News  

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Usul Pancasila Jadi Agama Publik

Diskusi di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Peran kebudayaan dalam strategi pembangunan bangsa menjadi pembahasan utama dalam hari jadi Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta yang ke-64.
Rektor Sanata Dharma, Johanes Eka Priyatma mengatakan budaya menjadi salah satu penangkal terbaik terhadap isu-isu intoleransi, radikalisme, serta politik identitas yang tengah berkembang masif saat ini.
“Karena di dalam kebudayaan itu kan tidak ada permusuhan, hanya ada pengembangan sumber daya manusia,” kata Eka Priyatma dalam konferensi pers acara puncak Dies Natalis USD ke-64, di Ruang Seminar Auditorium Driyarkara Kampus 2 USD, Kamis (19/12).
Yoseph Yapi Taum, Dosen Fakultas Sastra USD yang menjadi pemateri Dies Natalis ke-64 Sanata Dharma mengatakan kebudayaan merupakan instrumen yang baik untuk menangkal isu-isu intoleransi dan radikalisme.
Menurutnya, sejak Indonesia merdeka permasalahan-permasalahan itu sudah sering kali muncul, bahkan hingga menelan korban jiwa yang tidak sedikit.
Misalnya tragedi 30 September 1965, di mana ratusan ribu rakyat dibantai karena perbedaan ideologi. Adapun yang terbaru dan masih sangat membekas sampai sekarang yaitu kontestasi Pilpres 2019 dan Pilkada DKI Jakarta 2017.
“Kita merasakan sekali bahwa polarisasi di dalam masyarakat kita itu sangat ekstrem dan berbahaya. Ada yang berlebihan, ada yang keliru dengan cara kita berpolitik,” kata Yapi.
Bahkan permasalahan-permasalahan tersebut sebenarnya sudah terjadi jauh sejak sebelum kemerdekaan. Hal itu dapat dilihat dari bagaimana penduduk nusantara menghadapi intervensi dari luar seperti India, China, Kristianitas, Islam.
Kadang-kadang proses asimilasi itu terjadi dengan harmonis, tapi tak jarang juga melahirkan benturan-benturan. “Misalnya Kristianitas itu tidak cocok di tanah Jawa sebenarnya, karena keduanya berbeda,” ucap dosen yang 2017 silam terpilih sebagai juara 1 Dosen Berprestasi Nasional Bidang Humaniora dari Kemenristekdikti itu.
“Tapi di dalam proses perkembangannya kan kita lihat inovasi itu terjadi. Jadi ada upaya-upaya kebudayaan sehingga Kristianitas itu bisa diterima di tanah Jawa. Padahal awalnya kan tidak cocok, karena satunya rasional satunya rasa,” lanjutnya.
Merajut Ingatan
Meski di atas kertas Indonesia baru berdiri sejak 1945, namun spirit kebangsaannya menurut Yapi sudah dibangun sejak ratusan ribu tahun silam. Perjalanan leluhur nusantara menurut Yapi sudah dimulai sejak homo sapiens bermigrasi dari Afrika Timur pada 150.000 tahun yang lalu.
Pada sekitar 8.000 tahun yang lalu, leluhur bangsa kita yang bermukim di Asia Timur, khususnya Pulau Formosa di Taiwan, melakukan migrasi ke kawasan Filipina, Indonesia, Madagaskar, bahkan hingga ke seluruh kawasan Samudera Pasifik.
“Mereka menetap di kawasan Nusantara dan menghadapi penetrasi empat pusat kebudayaan besar dunia, yakni India, China, Islam, dan Eropa,” kata Yapi.
Di dalam interaksi tersebut, terjadi dialog budaya yang dapat berlangsung lancar tanpa hambatan. Namun, kadang dialog itu juga terjadi secara kikuk dan tertatih-tatih.
“Proses ini memperlihatkan bahwa manusia bukanlah makhluk biologis seperti spesies binatang lainnya, melainkan makhluk budaya, makhluk pencari makna,” lanjut Yapi.
Para ahli filsafat dan kebudayaan mendefinisikan sebuah negara-bangsa sebagai sukma atau jiwa, sebuah prinsip spiritual. Ada dua faktor yang memengaruhi hal tersebut, yaitu kekayaan warisan ingatan dan kehendak subjektif untuk hidup bersama.
Kata Yapi, ada dua momen diskursif yang membentuk jiwa Bangsa Indonesia, yaitu Sumpah Pemuda pada 1928 dan Pancasila pada 1945. “Kedua momen diskursif ini seharusnya membentuk Indonesia sebagai sebuah negara paripurna. Tapi ternyata belum,” tegas Yapi.
Pancasila sebagai Agama Sipil
Yapi prihatin dengan kondisi Pancasila sebagai ideologi bangsa saat ini. Menurutnya, sejak reformasi 1998, Pancasila sudah sangat jarang diterapkan bahkan cenderung dilupakan.
“Lalu muncul gagasan-gagasan untuk menggantinya kalau memang Pancasila itu tidak penting,” kata Yapi.
Meski keputusan Pancasila sebagai dasar negara dilakukan secara kompromi karena banyaknya perbedaan pendapat para perumusnya. Misalnya adanya usulan Piagam Jakarta, namun pada akhirnya para pendiri bangsa memutuskan untuk memakai Pancasila sebagai dasar negara.
“Kita hargai itu, supaya Indonesia itu sudah paripurna. Mari kita bangun hidup berbuat baik di dunia ini kan nanti kita juga akan selamat di akhirat,” ujar Yapi.
Untuk menjaga kedigdayaan bangsa Indonesia, ada beberapa hal yang menurut Yapi perlu dilakukan. Pertama, mengimplementasikan Pancasila sebagai agama sipil, yakni sebagai fondasi moral dan spiritual, perekat sosial yang menyatukan negara dengan memberinya “otoritas sakral”.
“Sebagai agama sipil, Pancasila berfungsi sebagai kesetiaan dasar yang lebih menggerakkan perasaan, terasa lebih hangat dalam jiwa, menjadi keyakinan bersama atau agama publik,” kata Yapi.
Selanjutnya, Pancasila juga harus berfungsi sebagai pendidikan multikultural. Dalam proses pembelajaran multikultural, seseorang belajar dan dilatih untuk tidak mudah tersinggung maupun marah dalam merespons budaya individu atau kelompok yang berbeda.
Universitas menurut Yapi juga harus bisa mendidik pemimpin masa depan. Mahasiswa, menurutnya perlu dilatih dengan serius untuk membangun roadmap masa depannya sendiri dan masa depan bangsanya.
“Dosen perlu terlibat secara serius dalam memanusiakan manusia muda,” tegas Yapi. {kumparan}