Politikus senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Beathor Suryadi, kembali mengangkat polemik lama soal ijazah mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam pernyataan terbaru yang disampaikannya kepada sejumlah media, Beathor menyoroti pernyataan mantan Gubernur Lemhannas, Andi Widjajanto, dalam tayangan di kanal YouTube Santana TV sebagai momen krusial yang seharusnya dimanfaatkan Jokowi untuk menjernihkan keraguan publik.
Menurut Beathor, penjelasan Andi Widjajanto soal latar belakang akademik Jokowi dapat menjadi pintu masuk untuk menyudahi kontroversi yang telah berlangsung bertahun-tahun.
“Pernyataan Andi Widjajanto membuka ruang bagi Pak Jokowi untuk jujur dan transparan. Ijazah itu tinggal ditunjukkan. Mengapa harus selalu lewat pengacara dan malah membuat masyarakat curiga?” kata Beathor kepada Radar Aktual, Sabtu (21/6/2025).
Dalam tayangan yang beredar luas di media sosial dan YouTube, Andi Widjajanto secara terbuka mengatakan, Jokowi sudah melalui proses administrasi penyerahan ijazah ketika mendaftar sebagai calon Gubernur DKI Jakarta 2012.
Namun bagi Beathor, pernyataan semacam itu bukan cukup. Ia mendorong agar Jokowo langsung yang memberikan klarifikasi, bukan melalui juru bicara ataupun tim kuasa hukum.
“Jokowi harus hadir di hadapan rakyat, bukan bersembunyi di balik pernyataan pembela. Kalau ijazah itu benar, tunjukkan. Negara akan jauh lebih damai jika pemimpinnya bersikap terbuka.”
Salah satu narasi yang selama ini digunakan oleh pihak yang membela Jokowi adalah bahwa pengungkapan ijazah secara terbuka dapat memicu kegaduhan atau kekacauan sosial (chaos). Narasi ini, menurut Beathor, tidak logis dan justru memperkeruh suasana.
“Kalau memang asli dan sah, kenapa takut chaos? Justru yang membuat gaduh adalah diamnya Jokowi dan pembiaran isu ini berlarut-larut,” ujar Beathor.
Ia menegaskan bahwa rakyat Indonesia sudah cukup dewasa untuk menerima kebenaran, apa pun bentuknya. Justru ketertutupan yang berulang kali dilakukan membuat masyarakat menduga ada sesuatu yang disembunyikan.
Polemik tentang keaslian ijazah Jokowi bukanlah isu baru. Sejak masa kampanye Pilpres 2014, isu ini sudah menyeruak dan terus berulang, terutama menjelang momen-momen politik penting. Para pendukung Jokowi menilai isu ini sebagai serangan politik yang tidak berdasar dan didorong oleh kelompok yang ingin mendiskreditkan reputasi presiden. Namun bagi sebagian kalangan, termasuk Beathor, ini bukan sekadar isu legal formal, tetapi juga menyangkut kredibilitas institusi dan figur kepala negara.
“Bangsa ini perlu kejujuran. Kalau seorang kepala desa saja harus menunjukkan ijazahnya, kenapa presiden tidak? Ini bukan soal Jokowi saja, ini soal masa depan demokrasi,” tutur Beathor.
Ia juga menyinggung bahwa ketertutupan soal dokumen akademik dapat membuka ruang bagi preseden buruk ke depan, di mana figur-figur yang ingin memimpin negara merasa tidak perlu transparan kepada rakyat.
Dalam beberapa tahun terakhir, tokoh-tokoh masyarakat sipil, akademisi, hingga aktivis kebangsaan turut menyoroti isu ini. Sejumlah pengacara, seperti Bambang Tri Mulyono, bahkan pernah membawa perkara ini ke ranah hukum, meskipun beberapa gugatan ditolak oleh pengadilan karena dianggap tidak memiliki kedudukan hukum.
Namun, tekanan publik tidak surut. Kanal-kanal alternatif seperti Santana TV, Refly Harun, dan Rocky Gerung menjadi forum diskusi yang terus mengangkat polemik ijazah ini. Di sinilah menurut Beathor, negara seharusnya hadir untuk mengakhiri kebingungan publik.
“Presiden bisa menyudahi semua ini hanya dengan menunjukkan dokumen resmi secara langsung. Tidak perlu sensasi, cukup klarifikasi,” pungkas Beathor.
Hingga berita ini ditulis, pihak Jokowi belum memberikan respons resmi terhadap tantangan terbaru yang dilontarkan Beathor. Namun tekanan dari publik dan tokoh-tokoh nasional tampaknya akan terus berlanjut.
Polemik ini pun menjadi cermin bagaimana kepercayaan publik terhadap pemimpin nasional bisa terganggu jika tidak dikelola dengan baik. Dan di tengah pusaran informasi yang serba cepat, kadang satu dokumen yang tidak pernah diperlihatkan justru bisa menjadi bahan spekulasi tanpa akhir.