News  

Nyanyi Sunyi Coronavirus

Dunia hening, dalam cemas dan takut. Tak terkecuali persada ibu pertiwi Indonesia. Manusia merunduk kesepian, curiga, dan was-was, sembari terus berharap agar “cawan pencobaan“ terlewati segera. Manusia bersungguh-sungguh dalam doa dan sujud, pasrah memohon dalam ratapan tanpa suara, biarlah Sang Pencipta Langit dan Bumi, ALLAH Yang Mahabesar, Sang Empunya Kehidupan menyudahi masa “kesusahan besar” ini.

Kesusahan mondial akibat makhluk mahakecil bernama Coronavirus yang telah di-stempel dengan kode medis Covid-19 (Corona Virus Disease tahun 2019). Puluhan ribu bahkan ratusan ribu nyawa telah hilang di seluruh belahan dunia akibat Coronavirus. Jutaan orang telah terpapar dan terjebak dalam kegelisahan masif. Miliaran orang hidup dalam kekuatiran yang sangat.

Kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk teknologi informasi buatan manusia, secara serta-merta kehilangan daya tangkal menghadapi serangan Covid-19. Virus mahakecil itu menyeruak dalam hening, menyebar ke mana saja, menempel di mana saja, untuk tiba pada tujuan akhir petualangannya yakni tubuh manusia. Yang punya imun tubuh dan batin kokoh, mampu lolos dan atau selamat. Sebaliknya yang rentan dan lemah, berakhirlah riwayat kehidupannya. Coronavirus ibarat nyanyi sunyi yang sungguh menakutkan, tiada bersyair namun amat menggoncangkan.

Manusia – makhluk hidup termulia karena merupakan gambaran citra ALLAH – namun telah terjerumus dalam kecongkakan kolektif, mesti menghadapi coronovirus yang mengganas hari-hari ini? Tiada jalan lain sebagai solusi yang tersedia. Hanya satu jalan, satu-satunya jalan, yakni kembali merendahkan diri serendah-rendahnya di hadapan ALLAH Sang Penguasa Langit dan Bumi. Nyanyi sunyi coronavirus mengonfirmasikan betapa ringkihnya kita manusia, bahkan dalam iman dan pengharapan kepada TUHAN sekalipun.

Tak usah terkejut jika pada hari-hari ini rumah-rumah ibadah dikosongkan untuk sementara waktu. Manusia yang kerap jatuh dalam kesombongan rohani bahkan hingga ke dalam rumah-rumah ibadah, kini cemas dan takut saat berada di Rumah TUHAN sendiri. Inilah ironi iman bagi manusia, makhluk hidup yang ringkih dan lemah dari perspektif transendental. Tanpa TUHAN yang harus selalu kita andalkan, manusia bukanlah apa-apa.

Kosongnya rumah-rumah ibadah memang merupakan konsekuensi dari kebijakan pemerintah perihal social distancing, dan ini dapatlah dimaklumi. Bukankan iman bertumbuh tidak dalam ruang hampa sosial? Oleh karenanya manifestasi sikap iman menghadapi Coronavirus bertumpu pula pada solidaritas sosial. Namun, social distancing adalah akibat, bukan sebab.

Yang menjadi sebab adalah Coronavirus dengan karakternya yang begitu misterius. Sangat mungkin TUHAN mengizinkan masa pencobaan ini mesti dialami dan kiranya dapat dilewati oleh manusia ciptaanNya yang paling mulia, demi penggenapan “via dolorosa” atau jalan sengsara membangun kesetiaan total kepada-Nya.

Tidak ada peristiwa yang bersifat kebetulan di atas dunia ini, bahkan sehelai daun kering yang jatuh ke tanah pun pasti atas kehendakNya. Demikianlah, datangnya wabah Coronavirus merupakan momentum untuk menapis, membersihkan, dan memulihkan segala model rutinitas manusia yang cenderung hanya bertumpu pada kedigdayaan diri belaka, dan nyaris melupakan kemahakuasaan TUHAN. Terlepas dari aneka spekulasi perihal asal-mula Coronavirus, dalam perspektif imaniah wabah ini dimungkinkan TUHAN untuk ada sebagai suatu “kesaksian” bagi manusia agar sungguh-sungguh berbalik total kepada-Nya.

