Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo terekam mencium tangan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, saat berkunjung ke kediaman keluarga mendiang Jenderal Hoegeng Iman Santoso pada Senin (23/6/2025). Gestur itu memicu beragam tafsir politik di tengah dinamisnya peta kekuasaan nasional.
Kordinator Center for Budget Analysis (CBA), Jajang Nurjaman menilai, tindakan Kapolri bukan sekadar bentuk penghormatan pribadi. Menurutnya, cium tangan tersebut bisa dimaknai sebagai manuver politik atau bahkan sinyal pergeseran dukungan.
“Kalau cium tangan itu dianggap sebagai rasa hormat kepada Ketua Umum PDIP, maka bisa juga ditafsirkan sebagai ucapan halus: ‘Selamat tinggal Jokowi’,” ujar Jajang kepada Radar Aktual, Rabu (2/7/2025).
Jajang menyoroti inkonsistensi kebijakan Kapolri yang sebelumnya melarang tilang manual, namun tetap terjadi di lapangan. Hal itu ia sebut sebagai “gimik” semata. Menurutnya, publik sudah cukup akrab dengan simbol-simbol semacam itu dari institusi kepolisian.
“Kapolri dulu melarang tilang manual, tapi praktiknya tetap jalan. Ini memperkuat persepsi publik bahwa banyak kebijakan Polri hanya sebatas tontonan,” tegasnya.
Lebih jauh, Jajang menyoroti relasi politik antara Megawati dan institusi Polri yang dulunya tidak akrab. Di masa lalu, kata dia, seorang Kapolri tak akan berani terlalu dekat dengan Megawati. Namun kini, situasinya berbalik.
“Publik tahu, Megawati pernah vokal mengkritik Polri di bawah kepemimpinan Listyo. Tapi kini, peta politik berubah. Cium tangan itu sinyal kuat bahwa Kapolri mulai menjauh dari lingkar Jokowi dan mulai merapat ke kekuatan politik lain,” pungkasnya.