News  

Kasus Asuransi Jiwasraya, Modus Kejahatan Massif, Sistematis Dan Main Rapi

Asuransi Jiwasraya

Kronologi kasus gagal bayar klaim asuransi PT Asuransi Jiwasraya (AJR) yang merugikan nasabah dan negara hingga Rp 13 triliun terdeteksi sejak tahun 2006 sampai 2018. Skema operandi tersusun rapi dan mengabaikan prinsip kehati-hatian.

Modusnya dikerjakan dengan niat tidak baik secara massif, atau melibatkan banyak pihak.

Massif karena ada kepentingan yang sama untuk curang dan mengambil keuntungan secara terstruktur melalui penjualan produk dan pemanfaatan produk yang tidak tepat serta tanpa persetujuan otoritas. Fungsi auditor tidak efektif dan terkesan diabaikan direksi dan komisaris.

Kejahatan ini dilakukan dengan sistematis, prosesnya sangat rapi, misalnya dengan pemberian suku bunga di atas rata-rata. Atau dengan merancang data keuangan fiktif (rekayasana neraca), dan menyusun laporan keuangan yang terlambat.

Agar aman, lebih dahulu disusun payung hukum melalui rapat-rapat persetujuan. Setelah itu barulah kebijakan teknis dijalankan dan dibuat sedemikian rupa agar bermuara pada kesalahan investasi yang berakibat gagal bayar.

Inilah kejahatan yang dipersiapkan, dilakukan dengan sengaja dan melibatkan banyak pihak di Jiwasraya. Pelaku kejahatan seperti ini tidak bisa main sendiri.

Skema kongkalikong seperti ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.

Ada pihak yang berusaha membuat seolah kasus ini masuk dalam ranah perbuatan hukum resiko bisnis. Atau, menggesernya masuk ke hukum keperdataan atas nama bisnis investasi.

Padahal, ini murni keinginan para pimpinan AJR yang nyata dan sengaja, serta disadari untuk melakukan penyeludupan hukum menuju tindak pidana korupsi.

Skemanya sudah disusun dan dilaksankan bertahun -tahun pasca terdeksi AJR bermasalah. Namun fakta ini digelapkan.

Padahal nyata sudah ada alarm deteksi dari kantor akuntan publik pada tahun 2009 dan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada tahun 2016 yang mengatakan AJR gagal bayar.

Kebijakan direksi dan komisaris sebelumnya tambal sulam. direksi saat ini berkilah dan membuat skenario drama bahwa AJR tetap eksis dan seolah-olah untung. Padahal ini adalah upaya direksi dan komisaris menggelapkan keadaan sebenarnya, atau cara buang badan dari tanggung jawab.

Ada yang salah dalam tata kelola dan data keuangan AJR, namun fakta AJR tetap terus “lolos berselancar” dengan modus kejahatannya. Ini bisa berjalan karena ada keinginan yang sama dari pihak-pihak yang terkait.

Perusahaan yang sudah sangat kaya pengalaman ini seharusnya invest di blue chip , dimana resiko relatif lebih rendah, aman, pembagian deviden jelas dan rutin. Namun faktanya yang dilakukan AJR sebahagian besar invest pada saham saham emiten kecil, yang kapitalisasi pasarnya kecil, sangat mudah ‘dimainkan’ investor nakal, resiko tinggi.

Sebagai pemain lama di dunia asuransi dan keuangan semestinya AJR menghindari ini namun faktanya AJR memilih untuk menjerumuskan diri pada investasi saham saham yang kena suspensi dari Bursa Efek Indonesia (BEI). Dan ini dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama serta lebih diperparah dengan auditor tidak berfungsi, cendrung sebagai asesoris semata.

Jadi seolah ada pembiaran dan sengaja menjebakkan diri padahal ini bertentangan dengan tata kelola yang baik dan prinsip kehati-hatian.

AJR berselancar bebas di investasi pada “saham gorengan”, penempatan dana di saham-saham yang kecil itu.

Tentunya menjadi pertanyaan besar, kenapa perusahaan sebesar AJR menaruh dana di saham saham yang spekulasi dan resikonya tinggi?

Maka sebagai formulasi hukum ke depan harus ada aturan Menteri BUMN yang mengatur tentang tidak boleh investasi di portofolio yang risknya tinggi. Ini kuncinya.

Intinya harus segera ada aturan bahwa unit usaha BUMN tidak boleh invest di portofolio yang high risk.

Kalau sudah ada regulasinya, jadi dapat dikendalikan. Kebijakan para direksi dapat kekunci sehingga tidak ada alasan bahwa kerugian perusahaan karena investasi di saham, padahal direksi sembunyi malah “mencuri curang” melalui atas nama investasi.

Selain itu pula mendorong Menteri BUMN tegas, karena image selama ini bahwa unit usaha di lingkup BUMN biasanya diduga dipergunakan sebagai alat untuk sarana memperkaya diri, kepentingan politik untuk penguasa dan pengusaha cendrung balas jasa dari kompetisi politik maka cendrung diisi atau menempatkanlah orang-orang yang dianggap mewakili dari kepentingan para penguasa dan pengusaha.

Image dan stigma negatif ini juga harus diperbaiki dengan cara tempatkan personil yang tepat dan ditempat yang tepat baik di jajaran direksi maupun komisaris, mereka yang bertugas di unit BUMN tersebut harus berkompeten tahu detail usaha dan aturan, bersikap amanah dan bebas dari intervensi politik.

Yang tak kalah pentingnya harus ada pemahaman yang sama antara petinggi organ pengawasan keuangan negara, agar ego sektoral antara OJK, BPK, PPATK yang cendrung seolah berbeda padahal tujuannya sama demi menjaga kedaulatan keuangan negara , ini harus satu frekwensi.

Selanjutnya mendorong fungsi auditor, lebih khusus PPATK sebagai lembaga intelijen keuangan negara agar lebih optimal dan gerak cepat, termasuk berani menghabisi virus perilaku dari mental para “tikus-tikus di BEI dan OJK” untuk berani clear dan clean dalam melaksanakan tugasnya, ini penting demi kuatnya perekonomian bangsa, dan terwujudnya cita cita serta tujuan bangsa Indonesia.

Azmi Syahputra, Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha)