News  

Pandemi Ideologi

Pada 26 Mei 2020 Presiden RI, Ir.Joko Widodo melakukan tinjauan lokasi di kota Bekasi terkait persiapan penerapan new normal yang didampingi langsung oleh Walikota Bekasi Rahmat Effendi dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.

Hal ini menjadi sorotan publik dalam perjalanannya karena curva kenaikan pasien positif yang telah mencapai 23.165 kasus pada saat itu. Pasalnya, Indonesia dinilai belum siap menerapkan kebijakan populis tersebut selayaknya negara-negara lain yang masih bertarung melawan COVID-19.

Perkembangan kasus yang terkonfirmasi terpapar menjadi pertimbangan paling menentukan kapan masyarakat siap dengan new normal.

Guna menghidupkan kembali perekonomian yang selama hampir 3 bulan terakhir mengalami penurunan yang sigfinikan, pemerintah baiknya harus ekstra hati-hati apabila ingin menerapkan kebijakan new normal dengan melibatkan banyak pihak instansi atau aparatur berseragam.

Pendisiplinan yang dilakukan oleh aparatur berseragam adalah hal yang sangat tabu dilakukan negara sekelas demokrasi kita ini. Masyarakat masih menyimpan trauma humanis selama kita bertransformasi menjadi negara jika dihadapkan dengan unsur tersebut, terlebih di tengah kondisi krisis seperti ini.

PEMBELAJARAN DARI NEGARA-NEGARA LAIN
China sebagai negara awal pandemi dari Covid-19 ini mempunyai pola politik yang lebih otoriter secara sistemik dan mampu menanggulangi COVID-19 sangat masif dan agresif karena didukung oleh sistem pemerintahan yang solid mengedepankan pendekatan militer/aparatur berseragam.

Terangkum dalam beberapa harian media massa nasional/ internasional penerapan karantina wilayah pada Kota Wuhan dan Provinsi Hubei sepenuhnya dikendalikan oleh kekuatan militer/ aparatur berseragam. Tercatat sekitar penurunan curva Covid-19 dengan pola militer bekerja siang-malam melayani publik membuat optimal.

Tidak hanya itu, sebuah rumah sakit yang hanya memerlukan waktu 8 hari pembangunan menjadikan role model baru bagi pembangunan infrastruktur di era modern. Dengan begitu pencegahan penyebaran COVID-19 dinilai efisien karena seluruh perbatasan baik di tingkat kota dan provinsi sepenuhnya dijaga oleh pos-pos militer. Memobilisasi militer selalu menjadi cara paling efisien untuk menjaga ketertiban umum di saat-saat adanya urgensi.

Menurut J.J Linz, otoritarian merupakan sebuah pluralisme politik yang terbatas dan tidak bertanggung jawab, tanpa elaborasi serta tuntutan ideologi. Tanpa mobilisasi politik yang intensif atau ekstensif.

Disisi lain konteks sosio-ekonomi masyarakat Wuhan juga tidak berbeda dengan kota besar dunia lainnya. Dengan jumlah populasi hampir menyentuh 9 juta penduduk, serta mayoritas mereka bekerja di sektor industri baik pada industri rumahan hingga manufaktur. Ketika karantina wilayah diterapkan, para pekerja dirumahkan dan negara menanggung gaji mereka selama 3 bulan terhitung dari awal Februari hingga April. Hal ini mencegah post-pandemic effect yang berpotensi meledaknya pengangguran akibat berhentinya operasional industri.

Selain itu, adanya konsep ke-ekonomian state-capital(pusat) yang merupakan motor sistem penggerak ekonomi Cina berperan positif selama karantina wilayah di Provinsi Hubei diterapkan. Aktivitas ekonomi komersial yang dikontrol penuh oleh negara berimplikasi kepada berlimpahnya bantuan yang diterima oleh Provinsi Hubei. Tercatat beberapa provinsi menopang sebagai rantai bantuan pasokan kebutuhan kota Wuhan selama plandemi. Ini merupakan sebuah potret gotong-royong yang mustahil dilakukan oleh sistem neoliberal.

