Perekonomian Indonesia tengah menghadapi tantangan serius. Daya beli masyarakat merosot tajam. Sektor riil yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat, seperti kuliner dan UMKM, terpukul hebat. Banyak pelaku usaha kecil menengah kebingungan menjual hasil produksinya karena ketimpangan antara modal dan hasil penjualan.
Fenomena ini kian terasa saat momen Lebaran lalu. Data menunjukkan adanya penurunan signifikan jumlah pemudik dibanding tahun sebelumnya. Tradisi mudik yang biasanya menjadi indikator ekonomi rakyat justru mencerminkan sebaliknya—bukti konkret bahwa masyarakat sedang mengalami tekanan ekonomi yang tidak ringan.
Kondisi ini tak lepas dari berbagai persoalan makroekonomi. Beban utang pemerintah kian membengkak, neraca ekspor melemah, serta ketegangan global meningkat akibat perang tarif yang kembali dipicu oleh Presiden AS Donald Trump. Semua ini memperburuk stabilitas keuangan negara yang kini tercermin dalam defisit APBN yang membengkak.
Presiden Prabowo Subianto kini dihadapkan pada tantangan besar untuk mengoreksi arah kebijakan ekonomi nasional. Menurut Pengamat Intelejen dan Geopolitik, Amir Hamzah, terdapat dua kelemahan utama dalam pemerintahan saat ini yang harus segera dibenahi.
Amir menyebutkan bahwa janji-janji lisan Presiden Prabowo, terutama yang bersifat pro-rakyat, belum sepenuhnya dijalankan para menterinya. Masalah utama adalah belum adanya regulasi yang mengikat dan menjadi dasar hukum pelaksanaan kebijakan di lapangan. “Janjinya itu belum dituangkan dalam bentuk regulasi untuk menjadi payung hukum para menteri dan pemerintah daerah,” tegas Amir kepada Radar Aktual, Rabu (16/4/2025).
Tanpa regulasi yang kuat, janji hanya tinggal retorika. Koordinasi antar lembaga pun menjadi lemah, menyebabkan program-program strategis tersendat dalam implementasinya.
Kelemahan kedua, lanjut Amir, adalah lemahnya dukungan pendanaan terhadap program-program kebijakan Presiden. Dengan kondisi fiskal negara yang tengah terguncang, semua kebijakan membutuhkan sokongan dana yang memadai. Pemerintah bahkan dirumorkan tengah mencari utang baru sebesar Rp250 triliun untuk menutupi defisit dalam tiga bulan ke depan.
“Apapun janji atau kebijakan yang ditelurkan Presiden Prabowo kalau tidak didukung pendanaan, ya percuma,” ujar Amir.
Amir menyarankan agar Presiden segera melakukan koreksi terhadap kebijakan moneter yang selama ini dilakukan oleh Bank Indonesia (BI). Salah satu langkah strategis adalah melonggarkan ketergantungan terhadap IMF dan Bank Dunia, dan mengikuti jejak negara-negara Arab yang telah membentuk Arab Monetary Fund (AMF).
Langkah koreksi ini bisa ditempuh melalui dua alternatif. Pertama, dengan menginstruksikan tim moneter untuk memainkan kebijakan berbasis operasional perbankan, memanfaatkan dana bank sebesar Rp5 miliar yang secara sistemik dapat digerakkan untuk menghasilkan Rp20 triliun selama tiga bulan.
Alternatif kedua, membuka ruang partisipasi publik dalam membela negara secara konstitusional. Skema ini juga memanfaatkan dana Rp5 miliar yang bisa menghasilkan Rp20 triliun dalam waktu yang lebih cepat.
“Malahan bila publik dilibatkan, perolehan Rp20 triliun itu akan terealisasi tidak sampai tiga bulan,” tegas Amir.
Yang tidak kalah penting, kata Amir, adalah keterbukaan informasi dari Bank Indonesia mengenai potensi dan keberadaan dana collateral yang selama ini disebut-sebut tersimpan dalam sistem keuangan nasional. “Presiden perlu meminta informasi yang terbuka dan jujur dari BI mengenai keberadaan dan peluang pendayagunaan dana collateral,” ujarnya.
Amir menyarankan agar Presiden segera membentuk tim khusus untuk menindaklanjuti hal ini, serta menyusun draf regulasi yang menjadi dasar hukum agar pemanfaatan dana collateral dapat dilakukan secara sah, terukur, dan transparan.