Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) angkat bicara soal penunjukan Hadi Poernomo sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Penerimaan Negara. Sebab, Hadi pernah menyandang status tersangka dalam kasus dugaan penyalahgunaan wewenang terkait surat keberatan pajak atas PT BCA Tbk saat menjabat sebagai Direktur Jenderal Pajak periode 2001–2006.
Juru bicara KPK, Budi Prasetyo, menilai jabatan tersebut sangat krusial dalam upaya pemberantasan korupsi karena sektor penerimaan negara rawan disusupi praktik koruptif, terutama pada wilayah seperti PNBP sektor minerba serta pajak dan PNBP dari kelapa sawit.
“Kemudian terkait dengan konteks sebagai penasihat khusus dalam sektor penerimaan negara. Kaitannya dengan pemberantasan korupsi tentu hal itu cukup krusial. Mengingat potensi korupsi dalam pengelolaan keuangan negara tidak hanya pada aspek pembiayaan atau pembelanjaan, tapi juga aspek-aspek penerimaan negara,” kata Budi kepada wartawan di Jakarta, dikutip Kamis (15/5/2025).
“Untuk itu KPK sebelumnya juga telah lakukan beberapa kajian berkait dengan penerimaan negara seperti PNBP pada Minerba, PNBP dan Pajak pada sawit. Karena KPK melihat adanya ruang-ruang atau potensi korupsi pada sektor penerimaan negara,” sambungnya.
Budi juga mengingatkan bahwa Hadi wajib melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) sebagai bentuk pencegahan korupsi. Laporan tersebut wajib disampaikan paling lambat tiga bulan setelah pelantikan.
“Jabatan Penasehat Khusus Presiden merupakan salah satu pejabat yang wajib untuk melapor LHKPN sebagai salah satu instrumen pencegahan korupsi,” ucap Budi.
Sebelumnya, pada Rabu (14/5/2025), beredar kabar bahwa Presiden Prabowo Subianto menunjuk mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2009–2014 itu sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Penerimaan Negara. Penunjukan tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 45/P Tahun 2025.
Hadi sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 21 April 2014, bertepatan dengan hari terakhirnya menjabat sebagai Ketua BPK. Ia dijerat karena menyetujui seluruh keberatan pajak yang diajukan PT BCA Tbk atas Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) PPh tahun pajak 1999–2003. Sementara itu, permohonan serupa dari bank lain ditolak olehnya.
Ia dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Kasus tersebut diduga merugikan negara hingga Rp370 miliar.
Setelah penetapan itu, Hadi menggugat Laporan Hasil Audit Investigasi Irjen Depkeu yang menjadi alat bukti KPK ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), namun gugatan itu ditolak. Ia juga mengajukan permohonan praperadilan ke PN Jakarta Selatan tanpa kuasa hukum, dan dikabulkan oleh hakim Haswandi yang menyatakan penyelidikan serta penyidikan KPK tidak sah karena penyidik bukan dari kepolisian atau kejaksaan.
KPK kemudian mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA), yang meski menolak permohonan KPK, menyatakan bahwa PN Jaksel telah melampaui kewenangannya dan putusan tersebut bisa dikategorikan sebagai upaya merintangi penyidikan.
Hadi juga mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi TUN namun kembali ditolak. Namun, dalam proses kasasi, MA akhirnya mengabulkan permohonan Hadi dan mencabut laporan hasil audit yang digunakan sebagai alat bukti oleh KPK.(Sumber)