PANDEMI IDEOLOGI?
Di tengah semakin mewabahnya Covid-19 ini kemungkinan terdapat juga sebuah jualan industri ideologi, konteks geo-politik, geo-ekonomi menjadi isu-isu politik lama dunia kembali mencuat lagi.

Framming Idelogi yang disematkan dari “blok barat” dan “blok timur” terangkum dalam narasi bagaimana sistem pemerintahan di china yang otoriteritarian mampu dengan cepat menahan meluasnya dampak pandemi

Secara geopolitis inisiasi suatu negara pada kemampuannya untuk membuat negara lain mengadopsi system negara asalnya mereka, baik itu fitur-fitur teknologi, infrastruktur atau bahkan ideologi akan membawanya mampu unggul dalam persaingan. Pola perspektif lainnya bagi siapa saja negara yang berhasil diadopsi system mereka dalam bentuk apapun baik dari aspek kebijakan dan pengetahuan dan sebagainya akan memenangkan lebih banyak pengaruh di level internasional.

Seperti yang diutarakan Kepala BIN, Bapak Jend.(Purn) Budi Gunawan menerangkan, “Kontestasi ideologi-ideologi ini, melahirkan perebutan pasar ideologi dan pencarian ideologi alternatif, ditambah dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi yang memudahkan orang untuk mencari nilai-nilai atau ideologi yang sesuai dengan keyakinannya”

“Tolok ukur (benchmark) dari AS, kini terjadi pertarungan ideologi antara liberalisme melalui prinsip pasar bebas dengan nasionalisme proteksionis yang mengedepankan “America First” untuk melindungi kepentingan nasionalnya. Pertentangan tersebut, mengakibatkan polarisasi di masyarakat AS dan menimbulkan kegamangan di kalangan generasi mudanya”.

“Sementara RRT (Republik Rakyat Tiongkok), dapat mempertahankan identitas bangsanya yang memiliki ideologi komunis dengan mengakomodasi praktik kapitalis untuk meningkatkan kondisi ekonomi dan kesejahteraan rakyatnya.”tutupnya

WHICH SIDE ARE YOU ON?
Dalam buku yang ditulis oleh Barry Buzan dalam People, States, Fear. Barry Buzan memperkenalkan dunia dengan apa yang disebut sebagai tipe ancaman keamanan non-tradisional. Ada beberapa komponen pada ancaman keamanan non-tradisional yang terangkum salah 1nya plandemi/wabah.

Seperti diasumsikan plandemi atau wabah Covid-19 belum lah usai. Masih banyak sektoral-sektoral yang berdampak. Implementasinya tersirat dari status politik nasional yang complex hingga hari ini adanya masalah keamanan politik, ekonomi, wilayah, dan masyarakat dalam kajian-kajian yang telah disematkan oleh Barry Buzzan.

Kebijakan lockdown/ karantina wilayah menjadi hal yang kontradiktif dengan fenomena yang ada di tingkat global yang telah membuat segalanya terbuka. Juga kontradiktif dengan simbolis tentang kebebasan berdemokrasi. Dalam situasi kekhawatiran yang menyebar, siapa yang mau melancarkan kritik keras atas langkah represif hal tersebut?

Dunia tampaknya mulai memaklumi cara represif karena globalisasi yang cepat belakangan ini juga meminimalisir kontaminasi penyakit lebih cepat dan meluas. Wabah Covid-19 dan mobilitas penduduk yang sulit dibatasi pada era globalisasi ini telah kembali memaksa pemerintah memberikan tindakan yang represif agar keputusannya efektif. Itu juga yang dilakukan pemerintah negara adidaya dan superpower Amerika.

Sehingga pandemi Covid-19 telah berimplikasi pada relasi antara negara maju baik Amerika-Cina, Amerika-Uni Eropa, di Uni Eropa, dan lainnya dari berbagai sektoral baik perang dagang (trade war), perang teknologi, perang resources yang terafiliasi pada perang asimetris (asymmetric war) yang berpengaruh pada kebijakan luar negeri sebuah negara tertentu.

Negara berkembang berbicara tentang kudeta pemimpin.
Negara maju berbicata tentang mengubah sebuah kebijakan.

Yuwono Setyo Widagdo, SiK, Politisi Muda Partai Golkar