News  

GEMAH Laporkan Dugaan Korupsi Perpanjangan Konsesi Tol CMNP ke Kejagung dan KPK

Kejaksaan Agung (IST)

Gerakan Mahasiswa Hukum (GEMAH) resmi melaporkan dugaan tindak pidana korupsi kepada Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait perpanjangan konsesi pengusahaan ruas jalan tol Cawang–Tanjung Priok–Ancol Timur–Pluit oleh PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP).

Ketua Umum GEMAH, Badrun Atnangar, menyampaikan kepada awak media bahwa laporan ini mengacu pada temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2024. Dalam dokumen BPK setebal 292 halaman itu disebutkan bahwa perpanjangan konsesi tersebut tidak sesuai ketentuan, dilakukan secara sepihak, dan berpotensi merugikan negara hingga Rp 15–20 triliun.

Menurut Badrun, perpanjangan konsesi kepada PT CMNP yang dikuasai oleh pengusaha Jusuf Hamka dilakukan tanpa mekanisme lelang ulang. “Perpanjangan ini diberikan langsung oleh Menteri PUPR Basuki Hadimuljono pada 23 Juni 2020, padahal masa konsesi seharusnya baru berakhir Maret 2025,” tegasnya di Gedung Kejagung, Rabu (2/7) dalam pernyataan yang dikirim ke Radar Aktual.

Ia menjelaskan bahwa sesuai dengan PP Nomor 23 Tahun 2024 tentang Jalan Tol, evaluasi pengusahaan jalan tol baru boleh dilakukan paling cepat satu tahun sebelum berakhirnya konsesi. Namun, evaluasi dan perpanjangan dilakukan lima tahun lebih awal tanpa proses tender dan transparansi.

Badrun juga menyebutkan bahwa perpanjangan tersebut telah dituangkan dalam Akta Notaris Rina Utami Djauhari, SH No. 06 tanggal 23 Juni 2020, dan ditandatangani langsung oleh Menteri PUPR serta pihak PT CMNP. “Ini merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang dan nepotisme, bahkan diduga melibatkan suap ratusan miliar rupiah,” katanya.

Lebih lanjut, Badrun menyinggung adanya dugaan manipulasi keuangan berdasarkan LHP BPK tahun 2015. “Biaya pemeliharaan tol senilai Rp 1,2 triliun dibebankan ke APBN, padahal itu menjadi kewajiban CMNP. Ini praktik dual accounting yang merugikan negara,” ungkapnya.

GEMAH juga menemukan fakta bahwa CMNP hanya menyetor 1,5% dari pendapatan kotor ke negara, jauh di bawah rata-rata industri sebesar 3–5%. Selain itu, denda keterlambatan sebesar Rp 320 miliar tidak ditagih oleh Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT).

“Yang lebih mengkhawatirkan, salah satu direktur CMNP adalah mantan pejabat BPJT, sehingga membuka potensi kolusi dalam penetapan tarif dan perpanjangan konsesi,” beber Badrun.

Secara yuridis, ia merinci tiga dasar hukum yang dilanggar:

-UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan, yang mengatur bahwa jalan tol harus dikembalikan ke negara setelah masa konsesi berakhir.

-PP No. 15 Tahun 2005 dan PP No. 23 Tahun 2024, yang mensyaratkan adanya evaluasi dan tender ulang sebelum perpanjangan.

-UU Tipikor Pasal 2 dan 3, yang menyatakan bahwa tindakan merugikan keuangan negara akibat penyalahgunaan wewenang dapat dikategorikan sebagai korupsi.

“Kami menuntut Kejaksaan Agung dan KPK segera melakukan audit investigatif terhadap proses perpanjangan konsesi ini. Dugaan korupsi, kolusi, manipulasi laporan keuangan, dan mark-up sangat jelas terlihat. Ini bentuk perlawanan terhadap hukum yang merugikan rakyat dan negara,” tegasnya.

GEMAH menyatakan siap mengawal kasus ini hingga tuntas dan akan melibatkan publik serta mahasiswa hukum di seluruh Indonesia dalam aksi mendesak penegakan hukum atas kasus ini.