***

Paus Fransiskus dalam khotbah Misa Minggu 29 Maret 2020 di Vatikan bertutur: “Saya sedang memikirkan banyak orang yang sedang menangis. Orang-orang yang terasing, berada dalam karantina, orang-orang yang berusia lanjut; orang-orang yang sendirian di rumah sakit, para orang tua yang telah mengetahui mereka tidak akan menerima gaji dan tidak tahu bagaimana mereka akan memberi makan anak-anak mereka. Banyak orang sedang menangis. Kita juga, dari hati kita, menyertai mereka. Tidak ada salahnya kita sedikit menangis ketika TUHAN kita menangisi segenap umat-Nya”. Khotbah Paus merujuk pada Injil Yohanes 11:1-45 perihal kematian Lazarus, sahabat YESUS.

Seperti juga Sri Paus, para pemimpin agama-agama di dunia sangat mungkin sedang berada dalam suasana batin yang gundah-gulana menyaksikan keganasan Coronavirus merenggut nyawa manusia. Kematian manusia-manusia korban Coronavirus yang diikuti protokol kesehatan untuk pemakaman jasad-jasad tersebut, sungguh memiriskan hati. Seorang pasien yang telah dinyatakan positif Coronavirus, hidupnya pun terisolasi semenjak awal dirawat di rumah sakit, dan apabila tidak dapat tertolong oleh penanganan medis maka akan terus terisolasi sampai pada akhir hayatnya, bahkan hingga ke tempat pemakaman. Ini juga ironi kehidupan manusia, tapi sungguh tak dapat ditolak. Wahai kehidupan, sayap-sayap kami penghunimu kini sedang patah, tulang-tulang kami remuk-redam. Jiwa kami merana dalam sunyi, nyaris seperti nyanyi sunyi Coronavirus.

Namun, selalu ada hikmah tersembunyi di balik peristiwa kehidupan, sepahit apapun nuansa peristiwa itu. Di tengah kecamuk Coronavirus, kehangatan keluarga makin berbinar hidup, tak hanya dalam relasi antar-pribadi dalam keluarga, tetapi juga dalam hal kebangunan rohani keluarga.

Dari belahan dunia lain terbetik kabar, beberapa pemimpin besar dari rumpun agama “Samawi” yakni Kristen, Islam, dan Yahudi berkumpul di Yerusalem, menyatukan hati dan memanjatkan doa kepada Sang Khalik Agung, ALLAH Penguasa alam semesta. Tampaknya spirit transendental dan relasi antara para pemimpin agama sedang mengalami pembaharuan dan pencerahan pasca mengganasnya Coronavirus.

***

Di sini, di negeri tercinta Indonesia, suasana kelabu terasa semakin bertambah-tambah. Dari hari ke hari korban jiwa berjatuhan dari berbagai kalangan tanpa memandang kelas sosial. Kasus Coronavirus terus meningkat menembus angka di atas 1.000 (seribu) orang. Peningkatan itu terjadi di berbagai kategori; orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP),dan positif corona (PC). Namun, yang sembuh pun meningkat jumlahnya. Tiap kali mendengar dan atau mengetahui ada pasien yang sembuh, optimisme yang membuncah di tengah pesimisme kolektif. Puji TUHAN, syukur alhamdulilah.

Kita menaruh hormat kepada para tenaga medis; dokter, perawat, dan relawan kesehatan yang telah gugur, meninggal dunia akibat terpapar Coronavirus dari pasien. Kita bersedih dan berbela rasa terhadap kepedihan hati keluarga mereka. Tentu ada luka batin yang tertinggal, namun keluarga mereka pantas berbangga hati.

Para tenaga medis itu dengan penuh kesadaran menyiapkan mental untuk mengambil resiko paling besar dalam hidupnya, yakni nyawa mereka sendiri. Bukankah manusia yang paling mulia adalah yang dengan sadar memilih mengorbankan nyawanya demi kebaikan manusia lainnya?

Kita sungguh berempati kepada seluruh korban Coronavirus yang sedang menjalani perawatan medis di rumah sakit. Mereka mesti ikhlas hidup terisolasi dari keluarga inti, kerabat, sanak famili, sahabat, dan rekan kerja, dengan hanya bertumpu pada harapan akan kesembuhan. Doa-doa pribadi lepas pribadi dari mereka semua para pasien Coronavirus kiranya didengarkan TUHAN lebih awal daripada rententan doa seluruh warga bumi.

