Riset terbaru dari gabungan peneliti Inggris dan Indonesia mencatat bukti keberadaan sejumlah longsor bawah laut kuno di sekitar Selat Makassar. Tim peneliti menyebut, jika aktivitas longsor terbesar itu terjadi di masa sekarang, bakal memicu tsunami di Teluk Balikpapan.
Teluk Balikpapan sendiri punya jarak yang relatif dekat dengan wilayah calon ibu kota baru Indonesia di Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara, dengan jarak kurang dari 100 km.
Ilmuwan memprediksi, sifat destruktif dari tsunami tersebut setara dengan peristiwa Grand Banks tahun 1929, ketika gelombang setinggi 13 meter menghantam Pantai Newfoundland setelah longsor di sekitar 340 km dari lepas pantai.
Dengan pengecualian jarak ke garis pantai, karakteristik kegagalan lereng Grand Banks, seperti volume longsoran Mass Transport Deposits (MTD) dan kedalaman air, mirip dengan MTD yang dipetakan di Selat Makassar.
“Pelepasan sumber titik energi tinggi dari tsunami dari tanah longsor juga menghasilkan gelombang balik yang signifikan, bergerak ke arah yang berlawanan dari tanah longsor.”
“Gelombang balik ini akan hanya menempuh jarak 100 km sebelum mencapai kota-kota dataran rendah seperti Balikpapan (populasi 850.000) dan Samarinda (populasi 840.000),” tulis tim peneliti yang dipimpin Rachel Brackenridge dari Aberdeen University, Skotlandia, di jurnal risetnya.
“Karena itu, jika tanah longsor bawah laut di Selat Makassar mampu menghasilkan tsunami, diperkirakan bahwa gelombang baliknya juga bisa membentuk risiko tsunami, dengan morfologi lokal seperti saluran dan muara, termasuk Teluk Balikpapan semakin menguatkan tinggi gelombang,” sambungnya.
Dalam laporan ilmiah, yang juga disusun bersama peneliti Institut Teknologi Bandung, Benyamin Sapiie menyebutkan, riset menggunakan data seismik di lubuk laut (basin) Makassar Utara untuk menyelidiki sedimen dan struktur dasar laut Makassar.
Data tersebut mengungkap ada 19 zona berbeda di sepanjang Selat Makassar yang menjadi tempat lumpur, pasir, dan endapan untuk longsor ke lereng yang lebih dalam.
Semua longsoran tersebut disebutnya berada di sisi barat saluran dalam laut yang melintasi Selat Makassar. Sementara sebagian besar longsoran terjadi di sebelah selatan delta Sungai Mahakam.
Beberapa longsoran ini melibatkan ratusan kilometer kubik material, kata periset. Jumlah tersebut sudah lebih dari cukup untuk menghasilkan gelombang besar di permukaan laut.
“Tanah longsor ini, atau yang kami sebut sebagai mass transport deposits (MTD), cukup mudah dikenali dalam data seismik,” kata Brackenridge, dikutip BBC.
“Mereka berbentuk lensa dan sedimen di dalamnya kacau-balau; mereka bukan lapisan datar, teratur, seperti jalur tram yang Anda harapkan. Saya memetakan 19 peristiwa, tetapi itu dibatasi oleh resolusi data. Akan ada peristiwa lainnya, yang kecil yang tidak bisa saya lihat,” sambungnya.
Tim peneliti memprediksi, tumpukan sedimen tersebut ada karena erosi. Mereka juga menduga bahwa sedimentasi tersebut mungkin dipicu oleh guncangan gempa bumi setempat.
Perkiraan waktu tanah longsor dari data yang mereka dapatkan tidak mungkin diketahui secara presisi. Namun, ilmuwan memperkirakan bahwa data tanah longsor di Selat Makassar yang mereka punya terjadi pada kisaran 2,6 juta tahun terakhir.
Penelitian berjudul ‘Indonesian Throughflow as a preconditioning mechanism for submarine landslides in the Makassar Strait‘ ini telah dipublikasi oleh Geological Society of London di jurnal Lyell Collection pada 1 April 2020.
Indonesia sendiri pernah mengalami 2 peristiwa tsunami yang diakibatkan oleh tanah longsor pada 2018. Yang pertama, ketika sebagian sisi Gunung Anak Krakatau ambruk, dan yang kedua adalah saat lereng di Teluk Palu runtuh.
“Indonesia memiliki langkah-langkah mitigasi dan peringatan dini di berbagai tempat di negara ini, tetapi bukan daerah yang akan terkena dampak gelombang tsunami yang dihasilkan dari tanah longsor ini.”
“Ini termasuk kota Balikpapan dan Samarinda, yang memiliki populasi gabungan lebih dari 1,6 juta orang,” kata Uisdean Nicholson, peneliti dari Heriot-Watt University yang ikut dalam penelitian tersebut, dikutip situs resmi Heriot-Watt University.
“Peristiwa semacam itu dapat dikonsentrasikan dan diperkuat oleh Teluk Balikpapan, situs yang dipilih untuk ibu kota baru Indonesia,” sambungnya.
Nicholson mengatakan, tim peneliti bakal meneruskan riset mereka untuk mengukur risiko di daerah tersebut dengan membangun berbagai model numerik kejadian longsor dan tsunami.
Dia juga mengatakan, tim peneliti berencana untuk mengunjungi daerah pesisir Kalimantan untuk mencari bukti fisik keberadaan tsunami masa lampau. Tujuannya adalah untuk menguji hasil model dan lebih meningkatkan pemahaman mereka tentang bahaya ini.
“Ini bisa membantu kita memprediksi ukuran ambang yang menyebabkan tsunami berbahaya dan membantu menginformasikan strategi mitigasi apa pun,” pungkasnya. {kumparan}