News  

Koperasi Desa Merah Putih, Proyek Elit Senilai Rp. 400 Triliun

Banyak yang mengira penulis alumni FISIP (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) karena terlalu banyak mengomentari dan mengamati politik. Padahal ngomong politik sekadar hobby. Tidak pernah menjadi anggota partai politik. Bagi penulis politik praktis hari ini terlalu banyak di area abu-abu. Bahasa agamanya syubhat. Lebih banyak dusta daripada jujurnya. Lebih banyak pat gulipat daripada transpransinya.

Sebenarnya penulis alumni IKOPIN (Institut Manajemen Koperasi Indonesia) sekarang Ikopin University. Namanya jadi keren. Brand koperasinya hilang lantaran sepi peminat kuliah di kampus seribu tangga yang diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 12 Juli 1984 yang terletak di Kawasan Pendidikan Tinggi Jatinangor, Kabupaten Sumedang.

Mirip-mirip Bank Bukopin yang tak ada hubungannya lagi dengan Bank Umum Koperasi Indonesia. Koperasi hanya tinggal nama. Tinggal kenangan bahwa Indonesia pernah punya bank koperasi dan perguruan tinggi koperasi.

Banyak alumni Ikopin meminta penulis mengomentari tentang Koperasi Desa Merah Putih. Penulis hanya komentari singkat, “Koperasi Desa Merah Putih Proyek Elit Senilai Rp 400 triliun”.

Kenapa penulis sebut proyek elit karena lahir dari elit, oleh elit dan untuk elit alias top down? Tak ubahnya seperti KUD, Ketua Untung Duluan eh Koperasi Unit Desa pada era Bapak Pembangunan Indonesia, Jenderal Besar Soeharto dengan Menteri Koperasinya yang legendaris , Bustanil Arifin yang familiar disapa di Ikopin, Pak Bus.

Idealnya koperasi didirikan dengan pendekatan top down-bottom up. Pemerintah menerbitkan regulasi dan memberikan fasilitas kemudahan bagi bertumbuh kembangnya koperasi. Sementara anggota memilih jenis usaha koperasi berdasarkan kebutuhan anggota. Kementerian Koperasi cukup menyediakan Sarjana Pendampingan Koperasi di tiap unit koperasi.

Berbeda dengan idealnya koperasi pada umumnya dimana anggota koperasi mengeluarkan biaya partisipasi (participation cost) seperti simpanan pokok, simpanan wajib dan simpanan sukarela sebagai modal koperasi.

Sedangkan Koperasi Desa Merah Putih tiap unitnya bakal dikucurkan modal Rp 3 sampai 5 miliar dari Himpunan Bank Negara (Himbara). Setelah menuai banyak protes karena berisiko macet akhirnya Pemerintah berencana mengucurkan dari Dana Desa yang berasal dari APBN/APBD.

Setidaknya sesuai Instruksi Presiden RI Nomor 9 tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih yang ditandatangani Presiden Prabowo Subianto pada 27 Maret 2025 akan dibentuk 80.000 unit Koperasi Desa Merah Putih di seluruh Indonesia dengan anggaran yang dibutuhkan Rp400 triliun.

Menurut Rahma Gafmi, Guru Besar Universitas Airlangga, “Berdasarkan data, sekitar 62 persen pemerintah kabupaten/kota di Indonesia memiliki ketergantungan fiskal yang sangat tinggi terhadap pemerintah pusat. Bahkan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan, sekitar 88,07 persen dari total 503 pemerintah daerah di Indonesia belum mandiri dalam mengelola APBD dan masih bergantung pada transfer dana dari pemerintah pusat”.

Belum lagi dana dari APBN/APBD untuk Koperasi Desa Merah Putih menguap. Bukan rahasia umum lagi kucuran Dana Desa untuk tiap unit Koperasi Desa Merah Putih sebesar Rp 3 sampai Rp 5 miliar menjadi bancakan elit pusat dan elit daerah. Dikuitansi bermaterai tertulis dana yang diterima Koperasi Desa Merah Putih Rp 3 sampai Rp 5 miliar tapi faktanya dana yang diterima tidak sebesar itu.

Tinggal kalikan saja. Andai fulus sebesar Rp. 400 triliun dikalikan 10% saja atau senilai Rp. 40 triliun menjadi bancakan elit pusat dan elit daerah. Siapa yang bisa menjamin dana tersebut akan utuh diterima oleh tiap-tiap unit Koperasi Desa Merah Putih yang berjumlah 80.000 unit itu.

Wakil Menteri Koperasi Fery Juliantono menyebut dengan modal yang digelontorkan itu, keuntungan yang didapat bisa 5 kali lipat. “Harapannya 2 tahun lah, dari Rp400 triliun yang dikucurkan itu bisa di-leverage menjadi Rp2.000 triliun,” kata Fery Juliantono di Kantor Kemenko Pangan, Jakarta Pusat, Senin (14/4).

Sontak saja pernyataan Wakil Menteri Koperasi Ferry Juliantono mendapat kritikan tajam dari ekonom Universitas Airlangga Rahma Gafmi seperti dikutip dari Infobanknews, “Logika berpikir Wamenkop itu eror”.

“Bagaimana cara menghitung rasionalitas keuntungan Rp2.000 triliun dengan modal Rp400 triliun. Sungguh hal yang muskil. Tidak logis,” ujar Rahma Gafmi.

Bisnis apa di masa sulit seperti hari ini apalagi di desa bisa untung lima kali lipat? Dimana gerai-gerai Indomaret dan Alfamart sudah masuk ke desa-desa. Mustahil Koperasi Desa Merah Putih bisa bersaing dengan gerai-gerai eceran yang memiliki jaringan distribusi dan modal yang kuat.

Mungkin Koperasi Desa Merah Putih berencana menjadi lintah darat baru alias rentenir berkedok usaha simpan pinjam untuk mengejar target lima kali lipat seperti diutarakan oleh Wakil Menteri Koperasi Fery Juliantono?

Atau mungkin bisnis judi online yang bisa meraup keuntungan lipat kali karena konon Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi punya pengalaman ini? Tampaknya Menteri dan Wakil Menteri Koperasi perlu belajar lagi dari negara yang sukses mengelola koperasi dan cara berhitung bisnis yang masuk akal.

Wallahua’lam bish-shawab
Bandung, 23 Syawal 1446/22 April 2025
Tarmidzi Yusuf, Kolumnis