Kemunduran Demokrasi, Sistem Proporsional Tertutup Hanya Untungkan Caleg Petahana

Warga melintas di dekat spanduk sosialisasi Pemilu 2019 yang dipajang di Kantor KPUD Wamena, Jayawijaya, Papua, Minggu (14/4). ANTARA FOTO/Yusran Uccang/foc.

Komisi II DPR RI bersama Badan Keahlian Dewan DPR RI pada 6 Mei 2020 lalu membahas draft Revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Paska pembahasan tersebut, diketahui sejumlah ketentuan dalam UU Pemilu akan mengalami perubahan.

Salah satu perubahan yang menjadi perhatian adalah dikembalikannya sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup. Dalam Bab II dan Bab III, terkhusus pasal 206, 236, dan 259 menyebutkan penggunaan sistem proporsional tertutup.

Jadi jika kembali Pemilihan Umum di Indonesia memakai Proporsional Tertutup maka itu sama dengan Kemunduran Demokrasi itu sendiri. Karena Persoalan di Proporsional tertutup itu hanya menguntungkan bagi Partai-Partai Besar dan para calon Legislatif di nomor urut atas yaitu di nomor 1 dan no. 2 saja.

Para caleg yang diusung partai politik dibawah nomor tersebut akan tidak bekerja efektif untuk turun ke konstituen di bawah untuk mencari suara atau menyapa Rakyat di Daerah pemilihannya, sebab sudah sangat jelas bahwa jika partai politik itu mendapat dua kursi di daerah pemilihan tersebut maka hanya caleg di nomor urut 1 dan nomor urut 2 saja yang jadi.

Model metode Proporsional tertutup ini adalah metode legislative inchumbent yang takut bertarung di daerah pemilihan. Seharusnya mereka membaca bahwa sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi yang mencabut persoalan Metode proporsional Tertutup yang tak Demokrasi tersebut.

Persoalan Pemilu di Indonesia ini dari setiap Pemilu itu adalah
1. Peranan Ketua Umum Partai Politik yang ikut campur dalam menentukan Kader Partai untuk jadi, sehingga instruksi ketua umum itu membuat acuan bagi pihak penyelenggara pemilu itu sendiri jadi cawe-cawe bekerja untuk kader caleg tertentu yang jadi.

Padahal dalam Pencalegkan di setiap Parpol itu sudah memenuhi unsure berjenjang dalam proses kaderisasi yang sama.

2. Pembatasan ketat aturan yang harus ada dalam UU yaitu persoalan Perubahan suara antar Caleg sendiri yang bisa dilakukan oleh Penyelenggara itu sendiri baik dari pusat maupun tingkat daerah hingga di PPK atau PPs.

Dalam UU Pemilu yang lama peranan PPs sudah di hapus, tetapi peranan PPK masih ada. Persoalan Pemilu 2019 kemarin itu masih ada cawe-cawe dari Peranan PPK di lapangan, jadi sudah sepantasnya dalam Revisi UU pemilu kali ini Peranan PPK untuk dihapus, Pungut hitung suara itu langsung dilakukan oleh KPU Kab/kota.

3. Setiap caleg mempunyai hak mengirim saksi dalam Perhitungan Suara. Hal ini harus diatur dalam UU Pemilu yang baru. Jadi kapasitas untuk saksi jangan di monopoli seutuhnya oleh Partai Politik, Karena saksi dari Partai Politik juga tidak bisa berlaku asas Netralitas.

4. Persoalan komposisi kursi per daerah pemilihan itu 1-10 itu sudah tepat, semestinya bukan hal ini yang dipersoalkan tapi persoalan jumlah kursi di DPR yang perlu ditambah, 575 kursi itu tidak cukup untuk mewakili jumlah penduduk Indonesia dan besaran wilayah Indonesia itu sendiri.

5. Perbanyak jumlah aturan hukum terkait untuk pengawasan dan sanksi bagi kecurangan pemilu. Seperti misalnya diperbolehkan setiap warga Negara itu melaporkan jika ada para calon legislatif (caleg) yang bermain curang baik money politic atau lainnya. Atau masyarakat diberikan hak untuk memberikan sanksi moriil bagi para Calon legislatif yang bermain curang.

UU no. 7 tahun 2017 tentang Pemilu sebenarnya sudah baik dan banyak aturan di dalam terhadap sanksi sanksi hukum yang sudah diperketat. Jika UU pemilu ini di revisi tapi mengurangi fungsi pengawasan ketat yang ada, perlu dipertanyakan oleh masyarakat atas kinerja DPR Komisi II saat ini. Mengapa setiap habis Pemilu selalu Merevisi UU pemilu?

Demikianlah hal ini kami sampaikan. Terima kasih

Djafar Ruliansyah Lubis, SH, MH, Advokat/ Praktisi Hukum