News  

Viral! Novel The Eyes of Darkness Terbitan 39 Tahun Lalu Prediksi Wabah Virus Corona

Novel The Eyes Of The Darkness

Pengguna Twitter kembali dikejutkan dengan teori konspirasi baru. Teori itu berasal dari novel yang diterbitkan tahun 1981 berjudul They Eyes of the Darkness.

Di novel tersebut, ada sebuah penyakit yang diberi nama ‘Wuhan-400’. The Eyes of Darkness, sebuah novel thriller karya penulis Amerika, Dean Koontz yang dirilis sekitar tahun 1981.

Novel itu bercerita tentang sebuah laboratorium militer China yang menciptakan virus sebagai bagian dari program senjata biologisnya.

Dilansir dari Liberty Times, dalam bab 39 bukunya, Koontz menulis tentang virus yang dikembangkan di laboratorium militer dekat kota Wuhan oleh Partai Komunis Tiongkok (PKT) sebagai senjata biologis.

Berawal dari seorang ilmuwan China bernama Li Chen pindah ke Amerika Serikat sambil membawa floppy disk data dari China yang paling penting.

Dalam data tersebut terdapat senjata biologis baru yang berbahaya dalam dekade terakhir yang dinamakan Wuhan-400. Virus tersebut dikembangakn di RDNA di luar kota Wuhan.

Senjata biologis baru yang berbahaya dalam dekade terakhir. Mereka menyebutnya Wuhan-400 karena dikembangkan di laboratorium RDNA di luar kota Wuhan.

Wuhan-400 lebih memengaruhi orang daripada binatang dan tidak bisa bertahan hidup di luar tubuh manusia atau di lingkungan yang lebih dingin dari 30 derajat Celcius.

Kesamaan yang secara kebetulan itu membuat para pengguna Twitter ramai. Namun, beberapa orang skeptis tentang prediksi Koontz 39 tahun yang lalu, menunjukkan bahwa edisi awal buku itu menyebut virus itu sebagai Gorki-400, produksi Uni Soviet, bukan produksi China.

Dilansir dari SET News, beberapa netter telah memposting gambar edisi terbaru buku itu guna menjelaskan nama virus yang memang diubah, mungkin karena berakhirnya Perang Dingin pada tahun 1991.

Dalam The Eyes of Darkness, hanya Institut Virologi Wuhan yang memiliki laboratorium biosafety level empat di China.

Laboratorium itu mempelajari berbagai virus mematikan. Letak lab itu hanya berjarak 32 km dari pusat penyebaran wabah corona virus saat ini.

Teori konspirasi itu menyebutkan  bahwa virus corona yang terlibat dalam wabah saat ini tampaknya buatan manusia dan kemungkinan melarikan diri dari laboratorium virologi Wuhan.

Meskipun begitu, teori tersebut telah ditolak secara luas. Faktanya, lab itu adalah yang pertama menemukan virus corona.

Sementara itu, Koontz menuliskan jika virus dianggap sebagai senjata sempurna untuk disebarkan.

Sebab, virus hanya mempengaruhi manusia ki serta tidak dapat bertahan hidup di luar tubuh manusia selama lebih dari satu menit.

Diketahui, virus akan mati di negara dengan derajat panas yang cukup tinggi dan akan lebih mudah mengontaminasi di negara dingin.

Koontz sendiri sudah berlalulalang di dunia penulis sejak buku pertamanya yang berjudul Star Quest diterbitkan pada tahun 1968. Ide-idenya menghasilkan karya fiksi suspens yang fenomenal kurang lebih 80 novel dan 74 karya fiksi pendek.

Sementara, Albert Wan yang mengelola tiki Bleak House Book di San Po Kong, mengatakan bahwa Wuhan secara historis telah menjadi lokasi berbagai fasilitas penelitian ilmiah.

Salah satu fasilitas ilmiah itu juga berhubungan dengan mikrobiologi dan virologi. “Koontz sosok penulis cerdas, ia mengetahui semua ini dan menggunakan informasi faktual untuk menyusun cerita yang meyakinkan,” kata Wan.

Penulis Inggris, Paul French berspesialisasi dalam buku-buku tentang Tiongkok dan mengatakan banyak unsur di sekitar virus di Tiongkok.

Itu berkaitan dengan perang dunia kedua yang mungkin menjadi faktor dalam pemikiran Koontz.

“Orang Jepang pasti melakukan penelitian senjata kimia di Tiongkok yang sebagian besar kami asosiasikan dengan Unit 731 di Harbin dan Cina utara. Tetapi mereka juga menyimpan senjata kimia di Wuhan yang diakui Jepang, ”kata French.

Pendapat lain datang dari Pete Spurrier yang mengelola penerbit Blacksmith Books di Hong Kong. Ia menjelaskan jika seorang penulis fiksi itu bisa memetakan tentang satu wabah virus merupakan hal biasa.

Sebab mereka punya imajinasi yang luar biasa. Mereka juga kerap merenung. Bagi seorang penulis fiksi, memetakan sebuah thriller tentang wabah virus yang terjadi di China, Wuhan adalah pilihan yang baik.

“Berada di Sungai Yangtze yang menuju timur-barat. Itu berada di rel berkecepatan tinggi yang menuju utara-selatan, tepat di persimpangan jaringan transportasi di pusat negara. Di mana lebih baik memulai epidemi fiksi, atau memang epidemi nyata?” kata Spurrier, jelaskan pola pikir penulis.

Di sisi lain, Penulis asal Jepang, Chan Ho Kei menunjuk novel Futility 1898 memiliki kesamaan dengan sebuah kapal laut besar yang tenggelam di Atlantik Utara setelah menabrak gunung es.

Dalam novel tersebut banyak kesamaan yang dicatat antara kapal fiksi disebut Titan dan kapal penumpang kehidupan nyata RMS Titanic yang tenggelam 14 tahun kemudian.

Setelah tenggelamnya Titanic, buku itu diterbitkan kembali dengan beberapa perubahan, terutama dalam tonase kotor kapal.

“Para penulis fiksi selalu mencoba membayangkan seperti apa realitasnya, sehingga sangat mungkin untuk menulis sesuatu seperti prediksi. Tentu saja, ini aneh ketika detailnya bertabrakan, tapi saya pikir itu hanya masalah matematika,” ujar Chan.

Banyak buku Koontz telah diadaptasi untuk televisi atau layar lebar, tetapi The Eyes of Darkness tidak pernah mencapai kejayaan seperti itu. Satu kebetulan yang aneh ini membuat The Eyes of Darkness menjadi sorotan para netizen. {tribun}