Reliji  

Tragedi Karbala: Dunia Seakan Terhenti 7 Hari dan Langit Memerah 6 Bulan Lamanya

Pada hari Asyura, tanggal 10 Muharram tahun 61 Hijriyah, langit di atas Padang Karbala dipenuhi mendung atau awan hitam kesedihan yang hingga kini masih dirasakan umat Islam di dunia. Di hari itu, Sayyid Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu kesayangan Rasulullah SAW, syahid dalam pertempuran melawan pasukan Yazid bin Muawiyah yang haus kekuasaan dan tak segan menumpahkan darah orang-orang yang tak berdosa.

Tragedi Karbala ini menjadi salah satu peristiwa paling memilukan dalam sejarah Islam, dan terus dikenang hingga hari ini sebagai simbol kesabaran, keberanian, dan pengorbanan dalam membela kebenaran. Peristiwa ini bukan hanya sekadar tragedi biasa, melainkan sebuah titik balik penting dalam perjalanan sejarah umat Islam.

Padang Karbala menjadi saksi bisu atas keberanian dan keteguhan hati Sayyid Husein dalam menghadapi tantangan dan pengkhianatan. Meskipun dikepung oleh pasukan yang jauh lebih besar dan kuat, Sayyid Husein tetap teguh pada prinsipnya, menolak untuk membaiat Yazid yang dinilainya sebagai pemimpin zalim dan tidak sah.

Kisah Karbala juga menjadi refleksi bagi umat Islam di bulan Muharam tentang pentingnya mempertahankan kebenaran dan keadilan, bahkan di tengah-tengah kesulitan dan tantangan yang berat. Melalui pengorbanan Sayyid Husein dan keluarganya, kita diingatkan tentang nilai-nilai luhur yang harus dijunjung tinggi, seperti kesabaran, keberanian dan ketakwaan kepada Allah SWT.

Tulisan ini akan mengulas kisah tragis yang terjadi di hari Asyura dan mengambil pelajaran berharga dari keberanian dan keteguhan hati Sayyid Husein dalam menghadapi tantangan. Dengan memahami kisah Karbala secara lebih mendalam, kita dapat memperkuat iman dan meningkatkan kesadaran kita akan pentingnya mempertahankan kebenaran dan keadilan dalam kehidupan sehari-hari.

Nadirsyah Hosen, Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand menulis sebuah artikel tentang kisah tragis ini sebagaimana dikutip dari NU Online, Sabtu (28/06/25) menerangkan bahwa peristiwa yang melatarbelakangi pembunuhan ini bermula dari warisan dari pemerintahan sebelumnya, yaitu Gubernur Damaskus, Muawiyah bin Abu Sufyan dari Bani Umayyah dan Ali bin Abi Thalib sang khalifah.

Tragedi Karbala itu terjadi pada hari kesepuluh bulan Muharram di tahun 61 H. Kala itu, Sayyidina Husein bin Ali, lelaki berusia sekitar 58 tahun itu, selepas menunaikan shalat Subuh bergegas keluar tenda dan menaiki kuda kesayangannya. Pria itu menatap pasukan yang tengah mengepungnya. Mulailah dia berpidato yang begitu indah dan menyentuh hati:

قال: أما بعد، فانسبوني فانظروا من أنا، ثم ارجعوا إلى أنفسكم وعاتبوها، فانظروا، هل يحل لكم قتلي وانتهاك حرمتي؟ ألست ابن بنت نبيكم ص وابن وصيه وابن عمه، وأول المؤمنين بالله والمصدق لرسوله بما جاء به من عند ربه! او ليس حمزة سيد الشهداء عم أبي! أوليس جعفر الشهيد الطيار ذو الجناحين عمى! [او لم يبلغكم قول مستفيض فيكم: إن رسول الله ص قال لي ولأخي: هذان سيدا شباب أهل الجنة!] فإن صدقتموني بما أقول- وهو الحق- فو الله ما تعمدت كذبا مذ علمت أن الله يمقت عليه أهله، ويضر به من اختلقه، وإن كذبتموني فإن فيكم من إن سألتموه عن ذلك أخبركم، سلوا جابر بن عبد الله الأنصاري، أو أبا سعيد الخدري، أو سهل بن سعد الساعدي، أو زيد بن أرقم، أو أنس بن مالك، يخبروكم أنهم سمعوا هذه المقاله من رسول الله ص لي ولأخي. أفما في هذا حاجز لكم عن سفك دمي!

