Pengamat Sosial Universitas Indonesia (UI), Rissalwan Habdy Lubis, mendorong agar program Makan Bergizi Gratis (MBG) tidak hanya menjadi ajang bagi pemodal besar untuk meraup untung, melainkan juga memberdayakan masyarakat sekitar sekolah.
Hal itu disampaikan Rissalwan sebagai respons atas klaim keberhasilan program MBG sebesar 99,99 persen, yang menurutnya tidak mencerminkan realita di lapangan.
Selain banyaknya kasus keracunan yang menimpa siswa, karut-marut pengelolaan program MBG juga menjadi sorotan tajam publik.
“Dari segi angka, ya patut diapresiasi targetnya. Tapi sekali lagi, itu target. Bukan persentase dari jumlah seluruh anak Indonesia yang berhak mendapatkan makan bergizi gratis,” kata Rissalwan saat dihubungi, Inilah.com Sabtu (10/5/2025).
Ia menyoroti sistem dapur besar dalam MBG yang justru menimbulkan banyak masalah, mulai dari potensi keterlambatan distribusi hingga makanan basi.
Hal ini terbukti dalam kasus dapur MBG Kalibata, Jakarta Selatan, yang sempat berhenti beroperasi karena persoalan internal dan mengakibatkan anak-anak sekolah tidak mendapatkan makanan.
“Catatan saya, kalau dapur besar itu tidak beroperasi, tidak ada backup. Seperti kasus Kalibata kemarin. Begitu bermasalah, berhenti berproduksi, anak-anak jadi tidak mendapatkan makanan,” jelasnya.
Rissalwan mengusulkan agar pemerintah kembali ke konsep dapur komunitas atau community kitchen yang dikelola oleh masyarakat sekitar sekolah. Konsep ini dinilai lebih efektif dan sekaligus memberdayakan ekonomi warga.
“Jangan satu dapur melayani sampai puluhan atau ratusan sekolah. Beberapa sekolah bisa dilayani oleh beberapa dapur kecil yang dikelola masyarakat sekitar. Jadi, selain siswanya bergizi, masyarakatnya juga berdaya,” ucapnya.
Menurut Rissalwan, saat ini justru hanya pengusaha bermodal besar yang mampu memenuhi syarat menjadi vendor MBG, karena ketentuan Badan Gizi Nasional (BGN) sangat berat bagi pelaku usaha kecil.
“Sekarang hanya pengusaha-pengusaha besar yang punya dapur, punya modal. Yang kecil-kecil tidak kebagian. Ini yang saya kira harus dievaluasi,” tegasnya.
Untuk diketahui, program MBG oleh BGN ditarget akan menyasar 82,9 juta penerima, dengan perkiraan anggaran Rp1 triliun perhari pada November 2025.
Sebelumnya, dalam laporan Januari 2025 lalu, untuk menjadi vendor program MBG, UMKM menghadapi kendala berat yakni permodalan. Karena berbagai syarat dari BGN yang dipimpin Dadan Hindayana.
Misalnya, makanan yang diorder mencapai 3.000 porsi, harus memiliki dapur khusus, serta tempat makannya memiliki spesifikasi khusus, sesuai standar BGN. Tentu saja, semuanya perlu modal besar.
Sehingga wajar jika hanya pengusaha bermodal besar yang kebagian ‘kue’ dari program MBG. Termasuk dua retoran milik PT Sri Rejeki Isman Tkb (SRIL) atau Sritex, yakni Diamond dan Daegu Korean Grill. Keduanya sempat didapuk sebagai Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) alias dapur MBG.
Dua restoran milik industri tekstil terbesar di Asia itu, bertugas memasok makanan bagi siswa sekolah di daerah Laweyan, Solo, Jawa Tengah.(Sumber)