beberapa ormas-ormas betawi akibat kepentingan politik praktis, ego pribadi, kelompok dan golongan tertentu.
Hali inilah yang menurut penulis sangat disayangkan. Pasca pecahnya dua kubu besar Bamus Betawi dan Lahirnya Bamus Suku Betawi 1982 adalah sebuah fakta empirik yang tak dapat dipungkiri.
Penulis tidak menafikan bahwa kebebasan berorganisasi adalah hak semua orang. Bahkan penulis juga sangat mendukung dan berpedoman pada undang-undang tertinggi di negeri ini dalam membentuk dan menjalankan sekaligus mengembangkan organisasi-organisasi dalam mengemban misi sosialnya.
UUD 1945 mengamanatkan bahwa menyampaikan pendapat, berserikat dan berkumpul serta membentuk organisasi atau perkumpulan adalah hak konstitusional warga negara yang diatur didalam undang-undang.
Akan tetapi, organisasi yang memiliki irisan kuat terhadap keadatan dan budaya Kebetawian penulis memandang sangat perlu ada institusi atau lembaga yang memayunginya. Maka Lembaga Adat Betawi menjadi sebuah kebutuhan untuk hadir ditengah masyarakat Betawi.
Sehingga dibutuhkan kesadaran kolektif secara regional bahkan nasional untuk secara bersama-sama melepaskan kepentingan dan ego pribadi, kelompok maupun golongan tertentu.
Terlebih memasuki Jakarta menjadi kota dunia atau Global City sesuai dengan tuntutan peradaban dan kemajuan zaman.
Karena menurut penulis desentralisasi kebijakan organisasi Betawi terkait implementasi PERDA No 4 tahun 2015 dapat menimbulkan multitafsir dan atau menjadi akar dari perebutan kebijakan karena klaim-klaim masing-masing bagi yang merasa paling berhak.
Oleh karena itulah penulis mengulangi kembali bahwa peraturan, hukum dan perundang-undangan tidak ada yang berlaku secara abadi. Akan tetapi disesuaikan dengan tuntutan zaman dan kebutuhan kehidupan manusia.
Terakhir, penulis ingin mengajak dengan kerendahan hati kepada semua pihak khususnya para pimpinan ormas Betawi untuk duduk bersama, menyatukan niat dan membulatkan tekad demi memajukan Betawi secara bersama-sama.
Jika kita perhatikan apa yang disampaikan oleh KH. Lutfi Hakim selaku penyelenggara Sarasehan ke III Kaukus Muda Betawi dipenghujung acara bahwa “Mengurus Lembaga Adat dan Budaya Betawi tanpa keikhlasan dan ketulusan, akan kehilangan ruh nya”.
Kalimat tersebut menurut penulis adalah sebuah pengingat kepada kita semua untuk melepaskan semua keinginan dan kepentingan pribadi, kelompok dan golongan demi kepentingan yang lebih besar yaitu kepentingan kaum Betawi.
Tidak berhenti pada Acara Sarasehan, KH. Lutfi Hakim juga menginisiasi digelarnya Mukerda ke II MUI provinsi DKI Jakarta.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta akan menggelar Musyawarah Kerja Daerah (Mukerda) II pada Rabu–Kamis, 18–19 Juni 2025 di Hotel Mercure Ancol, Jakarta Utara.
Kegiatan ini mengusung tema: “Merawat Umat Menuju Kota Global Jakarta Penuh Rahmat.”
Ketua Panitia Pelaksana, Kyai Lutfi Hakim, menyampaikan bahwa Mukerda II bukan semata agenda rutin organisasi, melainkan langkah strategis untuk memperkuat kontribusi ulama dalam proses pembangunan kota Jakarta yang semakin kompleks dan terbuka secara global.
“Mukerda ini adalah bentuk keseriusan MUI DKI Jakarta dalam mengawal arah pembangunan Jakarta agar tetap berlandaskan nilai Islam rahmatan lil ‘alamin,” ujar Kyai Lutfi, Senin (16/06/2025).
Agenda Mukerda II diisi dengan laporan pertanggungjawaban pengurus, serta diskusi panel bertema “Jakarta sebagai Kota Global dan Peran Umat Islam.”
Selain menghadirkan narasumber lintas bidang, wakil gubernur DKI Jakarta Rano Karno atau Bang Doel juga hadir dalam Mukerda tersebut.
“Kami berharap Mukerda ini menjadi forum produktif dan bermakna, bukan hanya untuk internal MUI, tetapi juga sebagai kontribusi spiritual dan kebangsaan dalam menjaga wajah Jakarta sebagai kota penuh rahmat,” kata Kyai Lutfi.
Semoga dengan kehadiran Lembaga Adat Betawi, dapat menjadi perekat dan pemersatu sekaligus pendorong demi kemajuan Betawi dalam segala aspek kehidupan. Aamiin…!!!
Jakarta, 21 Juni 2025
Jalih Pitoeng, Pendiri Jalih Pitoeng Centre