News  

Ini Sikap Resmi MUI, Muhammadiyah dan PBNU Terkait Kontroversi UU Cipta Kerja

Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersama PP Muhammadiyah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memberikan pernyataan sikap resmi atas kontroversi pengesahan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja oleh Sidang Paripurna DPR yang mengundang reaksi penolakan keras masyarakat.

Berikut sikap MUI, PBNU, dan Muhammadiyah terkait Omnibus Law UU Cipta kerja;

MUI

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan taklimat yang berisi tujuh poin pernyataan sikap terhadap UU Cipta Kerja yang disahkan DPR.

Surat tersebut ditandatangani Wakil Ketua Umum MUI Muhyiddin Junaidi dan Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas pada tanggal 8 Oktober 2020.

“Mencermati dan menyaksikan Konstalasi Politik, Sosial dan Ekonomi Mutakhir serta Suasana Hati Sanubari Bangsa Indonesia terkait penetapan Undang-Undang Cipta Kerja yang mendapatkan protes dan unjuk rasa serta penentangan dari berbagai elemen bangsa di seluruh Indonesia, maka dengan ini Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan Taklimat,”

sebut taklimat yang diterima Tribunnews.com dari Sekjen MUI Anwar Abbas, Jumat (9/10/2020).

Berikut 7 poin Maklumat dari MUI menyikapi pengesahan UU Cipta Kerja:

1. MUI sangat menyesalkan dan prihatin kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang tidak merespons dan mendengarkan permintaan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dewan Pimpinan MUI serta Pimpinan Ormas-Ormas Islam dan segenap elemen bangsa yang menolak ditetapkannya RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja.

Padahal berbagai elemen bangsa tersebut telah mengirimkan pernyataan sikapnya bahkan telah bertemu dengan Pimpinan DPR RI dan anggota Panitia Kerja RUU Cipta Kerja.

2. MUI menolak UU Cipta Kerja yang lebih banyak menguntungkan para Pengusaha, Cukong, investor asing serta bertolak belakang dengan Pasal 33 ayat 3 UUD Tahun 1945 yang berbunyi:

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”.

3. MUI meminta kepada Aparat Keamanan Kepolisian untuk menjaga dan melindungi Hak Asasi Manusia para pengunjuk rasa, karena unjuk rasa dan menyampaikan pendapat di depan umum dilindungi oleh Konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan Negara Republik Indonesia.

Serta MUI menghimbau kepada para pengunjuk rasa untuk tidak melakukan tindakan anarkis serta menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila.

4. MUI meminta kepada Presiden Jokowi untuk dapat mengendalikan suasana Keamanan dan Ketertiban Masyarakat saat ini dengan menghargai Hak Azasi Manusia Warga Negara dan jangan membiarkan aparat keamanan melakukan tindakan yang brutal dan tindakan yang tidak terkontrol dalam menangani unjuk rasa.

5. MUI mendorong dan mendukung setiap elemen masyarakat yang akan melakukan Revisi Undang-Undang (Judicial Review) ke Mahkamah Konstitusi.

Dan MUI mengingatkan kepada para Hakim Agung Mahkamah Konstitusi untuk tetap istiqamah menegakkan keadilan, menjaga kemandirian, marwah dan martabatnya sebagai hakim yang nantinya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Mahkamah Ilahi di Yaumil Mahsyar.

6. MUI mengharapkan kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk lebih fokus dalam menangani wabah Covid-19 serta tidak membuat kebijakan-kebijakan yang kontroversial sehingga dapat menimbulkan kegaduhan secara nasional.

7. MUI mengharapkan kepada segenap elemen bangsa untuk senantiasa memperkokoh persatuan dan kesatuan serta merenda jalinan kehidupan harmoni, sehingga kita bersama-sama dapat mengawal dan menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga selama-lamanya.

SIkap PBNU

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan sembilan poin pernyataan sikap terkait UU Cipta Kerja yang disahkan DPR RI.

Pernyataan tersebut ditandatangani langsung Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dan Sekretaris Jenderal H Helmy Faishal Zaini pada 8 Oktober 2020.

