News  

Pertamina Bungkam Soal Tata Cara Impor Minyak

Keberadaan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai Komisaris Utama Pertamina yang awalnya digembar gemborkan bisa membawa perubahan proses bisnis di Pertamina akan semakin baik, ternyata tidak juga, khususnya terhadap transparansi tata cara pembelian minyak mentah, kondensat dan BBM serta LPG, untuk memenuhi konsumsi dalam negeri.

Pasalnya di berbagai forum resmi Presiden telah mengumbar rasa kesalnya bahwa import minyak sebagai biang kerok defisit transaksi berjalan, yang sangat mempengaruhi neraca keuangan negara.

Bahkan entah siapa pembisik Presiden menyatakan bahwa ini semua bisa terjadi akibat kilang minyak tak jadi dibangun terus, hanya ada dalam bentuk MOU satu ke MOU berikutnya, mendadak tersentak beberapa direksi membentuk tim percepatan pembangunan kilang, meskipun sampai hari ini gak jelas juga progresnya secara nyata.

Sejatinya sumber utama masalahnya adalah memblenya disektor hulu, yaitu karena lifting migas nasional turun terus hingga saat ini hanya sekitar kurang lebih 715.000 BOPD (Barrel Oil Per Day) dan yg masuk ke kilang Pertamina hanya sekitar 500.000 BOPD, sisanya di eksport oleh KKKS.

Sementara konsumsi BBM nasional sudah mencapai angka 1,5 juta barrel per hari, dan total kapasitas kilang minyak Pertamina efektif termasuk kilang TPPI hanya sekitar 900.000 barrel, itupun sebagian besar kilang tua yang rata rata berumur diatas 30 tahun, dan semua kilang tua tersebut didesain mengolah minyak mentah domestik, kecuali sebagian unit kilang Cilacap (FOC/Fuel Oil Complex) yang memang didesain untuk mengolah Crude ALC ( Arabian Light Crude) sebanyak 120.000 barrel setiap hari.

Ketimpangan pasokan crude domestik terhadap kebutuhan kilang pun semakin melebar. Pasokan domestik hanya sekitar 500.000 BOPD, sementara kebutuhan kilang 900.000 BOPD. Saat ini impor crude dan kondensat sekitar 400.000 barrel perhari atau sekitar 12 juta barrel/bln, belum termasuk import BBM.

Sehingga kalau kilang jadi dibangun tentu tidak akan menyelesaikan masalah soal import, memang import BBM berkurang, akan tetapi import minyak mentah semakin membesar untuk memenuhi kebutuhan kilang baru, kalau tidak import maka pertanyaannya darimana sumbernya minyak mentah untuk diolah kilang baru tersebut ??.

Kondisi ini semakin diperparah oleh kinerja ISC yang tidak professional dan tidak transparan serta tidak mau memperbaiki tatacara tendernya supaya bisa diperoleh harga BBM dan minyak mentah yang murah untuk Pertamina, yaitu bisa berhubungan langsung NOC( National Oil Company) dan pemilik kilang minyak diluar negeri, padahal itu janji diucapkan oleh Dwi Sucipto ketika dia masih sebagai Dirut Pertamina bahwa proses bisnis di ISC akan semakin transparan dgn menganut prinsip GCG yang ketat, istilah kerennya telah melakukan “best practice”.

Maka apa yang sering digembar gemborkan oleh direksi Pertamina dan Komut Pertamina akan bisa dianggap sebagai kebohongan publik, karena ISC dalam membeli minyak mentah masih membuat sistem prosedur yang naif, yaitu masih mewajibkan menyebut nama negara dan nama lapangan minyak yang semua itu telah di ijon oleh trader seperti Glencore, Trafigura dan Vitol dan lain, padahal NOC tempat asal minyak tersebut merupakan rekanan terdaftar juga di ISC, contohnya NNPC, Sonangol, Adnoc, Saudi Aramco, Petronas, Socar, Petrochina dll, kalau tak percaya silahkan buka data siapa pemasok minyak paling banyak selama fungsi ISC diberikan kewenangan tunggal setelah Petral dibekukan.

Sepertinya ada keengganan dari Pejabat ISC untuk membuat suatu aturan yang memungkinkan agar Pertamina dapat dengan lancar bertransaksi secara langsung dengan NOC ataupun MOC, padahal sejak tahun 2016 sudah kami kumandangkan terus soal cukup sebutkan sfesifikasi tehnis minyak mentah secara detail, jejak digitalnya terpaksa kami lampirkan.

Kemaren 26/3/20 kami juga secara resmi telah mengkonfirmasi beberapa pertanyaan dugaan itu kepada SVP ISC Pertamina Hasto Wibowo dengan tembusan kepada Ketua BPKRI, Menteri ESDM, Menteri BUMN, Dewan Komisaris dan Dewan Direksi Pertamina, ternyata semuanya bungkam.

Adapun pertanyaan yang diajukan selain hal tersebut diatas, adalah mengapa ISC sengaja membeli mahal dgn mengikat kontrak hedging pada januari / Pebruari 2020 untuk pembelian gasoline 92 sebanyak 200.000 bbls dengan harga USD 60 per bbls untuk penyerahan bulan Maret dan April 2020, padahal semua tahu bahwa kondisi ekonomi sedang slowdown sejak Desember 2019 terkait wabah corona di China, dan terbukti ternyata sejak Maret 2020 harga minyak sudah dibawah USD 40 per bbls , sehingga ada potensi kerugian dialami Pertamina untuk transksi ini adalah 200.000 bbls x USD 20 perbbls = USD 4 juta, karena Pertamina salah prediksi dan itu semua akibat pejabat ISC tidak mampu menganalisa kasus Covid 19 di Cina akan berdampak permintaan berkurang dan supply berlebih sehingga harganya terjun bebas.

Termasuk apakah sudah benar kebijakan ISC akan membeli minyak mentah dari Amerika yang kata Menteri BUMN Erick Tohir bisa hemat USD 5 perbarel, padahal ada minyak mentah milik Pertamina sendiri dari lapangan minyak Aljazair, yang secara ekonomis lebih murah dari sisi jarak dan biaya transportasinya, sehingga semakin aneh mengapa direksi Pertamina selalu bicara di media bahwa invetasi blok migas diluar negeri untuk menjamin kepastian kebutuhan kilang Pertamina.

Bahkan kami punya catatan dugaan penyimpangan tender pengadaan kebutuhan LPG selama 5 tahun, tender tersebut dilakukan pada Juni 2019 dilakukan secara siluman, bahkan nama inisial perusahaan Vtl dan B yang pernah kami sebutkan dalam konfirmasi tersebut akan sebagai pemenangnya, ternyata benar adanya.

Semua itu terjadi karena ISC tidak transparan pada masyarakat dengan alasan bertopeng rahasia perusahaan, seharusnya sebagai perusahaan yang mengurus hajat hidup orang banyak, setelah penyerahan minyak diterima kilang, maka semua data volume, nilai kontrak dan siapa pemasoknya harus dicantumkan di website Pertamina.com.

Apakah Pertamina akan berubah lebih baik atau tidak akan sangat tergantung niat keterbukaan dan kejujuran kalian semua, janganlah rakyat selalu disuguhi informasi palsu. Sehingga kinerja impor ISC tidak bisa diawasi publik secara positif, dalam rangka memperbaiki neraca pembayaran negara yang defisit terus.

Jakarta 27 Maret 2020
Yusri Usman, Direkrtur Eksekutif CERI

Referensi;