Riza Annisa Pujarama, peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), menilai naiknya angka pengangguran di Indonesia buntut dari maraknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di industri manufaktur. PHK ini terjadi sejak semester kedua 2024.
“Pemicu derasnya PHK tersebut diantaranya karena pelemahan daya beli, ada juga karena faktor daya saing yang kurang dengan produk impor, dan beberapa perusahaan merelokasi pabriknya ke luar negeri,” kata Riza kepada inilah.com, Sabtu (10/5/2025).
Sebelumnya pada awal pekan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan jumlah pengangguran di Indonesia sebanyak 7,28 juta orang per Februari 2025. Jumlah ini naik 1,1 persen atau 83 ribu orang dibandingkan periode sama tahun lalu.
Dari jumlah tersebut, pengangguran bergelar sarjana naik 14,6 persen. Itu adalah kenaikan tertinggi dibandingkan pengangguran dari level pendidikan lain. Pada 2024, pengangguran di level sarjana, mulai dari Diploma IV, S1, S2, dan S3 hanya 12,2 persen dari total pengangguran di seluruh Indonesia.
Riza mengatakan jumlah pengangguran yang diumumkan BPS itu adalah angka yang besar dan bisa menjadi beban bagi perekenomian.
“Jadi ada permasalahan struktural dalam ekonomi Indonesia yang memang perlu dibenahi, ditambah faktor global,” kata Riza.
BPS mencatat penduduk usia kerja di Indonesia mencapai 216,79 juta orang pada Februari 2025, meningkat 2,79 juta orang dari Februari 2024. Dari jumlah tersebut, angkatan kerja tercatat sebanyak 153,05 juta orang, bertambah 3,67 juta orang dalam setahun terakhir.
Adapun gelombang PHK masih terjadi sampai awal 2025. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat jumlah PHK pada Januari-Februari 2025 mencapai 18.610 orang.(Sumber)