Kita respek pada kebajikan para pemimpin negeri di berbagai level pemerintahan. Kendati kerap kali mereka beroleh hujatan dari warga yang bermental kurang sabar, para pemimpin itu terus berikhtiar untuk menjaga keselamatan warganya. Demikianlah tanggungjawab publik harus dipikul, seberat apapun tekanan mental yang mesti dihadapi.

Begitulah konsekuensi logis dan kontrak moral menjadi pemimpin; yang telah menerima mandat dari rakyat harus mengembalikan mandat itu dalam bentuk tanggungjawab publik dan karya-karya nyata tatkala rakyat dan atau warga negara sedang membutuhkannya.

Resapilah litani duka kepala negara dan presiden kita, Bapak Jokowi. Di puncak konsentrasi “menjaga” Indonesia dari serangan Coronavirus, dia kehilangan sebagian dari jiwanya, ditinggal pergi sang ibunda, Hj. Sudjiatmi Notomihardjo setelah lama menderita sakit. Di momen pemakaman, sang presiden turun sendiri ke liang lahat untuk menerima jasad ibundanya, sebelum dikebumikan. Inilah pengabdian paling akhir seorang anak kepada ibundanya. Presiden juga manusia biasa. Dia bersedih. Dia berduka. Dia juga menangis.

Namun, presiden pun mesti tetap rasional dan bijak. Alhasil, sebagai konsekuensi logis dari atensi pemerintah terhadap warga negara di tengah situasi darurat nasional akibat Coronavirus, Presiden Jokowi melarang para menterinya datang ke Solo untuk melayat jasad ibundanya. Para menteri agar tetap berkonsentrasi mengurusi kepentingan rakyat. Masyarakat Solo dan atau daerah lainnya pun diimbau oleh keluarga presiden untuk tidak perlu datang melayat ke rumah duka dan atau ikut ke pemakaman, demi tertibnya pemberlakuan social distancing bagi keselamatan banyak orang.

Hanya beberapa jam usai memakamkan ibundanya, Presiden Jokowi langsung menghadiri acara kenegaraan di Istana Bogor. Tak ada waktu untuk tenggelam dalam kesedihan. Apakah presiden telah menguburkan kesedihannya bersama jasad ibundanya? Demi negara dan bangsa, sangat mungkin hal itu beliau lakukan. Kesedihan terbesar apa yang dapat dibandingkan dengan kehilangan ibu? Pujangga Lebanon mendiang Kahlil Gibran bertutur: “Ibu adalah segalanya, dialah penghibur di dalam kesedihan. Pemberi harapan di dalam penderitaan, dan pemberi kekuatan di dalam kelemahan”.

Kita respek kepada Ketua MPR RI Bambang Soesatyo yang mendonasikan tiga bulan gajinya untuk melawan Coronavirus. Secara kuantitatif gaji tiga bulan tidaklah besar, tapi betapa kuatnya pesan moral di balik tindakan riil itu. Bersama Pimpinan MPR, Bamsoet berbagi solidaritas berupa paket penunjang kesehatan diantaranya masker, sanitizer, sarung tangan, dan vitamin kepada komunitas wartawan dan pengemudi ojek online yang rentan terpapar. Aksi solidaritas serupa dilakukan pemerintah daerah dan berbagai komunitas warga di seluruh nusantara. Kita mengapresiasi itu semua.

Sebaliknya, di tengah kesusahan negeri kita, harga barang kebutuhan hidup naik drastis. Aksi sepihak oknum-oknum penimbun kebutuhan pokok, spekulan, dan pemburu rente mesti kita kecam. Untuk apa makan untung di tengah penderitaan sesama? Berniaga memang berkorelasi dengan keuntungan atau laba, tapi jika laba diperoleh dengan cara tak beradab, maka laba itu pun kehilangan manfaat moralnya, bahkan terkikis nilai ibadahnya.

Kita pun menyesalkan perilaku warga yang belum mengindahkan imbauan mengenai social distancing, sebab kecerobohan ini tidak hanya membahayakan kesehatan diri sendiri, tetapi juga memberi resiko nyata bagi orang lain. Di masa “Coronatime”, baiklah kita mengisi waktu dengan pikiran, perbuatan, dan tindakan mulia yang bermanfaat bagi kemanusiaan, sebagai bagian dari ziarah hidup untuk memuliakan ALLAH Sang Pencipta.

Viktus Murin, Tenaga Ahli Ketua MPR RI Bambang Soesatyo