“Mencermati dinamika terkait proses legislasi dan pengesahan UU Cipta Kerja, Nahdlatul Ulama menyampaikan beberapa sikap,” demikian isi surat yang dilansir Tribunnews.com, Jumat (9/10/2020).

Berikut sembilan poin pernyataan sikap PBNU terhadap pengesahan UU Cipta Kerja:

1. Nahdlatul Ulama menghargai setiap upaya yang dilakukan negara untuk memenuhi hak dasar warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Lapangan pekerjaan tercipta dengan tersedianya kesempatan berusaha. Kesempatan berusaha tumbuh bersama iklim usaha yang baik dan kondusif. Dan iklim usaha yang baik membutuhkan kemudahan izin dan simplisitas birokrasi.

UU Cipta Kerja dimaksudkan untuk menarik investasi dengan harapan dapat memperbanyak lapangan pekerjaan dan menyalurkan bonus demografi sehingga dapat mengungkit pertumbuhan serta keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap).

2. Namun, Nahdlatul Ulama menyesalkan proses legislasi UU Ciptaker yang terburu-buru, tertutup, dan enggan membuka diri terhadap aspirasi publik.

Untuk mengatur bidang yang sangat luas, yang mencakup 76 UU, dibutuhkan kesabaran, ketelitian, kehati-hatian, dan partisipasi luas para pemangku kepentingan.

Di tengah suasana pandemi, memaksakan pengesahan undang-undang yang menimbulkan resistensi publik adalah bentuk praktek kenegaraan yang buruk.

3. Niat baik membuka lapangan kerja tidak boleh diciderai dengan membuka semua hal menjadi lapangan komersial yang terbuka bagi perizinan berusaha.

Sektor pendidikan termasuk bidang yang semestinya tidak boleh dikelola dengan motif komersial murni, karena termasuk hak dasar yang harus disediakan negara.

Nahdlatul Ulama menyesalkan munculnya Pasal 65 UU Ciptaker, yang memasukkan pendidikan ke dalam bidang yang terbuka terhadap perizinan berusaha.

Ini akan menjerumuskan Indonesia ke dalam kapitalisme pendidikan. Pada gilirannya pendidikan terbaik hanya bisa dinikmati oleh orang-orang berpunya.

4. Upaya menarik investasi juga harus disertai dengan perlindungan terhadap hak-hak pekerja.

Pemberlakuan pasar tenaga kerja fleksibel (labor market flexibility) yang diwujudkan dengan perluasan sistem PKWT (Pekerja Kontrak Waktu Tertentu) dan alih daya akan merugikan mayoritas tenaga kerja RI yang masih didominasi oleh pekerja dengan skil terbatas.

Nahdlatul Ulama bisa memahami kerisauan para buruh dan pekerja terhadap Pasal 81 UU Ciptaker yang mengubah beberapa ketentuan di dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Penghapusan jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun bagi pekerja PKWT (Pasal 59) meningkatkan risiko pekerja menjadi pekerja tidak tetap sepanjang berlangsungnya industri.

Pengurangan komponen hak-hak pekerja seperti uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian mungkin menyenangkan investor, tetapi merugikan jaminan hidup layak bagi kaum buruh dan pekerja.

5. Upaya menarik investasi juga harus disertai dengan perlindungan lingkungan hidup dan konservasi sumber daya alam.

Menganakemaskan sektor ekstraktif dengan sejumlah insentif dan diskresi kepada pelaku usaha tambang, seperti pengenaan tarif royalti 0 persen sebagaimana tertuang di dalam Pasal 39 UU Cipta Kerja, mengancam lingkungan hidup dan mengabaikan ketahanan energi.

Alih-alih mengubah isi UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba yang mengokohkan dominasi negara dan oligarki, UU Cipta Kerja memperpanjang dan memperlebar karpet merah bagi pelaku usaha.

Pemerintah menjamin investasi dan diskresi menteri tanpa batas bagi pelaku usaha tambang yang menjalankan usaha hulu-hilir secara terintegrasi untuk mengekstraksi cadangan mineral hingga habis.

