Dalam dunia politik yang dinamis, kadang muncul fenomena yang melampaui batas kelaziman. Salah satunya adalah wacana pergantian Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), di mana Jokowi dikabarkan akan menggantikan putranya, Kaesang Pangarep. Situasi ini menimbulkan perdebatan karena menggugurkan prinsip regenerasi kepemimpinan pada umumnya.
Pengamat politik dan media Asia Tenggara, Buni Yani, menyebut bahwa jika Jokowi benar menggantikan Kaesang sebagai Ketua Umum PSI, itu akan menjadi salah satu proses pergantian kepemimpinan teraneh di dunia. Biasanya, regenerasi berjalan dari atas ke bawah—dari bapak ke anak—namun di PSI justru sebaliknya.
Buni Yani menyoroti bahwa regenerasi dalam kepemimpinan politik umumnya bersifat menurun. Namun, dalam konteks ini, PSI justru mengambil langkah menaik—dari anak ke bapak. “Ini partai cara berpikir dan bertindaknya sangat tidak lazim,” kata Buni Yani dalam pernyataannya kepada Radar Aktual, Senin (19/5/2025).
Kritik Terhadap Prinsip Kepemimpinan PSI PSI selama ini dikenal sebagai partai yang bangga dengan kader muda dan semangat progresif. Kaesang sendiri diharapkan menjadi simbol pembaruan kepemimpinan partai. Namun, jika Jokowi benar mengambil alih, PSI justru dianggap menyalahi prinsip regenerasi yang mereka banggakan. “Seperti kata anak zaman sekarang, ini partai emang agak laen,” sindir Buni Yani.
Jika wacana ini terealisasi, publik mungkin akan memandang PSI sebagai partai yang tidak konsisten dalam memperjuangkan nilai-nilai mudanya. Selain itu, masuknya Jokowi ke dalam struktur partai juga bisa memicu spekulasi tentang motif politik di balik keputusan ini.
“Langkah ini dapat dianggap sebagai pengkhianatan terhadap prinsip yang mereka perjuangkan. Partai yang sebelumnya membanggakan diri sebagai rumah bagi pemimpin muda kini justru membawa figur yang telah malang melintang dalam politik nasional,” pungkasnya.