Anggota Tim Pengawas (Timwas) Haji sekaligus Anggota Komisi VIII DPR RI Selly Andriany Gantina mengatakan, BP Haji yang akan jadi penyelenggara haji 2026 harus belajar dari pengalaman yang sudah-sudah.
Dia bilang, pemerintah mesti disiplin mengikuti aturan yang ditetapkan oleh Arab Saudi, jangan sampai ada lagi nota diplomatik yang dilayangkan Kerajaan Arab Saudi.
“Harus menjadi perbaikan, agar tidak seperti halnya India dan Pakistan, setelah mendapatkan catatan, mereka dikurangi kuotanya. Kekhawatiran kami adalah kalau ini tidak dilakukan evaluasi secara menyeluruh, maka akan mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah Saudi Arabia,” ungkap Selly kepada Inilah.com di Jakarta, dikutip Rabu (25/6/2025).
Adapun, lima catatan yang tertuang dalam nota diplomatik itu berkenaan dengan persoalan pendataan, penyelenggaraan perjalanan dari mulai kedatangan, puncak haji, syarikah hingga masalah kesehatan.
“Sementara pemerintah Indonesia tidak mengindahkan itu. Artinya ada sesuatu yang salah, apakah ada miskomunikasi sehingga hasil evaluasi setiap hari atau kesepakatan yang dibuat pemerintah Saudi dengan Indonesia ini tidak diindahkan, atau memang ada hal lain yang menurut kami kita masih belum bisa mengevaluasi secara keseluruhan, karena penyelenggaraan ibadah haji itu kan baru akan ditutup tanggal 18 Juli,” tuturnya.
Terkait pelaksanaan istithaah atau pemeriksaan kesehatan, ia mengatakan, kebijakan pemerintah Arab Saudi sebenarnya sudah jelas, yaitu dalam rangka penyelenggaraan visi tahun 2030, mereka menginginkan keamanan dan keselamatan jemaah seluruh dunia harus betul-betul dilayani dengan baik.
Maka, sambung dia, keberadaan syarikah-syarikah yang sudah bekerja sama dan sudah ditetapkan oleh pemerintah Arab Saudi, dapat dilakukan MoU secara jelas dengan pemerintah Indonesia.
Politikus PDIP itu juga mengusulkan, agar tahun depan ada kloter khusus yang hanya berisikan lansia saja.
“Artinya ke depan kemungkinan besar lansia ini tidak harus disebarkan di masing-masing kloter, tapi mungkin bisa dikanalkan dalam artian bisa digabungkan dalam satu kloter yang memang khusus lansia. Kita ketahui jumlah petugas haji Indonesia ini kan sangat terbatas. Kalau di setiap kloter ada lansia, sementara lansia tersebut ada yang tidak didampingi oleh keluarganya, maka itu menjadi tanggung jawab kewajiban dari KBIHU-nya atau dari ketua kloter atau dari petugas-petugas PPIH kloter,” jelas Selly.
Dia menjelaskan, dalam satu PPIH kloter terdapat lima orang yang terdiri dari ketua kloter, pembimbing ibadah haji, dua tenaga nakes, dan satu dokter. Sementara satu kloter terdapat 400 lebih jemaah.
“Kalau ada lansia yang tanpa pendamping, siapa yang akan ngurus itu? Apalagi kalau dia tidak masuk dalam KBIHU. Maksud saya, tercecernya lansia di beberapa kloter tersebut harus menjadi solusi untuk penyelenggaran tahun 2026 yang akan datang,” ungkapnya.
Ia mengakui banyak pekerjaan rumah (PR) yang mesti dibenahi. Selly berharap BP Haji nantinya mampu melakukan lobi-lobi serius sehingga kuota Indonesia tidak dikurangi.
Diketahui, Arab Saudi melayangkan nota diplomatik kepada Indonesia yang berisi lima catatan penting terkait penyelenggaraan ibadah haji 1446 H/2025 M. Nota tersebut dikirim melalui Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta dan diterima secara resmi oleh Kementerian Luar Negeri RI pada 16 Juni 2025. Berikut isi nota diplomatiknya:
1. Validasi Data Jemaah Tidak Sinkron
Masalah pertama berkaitan dengan ketidaksesuaian data jemaah antara sistem elektronik milik Arab Saudi (E-Haj), Siskohat Kemenag, dan manifes penerbangan. Ditemukan sejumlah nama yang berbeda antara daftar dan kenyataan di pesawat. Menurut Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag, Hilman Latief, ketidaksesuaian itu terjadi akibat pergantian nama jemaah yang batal berangkat karena sakit atau meninggal secara mendadak.
2. Pergerakan Jemaah Tidak Sesuai Konfigurasi Syarikah
Arab Saudi mencatat adanya ketidaksesuaian pergerakan jemaah dari Madinah ke Makkah, khususnya dalam penempatan berdasarkan kelompok Syarikah (penyedia layanan resmi). Konfigurasi ini penting karena menjadi dasar pengelolaan transportasi dan akomodasi. Hilman menyebut situasi tersebut sudah dikomunikasikan dengan otoritas Saudi dan Syarikah terkait.
3. Penempatan Hotel Tidak Sesuai Prosedur
Sebagian jemaah Indonesia berpindah hotel di Makkah untuk bergabung dengan rombongan lain meski berbeda Syarikah, tanpa memberitahu ketua sektor atau ketua kloter. Hal ini mengganggu sistem zonasi dan mekanisme evakuasi ke Arafah-Muzdalifah-Mina (Armuzna) yang berbasis syarikah.
4. Tingginya Risiko Kesehatan Jemaah
Pemerintah Saudi menyoroti angka kematian jemaah Indonesia yang tinggi tahun ini, sebagian besar berasal dari kelompok lanjut usia dan berisiko tinggi. Mereka menilai perlu ada seleksi lebih ketat sejak awal terhadap jemaah dengan kondisi medis berat, termasuk yang rutin menjalani cuci darah.
5. Masalah Pelaksanaan Dam
Catatan terakhir menyangkut penyembelihan hewan dam (kurbannya haji tamattu’). Arab Saudi mengharuskan penyembelihan dilakukan melalui Adahi—perusahaan resmi Kerajaan. Namun, sebagian jemaah Indonesia telah terlanjur memesan kurban melalui pihak lain, seperti pembimbing KBIH atau mukimin, yang tidak diakui Saudi. Kontrak resmi dengan Adahi juga belum ditandatangani karena belum ada kepastian jumlah kambing dari pihak Indonesia.
Nota diplomatik ini menjadi sorotan karena menunjukkan peningkatan standar dari otoritas Saudi terhadap pelaksanaan haji internasional, dan Indonesia sebagai negara pengirim jemaah terbesar dinilai wajib memenuhi seluruh prosedur yang berlaku secara disiplin dan profesional.(Sumber)