Ini mengabaikan dimensi konservasi, daya dukung lingkungan hidup, dan ketahanan energi jangka panjang. Pemerintah bahkan mendispensasi penggunaan jalan umum untuk kegiatan tambang, yang jelas merusak fasilitas umum yang dibangun dengan uang rakyat.

6. Upaya menarik investasi tidak boleh mengorbankan ketahanan pangan berbasis kemandirian petani. Pasal 64 UU Ciptaker yang mengubah beberapa pasal dalam UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan berpotensi menjadikan impor sebagai soko guru penyediaan pangan nasional.

Perubahan Pasal 14 UU Pangan menyandingkan impor dan produksi dalam negeri dalam satu pasal. Ini akan menimbulkan kapitalisme pangan dan memperluas ruang perburuan rente bagi para importir pangan.

7. Semangat UU Cipta Kerja adalah sentralisasi, termasuk dalam masalah sertifikasi halal. Pasal 48 UU Cipta Kerja yang mengubah beberapa ketentuan dalam UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal mengokohkan pemusatan dan monopoli fatwa kepada satu lembaga.

Sentralisasi dan monopoli fatwa, di tengah antusiasme industri syariah yang tengah tumbuh, dapat menimbulkan kelebihan beban yang mengganggu keberhasilan program sertifikasi.

Selain itu, negara mengokohkan paradigma bias industri dalam proses sertifikasi halal.

Kualifikasi auditor halal sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 14 adalah sarjana bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, farmasi, kedokteran, tata boga, atau pertanian.

Pengabaian sarjana syariah sebagai auditor halal menunjukkan sertifikasi halal sangat bias industri, seolah hanya terkait proses produksi pangan, tetapi mengabaikan mekanisme penyediaan pangan secara luas.

8. Nahdlatul Ulama membersamai pihak-pihak yang berupaya mencari keadilan dengan menempuh jalur konstitusional dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

Dalam suasana pandemi dan ikhtiar bersama untuk memotong rantai penularan, upaya hukum adalah jalur terbaik dan terhormat dalam mencari keadilan dibanding mobilisasi massa.

9. Semoga Allah selalu melindungi dan menolong bangsa Indonesia dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsa.

Muhammadiyah

PP Muhammadiyah menegaskan, sejak awal Muhammadiyah meminta agar pemerintah membatalkan pembahasan omnibus law Undang Undang Cipta Kerja.

Muhammadiyah beralasan, bangsa sedang menghadapi masa pandemi Covid-19, serta banyaknya pasal yang kontroversial di masyarakat.

“RUU tidak mendapatkan tanggapan luas dari masyarakat, padahal seharusnya sesuai UU, setiap RUU harus mendapatkan masukan dari masyarakat.”

“Tetapi, DPR jalan terus. UU Omnibus tetap disahkan,” jelas Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti dalam keterangannya yang diterima, Rabu (7/10/2020).

PP Muhammadiyah pun meminta semua pihak untuk menahan diri dalam polemik pengesahan omnibus law undang-undang cipta kerja.

Mu’ti melanjutkan, jika keberatan masyarakat lebih baik menggugat pemerintah ke Mahkamah Konstitusi (MK) daripada melakukan demo di jalan.

“Sebaiknya semua elemen masyarakat dapat menahan diri dan menerima keputusan DPR sebagai sebuah realitas politik,”

“Kalau memang terdapat keberatan terhadap UU atau materi dalam UU dapat melakukan judicial review. Demo dan unjuk rasa tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan akan menimbulkan masalah baru,” kata dia.

Mu’ti menuturkan, sebelumnya usul Muhammadiyah dan beberapa organisasi yang mengelola pendidikan telah diakomodir oleh DPR. Lima UU yang terkait dengan pendidikan sudah dikeluarkan dari Omnibus Cipta Kerja.

“Tetapi masih ada pasal terkait dengan perijinan yang masuk dalam Omnibus Cipta Kerja. Memang soal ini akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Karena itu, Muhammadiyah akan wait and see bagaimana isi Peraturan Pemerintah,” ungkapnya. {tribun}