News  

Kartelisasi Kelistrikan

Kartel listrik adalah praktek “kong kalikong” antara para pengusaha listrik swasta yaitu IPP dan Retail. Atau tegasnya persatuan para pengusaha listrik swasta dalam mengelola kelistrikan (khususnya di Jawa-Bali) dalam kesepakatan menentukan Tarip Dasar Listrik versi mereka setelah PLN tdk menguasai lagi kelistrikan, dan hanya menjadi Penjaga Tower Transmisi dan Distribusi saja.

Karyawan PLN pun saat Dahlan Iskan sebagai DIRUT telah “dititipkan” ke Anak Perusahaan PLN (anehnya rata2 karyawan PLN tidak tahu atau tahu tetapi tidak “ngeh”).

Sehingga posisi mereka saat ini dibawah sebuah PT Anak Perusahaan PLN itu ( sebut saja PT. X ) meskipun sehari hari tetap bekerja diruang kerja PLN. Sehingga nantinya PT X inipun “digiring” oleh Asing dan Aseng itu dalam Konspirasi “Kartel” dimaksud.

“Road map” pembubaran PLN dan terbentuknya System Kartel ini persis yang di Alami NAPOCOR ( Philipina ) pada 2007. Bahkan di Filipina mantan Presiden Arroyo Macapagal justru menjadi “komandan” Kartelnya.

Saat ini MBMS kelistrikan Jawa-Bali masih masa transisi, karena pembicaraan terkait sewa jaringan PLN pun baru dibicarakan pada tanggal 5 Mei 2020 yang lalu.

Perlu diketahui bahwa PLN P2B (Pusat Pengatur Beban) saat ini mengkoordinir berjalannya “tender” antar pembangkit IPP dan PLN. Tetapi setelah PLN benar-benar “off” dari Jawa-Bali karena sesuai instruksi Menteri BUMN PLN tidak boleh ber operasi di pembangkit, sementara jaringan retail sudah dikuasai D.I dan TW, maka artinya PLN hanya menjadi penjaga tower dan akhirnya “kabur” dari Jawa-Bali.

Maka selanjutnya P2B akan menjadi Lembaga Independent yang berfungsi sebagai:

1). Pengatur System (mengatur pembangkit mana saja yg beroperasi dan berapa besarnya dan harus disalurkan ke kota/pabrik/kawasan mana saja).

2). Pengatur Pasar (sebenarnya disinilah yg mengatur besaran tarip pembangkit dan tarip jual listrik ke konsumen. Saat masih dikuasai PLN penentuan tarif listrik dng ketentuan Direksi. Tetapi setelah MBMS akan ikuti komando Kartel diatas).

Selanjutnya di indikasikan (seperti terjadi di Filipina juga) Lembaga Independen ini tidak Independen juga dan akan masuk dalam “gerbong” Kartel kelistrikan Jawa-Bali.

Kalau sudah demikian maka tarip listrik betul2 sangat ditentukan oleh Kartel listrik itu ! Makanya jangan heran kalau di Kamerun suatu ketika terjadi beban puncak terjadi lonjakan tarif listrik sampai 15x lipat dari kondisi normal.

Di Filipina, tarif listrik awal setelah kelistrikan dikuasai sepenuhnya oleh Kartel listrik menjadi sekitar tiga sampai empat kali lipat saat masih di kuasai Negara. Atau kalau di Indonesia terjadi Kartel seperti itu, maka tarip listrik akan menjadi sekitar Rp 4.000,- sampai Rp 4.500,- per kWh. Artinya konsumen harus membayar listrik bulanan sebesar 4-4,5x lipat saat ini.

Makanya pantas setelah listrik diliberalkan rakyat Filipina yang kurang mampu beralih ke lilin, sentir, teplok, oncor, upet dll seperti jaman dulu lagi!

Innalillahi wa Inna ilaihi roojiuunn!
Ahmad Daryoko, Koordinator Indonesia Valuation for Energy and Infrastructure (INVEST)