News  

Tiga Gejala Pasca Aksi Unjuk Rasa Omnibus Law UU Cipta Kerja

Aksi unjuk rasa mahasiswa dan buruh yang menentang pengesahan UU Cipta Kerja (Omnibus Law) menjadi fenomena manarik yang patut untuk dicermati. Aksi tersebut diwarnai sejumlah insiden, mulai dari perusakan fasilitas umum (kericuhan), penangkapan aktivis dan demonstran, serta mencuatnya isu pemblokiran media sosial saat terjadinya demonstrasi. Ada tiga gejala penting.

Pertama, kerumunan dalam aksi unjuk rasa ini tentu bisa memicu timbulnya klaster baru Covid-19. Aksi demonstrasi sudah berlangsung sejak 8 Oktober 2020, meskipun Polda Metro Jaya sudah tidak memberikan izin keramaian.

Gerombolan massa aksi cenderung mengabaikan disiplin protokol kesehatan, seperti menjaga jarak, menggunakan masker, mencuci tangan dan menghindari kerumunan. Kekhawatiran adanya persebaran klaster baru Covid19 pada aksi demo tolak UU Cipta Kerja (Ciptaker) ternyata menjadi kenyataan.

Misalnya, Dinas Kesehatan Kota Semarang mencatat 11 buruh peserta demo UU Cipta Kerja di depan DPRD Jawa Tengah dinyatakan positif COVID-19 berdasar hasil rapid test dan swab.

Kedua, terkait sejumlah aktivis yang di tangkap pasca demo Omnibus Law. Pertanyaannya adalah kemana PKS dan Demokrat? Begitu juga dengan Gatot Nurmantyo dan KAMI yang digadang menjadi simbol perlawanan kritis terhadap kebijakan pemerintah saat ini.

Di awal lantang memberi applause kepada para demonstran, tetapi belakangan tidak muncul pernyataaan atau pembelaan kepada para aktivis dan mahasiswa yang sudah turun ke jalan, bahkan berbalik badan.

Pasca penangkapan petinggi KAMI oleh Polisi seperti Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dan Anton Permana, tiba-tiba Gatot Nurmantyo (GN) memuji dan memberikan pernyataan tentang tujuan mulia dari UU Omnibus Law Cipta Kerja. Kenapa GN dan KAMI jadi kurang greget? Atau memang pengaruhnya kurang signifikan di mata aktivis mahasiswa dan buruh.

Justru yang terlihat aktif menjembatani pemerintah dengan aktivis demonstran justru Gerindra yang saat ini berada di dalam koalisi pemerintahan aktif membantu para aktivis tersebut.

Contohnya adalah apa yang dilakukan oleh Habiburokhman (anggota Komisi III DPR RI) yang bersedia menjadi jaminan pembebasan jurnalis dan aktivis mahasiswa yang ditangkap aparat kepolisian pasca Demo Omnibus Law.

Tak cukup hanya sampai di situ, anggota Fraksi Partai Gerindra itu pun sempat kembali mendatangi Polda Metro Jaya malam hari tanggal 14 Oktober 2020 untuk menemui 11 kader Pelajar Islam Indonesia (PII) yang sempat diamankan polisi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat sebagai bagian dari usaha pembebasan.

Respon sejuk lainnya juga datang dari petinggi Gerindra, yaitu Wakil Ketua MPR Ahmad Muzani yang menghimbau agar aparat Kepolisian tetap bersikap humanis dengan terus mengutamakan pendekatan persuasif kepada masyarakat, khususnya selama digelarnya aksi unjuk rasa.

Ketiga, Presiden Jokowi sebaiknya bersikap lebih tegas kepada pembantunya dan melakukan reshuffle kepada menteri yang tidak bisa melakukan komunikasi politik dengan baik kepada publik terkait urgensi Omnibus Law UU Cipta Kerja kepada masyarakat.

Di sini peran pembantu Presiden di kabinet dalam mensosialisasikan Omnibus Law sangat penting agar kewibawaan pemerintah terjaga dan citra positif Jokowi lebih banyak dari negatifnya, baik itu dalam realita juga di dunia maya, tentang asumsi dan praktek penerapan UU Cipta Kerja.

Bisa diprediksi bahwa pada saat situasi lebih kondusif pasca demo UU Omnibus Law ini, Presiden Jokowi akan mengevaluasi semua aspek dari kinerja para menterinya serta efektifitas pemerintahan di periode terakhirnya ini. Salah satu opsi yang rasional tentu adalah melakukan reshuffle kabinet pada setahun pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.

Igor Dirgantara, Pengamat Politik Universitas Jayabaya, Director Survey & Polling Indonesia (SPIN)