“Lihat nasabku. Pandangilah siapa aku ini. Lantas lihatlah siapa diri kalian. Perhatikan apakah halal bagi kalian untuk membunuhku dan menciderai kehormatanku. “Bukankah aku ini putra dari anak perempuan Nabimu? Bukankah aku ini anak dari washi dan keponakan Nabimu, yang pertama kali beriman kepada ajaran Nabimu?

“Bukankah Hamzah, pemuka para syuhada, adalah Pamanku? Bukankah Ja’far, yang akan terbang dengan dua sayap di surga, itu Pamanku? “Tidakkah kalian mendengar kalimat yang viral di antara kalian bahwa Rasulullah berkata tentang saudaraku dan aku: “keduanya adalah pemuka dari pemuda ahli surga”?

“Jika kalian percaya dengan apa yang aku sampaikan, dan sungguh itu benar karena aku tak pernah berdusta. Tapi jika kalian tidak mempercayaiku, maka tanyalah Jabir bin Abdullah al-Anshari, Abu Sa’id al-Khudri, Sahl bin Sa’d, Zaid bin Arqam dan Anas bin Malik, yang akan memberitahu kalian bahwa mereka pun mendengar apa yang Nabi sampaikan mengenai kedudukan saudaraku dan aku. “Tidakkah ini cukup menghalangi kalian untuk menumpahkan darahku?”

Namun mereka yang telah terkunci hatinya tidak akan tersadar. Pasukan yang mengepung atas perintah Ubaidullah bin Ziyad itu memaksa pria yang bernama Husein bin Ali itu untuk mengakui kekuasaan Khalifah Yazid bin Mu’awiyah. Tidakkah ini menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa pertarungan di masa Khilafah dulu itu sampai mengorbankan nyawa seorang Cucu Nabi SAW. Apa masih mau bilang khilafah itu satu-satunya solusi umat?

Ibn Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah bercerita bagaimana Sayidina Husein terbunuh di Karbala pada 10 Muharram (asyura). Pasukan memukul kepala Husein dengan pedang hingga berdarah. Husein membalut luka di kepalanya dengan merobek kain jubahnya. Dan dengan cepat balutan kain terlihat penuh dengan darah Husein.

Ada yang kemudian melepaskan panah dan mengenai leher Husein. Namun beliau masih hidup sambil memegangi lehernya menuju ke arah sungai karena kehausan. Shamir bin Dzil Jawsan memerintahkan pasukannya menyerbu Husein. Mereka menyerang dari segala penjuru. Mereka tak memberinya kesempatan untuk minum. Ibn Katsir menulis:

“Yang membunuh Husein dengan tombak adalah Sinan bin Anas bin Amr Nakhai, dan kemudian dia menggorok leher Husein dan menyerahkan kepala Husein kepada Khawali bin Yazid.” (Al-Bidayah, 8/204).

Anas melaporkan bahwa ketika kepala Husein yang dipenggal itu dibawa ke Ubaidullah bin Ziyad, yang kemudian memainkan ujung tongkatnya menyentuh mulut dan hidung Husein, Anas berkata: “Demi Allah! sungguh aku pernah melihat Rasulullah mencium tempat engkau memainkan tongkatmu ke wajah Husein ini.”

Ibn Katsir mencatat 72 orang pengikut Husein yang terbunuh hari itu. Imam Suyuthi dalam Tarikh al-Khulafa mencata 4 ribu pasukan yang mengepung Husein, dibawah kendali Umar bin Sa’d bin Abi Waqash. Pada hari terbunuhnya Husein, Imam Suyuthi mengatakan dunia seakan berhenti selama tujuh hari.

Mentari merapat laksana kain yang menguning. Terjadi gerhana matahari di hari itu. Langit terlihat memerah selama 6 bulan. Imam Suyuthi juga mengutip dari Imam Tirmidzi yang meriwayatkan kisah dari Salma yang menemui Ummu Salamah, istri Nabi Muhammad, yang saat itu masih hidup (Ummu Salamah wafat pada tahun 64 H, sementara Husein terbunuh tahun 61 H).

Salma bertanya: “Mengapa engkau menangis?” Ummu Salamah menjawab: “Semalam saya bermimpi melihat Rasulullah yang kepala dan jenggot beliau terlihat berdebu. Saya tanya ‘mengapa engkau wahai Rasul?’

Rasulullah menjawab: “saya baru saja menyaksikan pembunuhan Husein.’”

Begitulah dahsyatnya pertarungan kekuasaan di masa khilafah dulu. Mereka tidak segan membunuh cucu Nabi demi kursi khalifah.

Apa mereka sangka Rasulullah tidak akan tahu peristiwa ini? Lantas apakah mereka yang telah membunuh Sayidina Husein kelak masih berharap mendapat syafaat datuknya Rasulullah di padang mahsyar?