News  

Pertumbuhan Ekonomi RI di Bawah 5 Persen, Pemerintah Kemana Ya?

Ilustrasi Beban Ekonomi

Realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia boleh dibilang mengecewakan. Pada kuartal terakhir 2019, ekonomi Tanah Air tumbuh di bawah 5%.

Hari ini, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan angka pertumbuhan ekonomi terbaru, Pada kuartal IV-2019, pertumbuhan ekonomi tercatat 4,97% year-on-year (YoY).

Di bawah konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yaitu 5,04% sekaligus menjadi catatan terendah sejak kuartal IV-2016. Dari sisi pengeluaran, seperti diduga ekspor dan investasi belum bisa tumbuh sesuai harapan.

Pada kuartal IV-2019, ekspor tumbuh negatif alias terkontraksi 0,39% YoY sementara investasi atau Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB) hanya tumbuh 4,06%.

Kinerja ekspor menjadi yang terburuk dalam dua kuartal terakhir. Sedangkan investasi lebih parah lagi, lajunya paling lemah sejak 2015.

Kalau ini memang sulit dihindari, faktor eksternal memberi warna yang sangat kental. Situasi global pada 2019 memang penuh gonjang-ganjing. Tahun lalu, perang dagang Amerika Serikat (AS) vs China sedang panas-panasnya.

AS dan China saling hambat perdagangan dengan mengenakan berbagai bea masuk. Total AS mengenakan bea masuk terhadap importasi produk China senilai US$ 360 miliar dan China membalas dengan membebankan bea masuk kepada produk made in the USA senilai lebih dari US$ 110 miliar.

Walau yang ‘bertempur’ adalah AS dan China, tetapi dunia merasakan getahnya. Globalisasi membuat perekonomian dunia saling terhubung, apa yang terjadi di suatu negara bakal mempengaruhi yang lainnya.

Ekspor dan Investasi Memang Susah Diharapkan

Saat produk China sulit masuk ke AS gara-gara tingginya bea masuk, demikian pula sebaliknya produk AS sulit menembus pasar China, maka dunia usaha kedua negara akan mengurangi produksi.

Ketika produktivitas di AS dan China menurun, otomatis permintaan bahan baku dan barang modal dari negara-negara lain ikut seret.

Padahal AS dan China adalah kekuatan ekonomi terbesar di dunia, pasar terbesar di kolong langit. Semua negara menjual barang kepada mereka. Permintaan AS dan China yang turun membuat arus perdagangan global nyaris lumpuh.

Rantai pasok global yang terhambat membuat Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada Oktober tahun lalu memperkirakan pertumbuhan perdagangan dunia hanya 1,2% pada 2019. Jauh melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yakni 2,6%.

Jadi tidak heran kalau ekspor sulit diandalkan menjadi mesin pendorong pertumbuhan ekonomi. Gara-gara ekspor bermasalah, investasi pun ikut-ikutan nyungsep. Ekspansi dunia usaha biasanya digambarkan oleh Purchasing Managers’ Index (PMI).

Ambang batas PMI adalah 50, kalau di bawah 50 berarti dunia usaha tidak melakukan ekspansi. Sejak Juli 2019 hingga Januari 2020, PMI manufaktur Indonesia selalu di bawah 50.

“Perlambatan manufaktur Indonesia masih berlanjut pada awal tahun. Permintaan yang lemah membuat penjualan menurun, kemudian menyebabkan kapasitas produksi menjadi tidak optimal,” jelas Bernard Aw, Principal Economist IHS Markit, seperti dikutip dari keterangan tertulis.

“Akibatnya, dunia usaha terbeban untuk merekrut karyawan baru. Penurunan penjualan membuat dunia usaha menahan pembelian bahan baku dan menumpuk stok. Dunia usaha terpaksa makan dari pemesanan sebelumnya untuk mempertahankan produksi,” sebutnya.

Pemerintah ke Mana?

Kontraksi ekspor dan perlambatan investasi lebih disebabkan faktor eksternal, yang di luar kontrol pemangku kebijakan di dalam negeri. Namun sebenarnya ada faktor domestik yang berada dalam kendali pemerintah, tetapi tidak mampu dimanfaatkan secara optimal.

Itu adalah konsumsi pemerintah. Pada kuartal IV-2019, konsumsi pemerintah hanya tumbuh 0,48% YoY. Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 0,98% YoY dan menjadi catatan terendah sejak kuartal II-2017. {CNBC}