News  

JPPI Ungkap Keanehan SPMB 2025: Praktik Jual Beli Kursi Hingga Domisili Terabaikan

Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji mengatakan, semangat pemerintah melalui Kemendikdasmen yang menggelorakan pendidikan bermutu untuk semua anak tampaknya hanya sebatas retrorika belaka.

Buktinya, JPPI menemukan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) tahun 2025 kembali diwarnai oleh protes dan kecurangan, karena banyak pihak berasa bahwa sistemnya masih belum berkeadilan untuk semua.

“Sistem SPMB 2025 masih diskriminatif dan belum sepenuhnya memenuhi prinsip perlindungan ‘hak semua anak’ atas pendidikan,” kata Ubaid dalam keterangan tertulis kepada Inilah.com, dikutip Sabtu (21/6/2025).

JPPI mencatat setidaknya ada sejumlah masalah sistemik dalam Permendikdasmen No. 3 Tahun 2025 yang menjadi pemicu kericuhan dalam proses penerimaan tahun ini.

Salah satu persoalan yang disorot adalah masih maraknya fenomena rebutan kursi di sekolah negeri, yang sekaligus mencerminkan negara abai terhadap prinsip dasar yakni hak setiap anak atas pendidikan.

JPPI menyoroti SPMB 2025 masih terjebak dalam masalah klasik, yaitu perebutan kursi di sekolah negeri, tanpa memberikan solusi komprehensif bagi mayoritas anak yang tidak tertampung.

“Inilah pintu masuk kasus jual beli kursi, pungli, dan manipulasi yang sudah diberantas. Ada permintaan yang sangat tinggi (demand), sementara penyediaan (supply) yang sangat minim,” ujar Ubaid.

Kasus jual beli kursi ini lanjut Ubaid terjadi karena adanya hukum pasar supply and demand. Semakin tinggi permintaan karena barang yang langka, maka semakin tinggi harga jual.

“Ibarat naik bus (sekolah negeri), ini kapasitas bus sudah jelas-jelas tidak muat, mengapa pemerintah hanya sibuk urus seleksi calon penumpang yang ingin naik bus? Padahal penumpang (calon murid) yang tidak tertampung jauh lebih banyak?” tanya Ubaid.

Sebagai contoh, rata-rata daya tampung SMA Negeri di berbagai provinsi hanya sekitar 30 persen. Lantas, seharusnya pemerintah fokus ke 70 persen anak yang tidak tertampung, daripada hiruk-pikuk ribut ngurusi yang 30 persen saja.

“Lantas bagaimana nasib anak yang tidak tertampung ini?,” tanya Ubaid seraya mengatakan, kondisi kata dia jelas menjadi potensi tingginya angka putus sekolah di jenjang SMA dan rendahnya angka partisipasi sekolah.

Di samping itu, JPPI menilai Permendikdasmen No. 3 Tahun 2025 sangat membingungkan dan ambigu, terutama terkait penerapan jalur penerimaan.

Misalnya, pada jalur domisili tingkat SMA, yang menjadi ukuran adalah kemampuan akademik, bukan jarak tempat tinggal ke sekolah (Pasal 43).

Keanehan serupa juga ditemukan pada jalur afirmasi yang ternyata mengukur jarak (Pasal 44), sementara jalur domisili jenjang SD yang diukur malah usia (Pasal 43). “Pusing bukan? Saya yang mengikuti tiap tahun saja pusing, apalagi orang tua,” kata Ubaid.

Kebingungan ini semakin diperparah dengan aturan di daerah seperti Jakarta dan Yogyakarta, di mana semua jalur penerimaan di jenjang SMA (prestasi, domisili, mutasi, dan afirmasi) pada akhirnya tetap mengutamakan prestasi akademik (Pergub Jakarta 414/2025 dan Keputusan Gubernur DIY 131/2025).

“Ironi memang, meski jarak domisili anak dekat dengan sekolah dan dari keluarga miskin pula, tidak menjamin akan bisa melenggang lolos seleksi bila tidak berprestasi,” kata Ubaid. Empat model jalur yang diharapkan mampu membuka akses sekolah secara lebar, justru banyak menemukan kebuntuan.(Sumber)