Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf menyebut pemisahan pemilu nasional dan lokal imbas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bakal berpotensi memperpanjang masa jabatan anggota DPRD.
Perpanjangan dalam jangka waktu 2 tahun atau bahkan 2,5 tahun itu, akan memberi dampak ke perubahan berbagai regulasi.
“Nah, ini nanti korelasinya harus merubah berbagai undang-undang lainnya, undang-undang pemerintahan daerah, undang-undang Otonomi Khusus, karena di dalam OTSUS ada DPRK gitu masalah ya, lalu kemudian juga undang-undang partai politik itu sendiri semua juga akan berubah,” kata Dede kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025).
Dengan begitu, Ia menegaskan pihaknya di Komisi II sudah sepakat untuk mengkaji lebih dalam perihal tersebut. Nantinya, kajian itu akan diserahkan dalam rapat konsultasi bersama pimpinan DPR dan jajaran pemerintah lain.
“Jadi, saat ini kami akan merespon bagaimana tanggapan kawan-kawan anggota Komisi II. Kami pada prinsipnya siap-siap saja ya, tetapi kita juga harus melihat dari berbagai undang-undang lain yang harus terevisi karena konteks keputusan yang terkait ini,” jelas Dede.
Sementara itu, Ketua Komisi II DPR RI M Rifqinizamy Karsayuda menegaskan pihaknya belum bisa menyatakan sikap resmi soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK), terkait pemisahan jadwal pemilu nasional dan lokal.
Rifqi mengatakan, berdasarkan hasil rapat dengan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad dan jajaran pemerintah lainnya, mereka sepakat untuk menelaah dan mengkaji lebih dalam terlebih dahulu.
“DPR belum memberikan sikap resmi, izinkan kami melakukan penelaahan secara serius terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut,” kata Rifqi kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025).
Bahkan, Ia menyebut putusan MK terbaru itu sebetulnya kontradiktif dengan putusan MK sebelumnya yang juga membicarakan soal sistem pemilu.
“Saya kira putusan Mahkamah Konstitusi itu juga, kalau kita bandingkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya terkesan kontradiktif,” ujarnya.
Rifqi menjelaskan, pada putusan MK 55/2019, dalam pertimbangan hukumnya telah memberikan kewenangan kepada DPR sebagai pembentuk UU untuk memilih satu dari enam model keserentakan pemilu.
“Yang satu dari enam model keserentakan pemilu itu sendiri sudah kita laksanakan pada pemilu tahun 2024 yang lalu. Tapi kemudian pada tahun 2025 ini Mahkamah Konstitusi tiba-tiba ‘bukan memberikan peluang’ kepada kami pembentuk undang-undang, untuk kemudian menetapkan 1 dari 6 model itu di dalam revisi undang-undang pemilu yang baru, tetapi Mahkamah Konstitusi sendiri yang kemudian menetapkan salah satu model ini,” tuturnya.(Sumber)