Pengamat politik dan sosial Farid Idris menyampaikan kritik tajam terhadap tren pemekaran daerah yang belakangan kembali menguat di sejumlah wilayah Indonesia. Menurutnya, praktik pemekaran yang terjadi dewasa ini sudah jauh melenceng dari cita-cita awal, yakni untuk mendekatkan pelayanan publik dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Alih-alih demikian, pemekaran daerah kini justru cenderung menjadi proyek kekuasaan bagi elit lokal, yang menjadikannya sebagai alat untuk memperluas pengaruh politik dan ekonomi.
“Kita sudah menyimpang jauh dari tujuan awal otonomi dan pemekaran. Dulu pemekaran untuk mempercepat pembangunan, sekarang untuk menciptakan kerajaan-kerajaan kecil yang dikuasai oleh segelintir elit,” ujar Farid kepada Radar Aktual, Selasa (8/4).
Sejak era reformasi, Indonesia mengalami lonjakan jumlah daerah otonom baru (DOB). Dari tahun 1999 hingga 2022, tercatat lebih dari 200 DOB dibentuk, mulai dari tingkat provinsi, kabupaten, hingga kota. Sementara sebagian berhasil mempercepat pembangunan dan meningkatkan pelayanan, tidak sedikit pula yang justru terjebak dalam konflik elit, pemborosan anggaran, hingga meningkatnya praktik nepotisme dan korupsi.
Menurut Farid, situasi ini menjadi alarm serius bagi pemerintah pusat untuk meninjau ulang kebijakan pemekaran. Ia menegaskan, banyak proposal pemekaran daerah yang dibungkus dengan narasi aspirasi rakyat, padahal di baliknya terselubung kepentingan kelompok tertentu untuk mendapatkan akses terhadap kekuasaan, APBD, hingga proyek-proyek strategis.
“Elite daerah melihat pemekaran sebagai peluang membuka ladang kekuasaan baru. Dengan adanya daerah baru, maka jabatan-jabatan baru tercipta—bupati, walikota, anggota DPRD, bahkan dinasti politik pun ikut menjalar. Ini bukan desentralisasi, tapi fragmentasi kekuasaan,” ujarnya.
Fenomena yang disebut Farid sebagai “raja-raja baru” tidak hanya berdampak pada pengelolaan keuangan daerah, tetapi juga pada aspek sosial dan politik. Di banyak kasus, pembentukan daerah baru malah menimbulkan konflik horizontal, ketegangan antar etnis, bahkan memicu potensi disintegrasi bangsa.
“Jika pemekaran tidak dikontrol dengan ketat, kita bisa menuju perpecahan. Identitas lokal yang mestinya memperkaya mozaik kebangsaan malah dijadikan alat mobilisasi politik dan pemisahan dari pusat,” tegas Farid.
Ia juga menyoroti sejumlah kasus di mana kepala daerah di DOB justru terjerat korupsi, memperkuat dugaan bahwa motivasi utama pemekaran bukanlah pelayanan, tetapi eksploitasi anggaran.
Atas kondisi tersebut, Farid Idris mengimbau Presiden untuk mengambil sikap tegas terhadap wacana pemekaran daerah yang tidak memenuhi prinsip keadilan, efisiensi, dan kepentingan nasional. Ia menilai, moratorium pemekaran yang sempat diberlakukan perlu dilanjutkan hingga ada sistem evaluasi yang objektif dan bebas dari intervensi politik lokal.
“Presiden harus berani menolak pemekaran yang hanya akan memperburuk tata kelola pemerintahan. Jangan sampai demi popularitas politik, kita mengorbankan keutuhan dan masa depan bangsa,” katanya.
Wacana pemekaran daerah memang kompleks. Di satu sisi, ia bisa menjadi sarana pemerataan pembangunan. Namun di sisi lain, tanpa pengawasan dan landasan visi kebangsaan yang kuat, ia bisa menjelma menjadi alat fragmentasi kekuasaan yang justru melemahkan negara.
Farid Idris mengingatkan bahwa esensi dari otonomi dan pemekaran bukanlah memperbanyak jabatan, melainkan mempercepat kesejahteraan rakyat. “Jika rakyat tak lagi menjadi pusat dari proses itu, maka pemekaran hanyalah proyek kosong yang menjauhkan kita dari cita-cita Indonesia merdeka,” pungkasnya.