Ahmad Khozinudin, seorang sastrawan politik yang dikenal kritis terhadap berbagai masalah sosial dan politik, kembali melontarkan pernyataan mengejutkan terkait ketidakjelasan penyelesaian kasus ijazah palsu yang melibatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Khozinudin mempertanyakan mengapa sampai hari ini masalah yang sudah begitu lama menjadi perbincangan publik ini masih belum menemui titik terang.
“Kenapa sampai hari ini kasus ijazah palsu Jokowi tak tuntas? Apa sulitnya Jokowi menunjukkan ijazah aslinya? Kenapa tidak ada kejelasan dari pihak yang seharusnya bisa memberikan bukti, misalnya Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai lembaga yang mengeluarkan ijazah tersebut?” ungkap Khozinudin kepada Radar Aktual, Selasa (25/3/2025).
Bagi Khozinudin, keberlanjutan dari kasus ijazah palsu ini menunjukkan ketidakseriusan dari pihak terkait dalam mencari kebenaran. Ia menambahkan bahwa masalah ini seharusnya tidak menjadi isu yang rumit untuk diselesaikan apabila semua pihak bersedia transparan dan bertindak jujur. “Apa susahnya UGM melepaskan ikatan kebohongan Jokowi? Kenapa UGM berani pasang badan, mengorbankan reputasi mereka hanya untuk melindungi kebohongan terkait ijazah Jokowi?” lanjutnya.
Menurutnya, kasus ini mencerminkan adanya sebuah permainan besar di balik layar yang melibatkan berbagai pihak penting. Di sinilah Khozinudin mulai mengaitkan fenomena tersebut dengan pola-pola kejahatan lain yang pernah terjadi, salah satunya yang melibatkan pemilik Agung Sedayu Group Aguan, sebuah perusahaan properti yang diduga terlibat dalam perampasan tanah rakyat Banten di proyek PIK-2. Khozinudin mengamati adanya kesamaan dalam pola tindakan yang digunakan oleh Aguan dalam menjalankan kejahatannya, yang menginvasi seluruh sendi kekuasaan.
“Jika kita mengamati pola kejahatan Aguan dalam kasus perampasan tanah rakyat Banten di proyek PIK-2, maka kita akan mudah memahami polanya. Aguan tidak hanya berurusan dengan satu pihak, tetapi telah menginvasi hampir semua lapisan kekuasaan, mulai dari pejabat pemerintah hingga aparat penegak hukum. Mereka telah dirusak dengan suap yang mereka terima, dan inilah yang membuat kasus perampasan tanah ini tidak pernah bisa sampai ke meja hijau dengan menyentuh pemilik sebenarnya, yaitu Agung Sedayu Group,” jelas Khozinudin.
Khozinudin menilai bahwa kasus perampasan tanah di Banten dan kasus ijazah palsu Jokowi memiliki pola yang sama, yaitu menginvasi sistem kekuasaan. Dalam hal ini, pihak-pihak yang berhubungan dengan proyek atau dengan masalah hukum lainnya terjebak dalam praktik-praktik korupsi dan kejahatan yang dilakukan oleh aktor-aktor besar.
“Pola ini sangat mirip. Aguan dalam kasus perampasan tanah menginvasi seluruh sendi kekuasaan dan membangun jaringan yang sangat rapat, di mana para pejabat dan aparat tidak hanya dilibatkan tetapi juga diperalat untuk melindungi kejahatannya,” kata Khozinudin.
Ia menilai bahwa para pejabat dan aparat yang terlibat dalam melindungi Aguan bukan hanya karena mereka terperangkap dalam jaringan kebohongan, tetapi juga karena mereka dilibatkan dalam kesalahan yang lebih besar. Dalam kasus tersebut, mereka tahu bahwa jika kejahatan yang dilakukan terungkap ke publik, maka mereka pun akan ikut terjerat.
“Begitu juga dalam kasus ijazah palsu Jokowi. Kita bisa melihat bahwa pejabat-pejabat di UGM, yang seharusnya menegakkan integritas lembaga pendidikan, justru terperangkap dalam kebohongan ini. Mereka seolah-olah ikut membela Jokowi, meskipun bukti yang ada belum bisa menjelaskan kebenaran terkait ijazah tersebut. Ada suatu kejanggalan di sini, di mana para pejabat di UGM, bukannya memproses permasalahan ini secara transparan, malah memilih untuk melindungi Jokowi,” ujar Khozinudin dengan nada kritis.
Khozinudin juga menambahkan bahwa fenomena ini menunjukkan bagaimana kekuasaan bisa disalahgunakan untuk melindungi individu atau kelompok tertentu yang memiliki pengaruh besar, bahkan jika mereka terlibat dalam tindak pidana. “Pada dasarnya, apa yang terjadi di UGM adalah contoh konkret dari bagaimana kekuasaan bisa terdistorsi. Para pejabat yang seharusnya menegakkan keadilan dan kebenaran justru memilih untuk berkompromi demi kepentingan yang lebih besar,” tambahnya.